Setiap manusia pasti mengalami perkembangan, tentunya seorang Nanda juga. Diri ini bukannya tak mau bergerak, hanya saja terlalu takut untuk melangkah sehingga banyak orang memandang sebelah mata. Hanya yang terlihat di mata yang dianggap benar, tak pernah mendengar jeritan hati seseorang di kala malam. Di mana jiwanya terkejut harus berubah seiring bertambahnya usia. Ya! Nama yang sama, wajah yang sama, ataupun mungkin sebagian menganggap sifat yang tak ada bedanya dengan yang dulu. Tapi tak banyak yang tidak sadar bahwa telah banyak berbeda dari seorang Nanda. Akan ada sisi dewasa yang terlihat sejalan proses yang tengah dihadapi.
Suara gemuruh malam takbir bergema menantikan hari kemenangan esok hari. Hei, lihatlah! ada yang sedang meringkuk di atas kasur. Kasihan sekali, tampaknya sedang sedih.
“Ini salah, itu salah, diam juga salah mau-nya apa sih? Hiks... Hiks...”
“Capek, kenapa semakin dewasa, banyak yang nuntut ini, nuntut itu?”
Lelah menagis Nanda tertidur tanpa di sadari gadis, 17 tahun itu benar-benar kelelahan bahkan dirinya selalu menutupi kesedihan dan rasa sakit sendiri. Menurut Nanda semua orang menuntut dirinya melakukan ini dan itu tanpa memberikan jeda. Bahkan Nanda merasa orang tuanya pun sudah mulai menyuruh-nya melakukan pekerjaan yang menurutnya berat.Nanda membuka matanya terasa berat secara perlahan, namun ia bingung saat menemukan dirinya sedang tidak berada di kasurnya. Merasa asing dengan tempat yang dipenuhi warna putih, Nanda mencoba melangkah mencari jalan keluar sembari meneriakkan ibunya. Ya tadi dirinya sempat adu mulut dengan ibunya.
“Tempat apa ini? Perasaan tadi ada di kasur.”
“Mah... Mamaaaah!”
“Mamah Nanda takut.”
.
Hanya kata-kata ‘Mama’ yang selalu Nanda kumandangkan. Takut? Tentu saja. Sendirian di tempat entah di mana tak ada siapa-siapa. Ingin menangis, tapi dirinya sudah lelah. Terlihat pasrah. Sekarang hanya bisa duduk termenung.Dalam keheningan seketika otaknya mengulang memori kejadian saat-saat beberapa waktu adu mulut dengan sang mama. Bukan hanya itu bahkan banyak sudah Nanda kesal jika sang ibu berkata, “Kamu tuh udah gede kak, bukan anak kecil lagi, kamu udah SMA gak ada ngertinya sama kerjaan.”
Praaang"Kan piringnya GK bakal pecah kalau kamu yang beresin kak.”
“Lihat tuh jadi berantakan, kalau ada yang kena beling gimana?”Nanda yang baru datang dari belakang tidak terima disalahkan, apa-apa dirinya yang disalahkan, padahal yang melakukan kesalahan adiknya.
"Apasih kok aku yang disalahin, orang baru selesai nyuci piring di salahin lagi aja.”
“Ya, kan kalau kamu kerjanya cepet gak bakal pecah piringnya.” Ucap sang Ibu.
“Sabar satu-satu di kerjainnya, kamu GAK mau sabar mamah aja lah yang ngerjain, serba salah.”
Seorang Nanda yang notabenenya cengeng langsung menunjukkan bulir-bulir air mata. Ya meskipun pecahan piring tetap di bersihkan. Tetap saja dadanya sesak dan air matanya tak kunjung berhenti.
“Huh! Kayak gitu aja nangis, main hp aja terus kalo ngerjain kayak gitu aja gak bisa.”
“Yaudah, mama aja yang ngerjain.”
“DIEM LAH!”
Yap! Ingatan itu teringat lagi masih dengan kesendiriannya di tempat aneh. Seketika muncul suara yang Nanda kenali. Betul! Suara ayahnya muncul entah dari mana mengatakan kata-kata yang tadi sebelum tidur ia dengar.
“Udah jangan nangis, putri ayah sudah besar, boleh sakit hati, boleh kesel tapi biarkan rasa itu semua di depan pintu, jangan di bawa kedalam rumah.”
“Supaya kamu memiliki mental yang kuat, ini masih proses, nak. Perjalanan kamu masih panjang menuju dewasa, nanti saatnya kedewasaanmu matang kamu pun akan merasakan lelahnya jadi ibu. Udah gak apa-apa jangan nangis. Jadikan pelajaran.”
Suara itu mengeringi langakh kaki Nanda menuju sebuah cahaya terang, membawanya kesebuah tempat seperti pedesaan yang asri. Nanda memperhatikan baik-baik tiap penduduk di sana. Nanda kagum dengan penduduk desa yang kelihatan-nya harmonis saling bekerja sama satu sama lain baik anak dan orang tuanya. Rasanya anak-anak di sana mengerti sekali akan tanggung jawab pekerjaan masing-masing tanpa adanya cekcok adu mulut. Hati kecil Nanda merindukan sang ibu. Ia ingin kembali namun tak bisa. Di mana sebenarnya dia sekarang?
“Kak... Kakak bangun kak mau sholat Ied gak?”
Nanda mendengar suara itu tapi ada di mana?
“Kakak, hey bangun.”
Akhirnya perlahan tapi pasti mata sembab gadis itu terbuka jujur, hatinya masih perih dengan kejadian kemarin itu hingga ia mendiamkan keluarganya. Hingga setelah ibadah hari raya, Nanda dengan lapang melupakan kejadian itu disaat sang ibu meminta maaf dengan tulus. Memandangi wajah putrinya yang sudah mulai dewasa. Nanda mengerti menjadi dewasa bukan hanya sekedar, umur, fisik, ataupun pengakuan orang lain. Melainkan menjadi dewasa membutuhkan proses saling memahami tanggung jawab atas apa yang dikerjakan
.
Bukan hanya itu melainkan menjadi dewasa juga harus mampu menata hati yang kuat untuk mengalah. Perjalanan seorang remaja supaya menjadi pola pikir dewasa banyak proses dan tantangan baik fisik maupun mental. Terkadang berfikir menjadi dewasa sulit. Memang! Bahkan masih banyak orang yang berkelana kesana kemari mencari jati diri. Menjadi anak kecil memang menyenangkan. Belum ada tanggung jawab, tak pernah disalahkan hingga patah hati, dan yang paling asyiknya mendapatkan banyak THR hari raya. Hahaha...Bercanda, Tapi apakah akan terus menjadi anak kecil yang berisik dan selalu merengek? Tak bisakah menjadi orang yang lebih berguna bagi orang lain? Kesal juga kan melihat anak kecil yang rewel atau orang yang sudah berumur lanjut tapi tinggkahnya sama dengan anak kecil. Menjadi dewasa memang banyak yang harus dipikirkan. Wajar jika akan banyak ketakutan yang datang, tapi itu perlu dihadapi meski akan tetap ada resiko yang menunggu.
Ya... Seperti ini lah kehidupan apalagi remaja banyak kalah yang harus di tempuh untuk menjadi dewasa. Dan ya! Aku masih sama seorang Nanda, tetapi ada yang berbeda, banyak yang berubah.
tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin