Setelah sekian lama, masa lalu yang telah kamu kubur dalam-dalam, enggan kamu ungkapkan kepada siapa pun bahkan kepada Tuhan, kembali datang menghantui dan menamparmu. Membuat rasa penyesalan, rendah diri, dan terhina menggerogoti dirimu. Perasaan tidak layak menjadi seorang manusia, khususnya sebagai seorang perempuan, membentuk kabut gelap di hatimu.
_Kamu bodoh, Erin! Kenapa kamu bisa terjebak dalam lubang dosa itu? Kamu menghancurkan dirimu sendiri!_
Kamu duduk di bangku belakang rumah ibadah, menundukkan kepala sambil menuliskan sederetan pengakuan dosa yang telah kamu lakukan selama ini. Dengan kertas sebesar kartu nama, kamu menuliskan dosa-dosa yang paling kamu sesali, paling kamu ingat, dan paling sering kamu lakukan. Kamu menuliskannya dengan tulisan kecil. Air matamu tak terbendung ketika mengakui semua di hadapan-Nya. Kamu serahkan dirimu yang penuh dosa dan terhina itu kepada-Nya, dan memutuskan untuk menghentikan kebiasaan buruk yang selama ini kamu lakukan.
Seiring berjalannya waktu setelah pengakuanmu, orang-orang, peristiwa, dan hal yang memicu kelamnya masa lalumu kembali menyapamu. Menyapa layaknya seorang teman lama yang meski kalian memiliki kenangan buruk atau dendam, harus kamu hadapi.
Hingga seseorang mengetuk pintu kehidupanmu, mengajakmu untuk kembali berjalan. Berjalan bersamanya dan bersama Dia.
***
Saat ini kamu sedang berdiri di hadapan seorang lelaki yang kemarin meminta izin untuk masuk dalam hidupmu, dan mengizinkanmu untuk masuk ke dalam hidupnya. Dia merentangkan tangannya kepadamu. Meski masih diselimuti keraguan, kamu meresponnya dan memeluknya.
Kamu merasa seperti hatimu yang hancur, berantakan, dan penuh luka mendapatkan tempat untuk kembali menata hati dan menata diri.
Dia membuka dirinya kepadamu, dan mengizinkanmu masuk ke dalam hidupnya. “Aku mau kenal kamu lebih dalam lagi, Rin. Tanya apa saja tentangku, aku akan jawab,” ujarnya.
Setelah beberapa waktu kalian saling mengenal satu sama lain, kalian menyadari tidak sedikit persamaan di antara kalian. Hal itu membuat kalian lebih saling memahami.
Kamu ingin membuka diri, tetapi bayang-bayang masa lalu masih menghantuimu.
Hingga satu hari, kamu memutuskan untuk mulai membuka diri kepadanya. “Kamu sudah memberikan semua kepercayaanmu padaku … aku pun mau coba percaya padamu, Ersa,” ujarmu.
Dia menatapmu sambil tersenyum. “Terima kasih untuk itu.. Kita sama-sama belajar, ya? Menjadi versi yang lebih baik dari diri kita setiap harinya.” Kemudian kamu balas dengan anggukan.
***
Hari-hari silih berganti, kamu dan Ersa semakin mengenal dan rasa sayang kalian terhadap satu sama lain semakin bertumbuh. Bukan dengan mulus tanpa kesulitan sedikit pun. Tetap ada yang namanya perbedaan pendapat dan pandangan. Namun, kalian berusaha tidak menutupi atau memendamnya sendiri.
Ersa dengan terang-terangan mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahannya saat ini, begitu pula denganmu.
“Aku tidak takut kalau suatu saat kamu akan pergi meninggalkanku. Justru aku takut jika aku yang pergi meninggalkanmu,” kata Ersa.
Kamu mengangguk. “Aku juga menakutkan hal yang sama,” kamu menatapnya lebih lekat, “apalagi kamu tahu kalau dulu aku tidak bisa menjaga diri, terutama sebagai perempuan.”
Ersa mengerutkan dahi. “Kenapa jadi bahas itu?”
Kamu tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Banyak orang yang tidak akan bisa menerima hal itu, Ersa, tetapi kamu kenapa mau menerimaku yang seperti ini?”
“Yang seperti apa?” Ersa memastikan.
“Sudah bekas ….”
“Aku tidak peduli. Kamu bukan bekas. Kamu itu Erin, Erin yang sekarang duduk di depanku, yang sering tersenyum kalau bersamaku. Kamu kan bukan Erin yang dulu. Iya, kan?”
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin