reality - alder.

26 7 0
                                    

Sirene mobil mengaung dengan leluasa saat Alder sekali lagi menyeka sisa kuah yang dilempar seorang pelanggan padanya. Hanya karena rumah makan overload, sehingga ia harus menahan sakit tersiram kuah panas yang bahkan di luar kendali. Anak itu bisa apa? Membantu menghidangkan masakan? Ia hanya kurir antar yang bahkan menerima upah setengah dari biaya ongkos kirim tertera. Telepon genggam di samping wastafel berdering, bar baterainya menunjukkan angka di mana harus diisi ulang. Ia kibaskan kaus pendek lusuh kencang-kencang, berharap kering dengan instan, lalu buru-buru mengangkat panggilan dari sang adik.

“Bagaimana?” Suaranya tertahan di tenggorokan. “Orang-orang itu datang lagi?”

‘Iya Kak, aku dan Ibu sekarang bersembunyi di mushola. Mereka mengancam akan menyita rumah seisinya jika kita tidak membayar cicilan lagi.’

Alder menyandarkan punggungnya ke dinding toilet umum, perlahan roboh. Terdengar napas panjang yang beberapa kali diembuskan, merasa putus asa. “Jangan kembali ke rumah sebelum Kakak pulang.” Begitu katanya.

Panggilan berakhir. Ponsel tak bersalah itu ia tendang begitu saja menabrak tong sampah. Anak itu berlagak seperti tak lagi membutuhkan satu-satunya alat yang jadi penopang mata pencahariannya. Kedua netranya terpejam. Suara air menetes dari keran bocor terasa begitu menenangkan. Damai, membuatnya ingin berlama-lama berada di sana. Tempat kotor di tengah pasar yang berubah jadi telinga baginya.

Keping demi keping memori terus hinggap jadi pelarian tatkala tungkainya lelah melangkah. Di tempat itu angannya terajut dalam untai asap membumbung. Melewati ventilasi bersarang laba-laba hingga lenyap diterpa sinar sang surya. Sebatang kretek tanpa merk dirogohnya dari saku jeans. Batang terakhir itu sudah patah, tetapi tetap ia sulut. Pemuda itu menghisap rokoknya dalam-dalam, lantas menahan asap di mulut sekian detik sebelum ia embuskan.

Satu tahun lalu di hari ini, saat itu apa yang dilakukannya, ya?

*

Di kelas akhir sekolah menengah, saat itu seingatnya ia cuma belajar dan belajar. Berlatih berbagai macam keterampilan baru yang dilihatnya di internet, mengikuti kursus gratis dibayar dengan upload beberapa foto ke media sosial, dan banyak kegiatan menyenangkan lain. Hari-harinya pada saat itu jauh dari kata sulit. Terasa ringan, sekalipun di dunia ini mustahil hidup jauh dari cobaan.

Alder bukan bodoh, bukan juga pandai. Ia siswa biasa-biasa saja yang mengikuti arus di kelas. Namun setidaknya anak itu punya mimpi yang tergantung begitu tinggi.

Sangat tinggi hingga ia sendiri tak yakin mampu menggapainya.

Di ulang tahunnya yang ke-17, tak ada bingkisan maupun doa yang berarti. Ia ucapkan kalimat-kalimat indah penyemangat pada pantulan dirinya di cermin. Bahwa dunia tidak selalu berputar untuknya, bahwa roda membawa kehidupan bergantian atas dan bawah.

“Semoga ibu punya uang untukku sekolah lebih tinggi,” ucap Alder pada waktu itu.

Kenyataan membawanya melangkah menuju sisi lain dunia. Ayah pergi bersama istri barunya yang digadang-gadang pemilik toko emas dengan cabang tersebar ke seluruh negeri. Ibu harus menelan pil pahit saat bajingan itu pergi tanpa mengurus harta gono-gini yang seharusnya jadi milik Ibu. Aneh, bahkan ketika dijatuhkan begitu saja, wanita cantik itu masih mampu tersenyum lebar. Di depan Alder dan adik laki-lakinya, Arel.

“Ibu melamar kerja sebagai pembantu di rumah Bu RT.”

Sore itu di teras rumah, mereka memilah kecambah pemberian tetangga. Mengambil satu persatu bagian hijaunya yang disebut ‘helm’, dan memisahkan isinya ke wadah lain. Alder ada di waktu rehat dari segala aktivitasnya di sekolah. Ujian usai, tak ada kegiatan lain yang perlu ia lakukan selain duduk-duduk di teras atau berkeliling mencari informasi seputar lapangan pekerjaan. Ibu, dengan daster batiknya yang robek di beberapa bagian, pulang sembari membawa berita baik.

“Nanti tugasnya mudah, kok. Katanya tidak masuk dapur, juga, jadi Ibu iyakan saja,” jelas Ibu sembari menyisipkan rambutnya yang beruban ke belakang telinga. “Yang penting bisa makan, bayar hutang, tebus ijazah Kakak ...”

Si Sulung menyunggingkan senyum terpaksa dengan wajah tertunduk. Detik itu ia tahu bahwa roda kehidupannya berada dalam kubangan lumpur. Kemanakah angan-angan yang melayang menyelimuti kepalanya dulu? Bahkan rasa percaya diri akan mimpi mendadak sirna, sekuat apapun ia susun kembali. Manusia hanya bisa berencana namun Tuhan punya kehendaknya, akhirnya ia merasakan arti kalimat yang diucapkan orang-orang dalam acara motivasi itu.

*

Ponsel tua itu bergetar sejenak, bersamaan dengan abu terakhir kretek diketukkan. Alder merangkap untuk melihat notifikasi yang baru muncul dari atas layar. Rupanya pesanan makanan ke salah satu gerai ayam besar di kota itu. Pemuda tersebut memijit pelan lututnya, kemudian berlari-lari kecil ke luar toilet. Besok ia akan datang lagi ke tempat ini, sekadar kembali membangun cita-cita masa kecilnya yang tak sampai dalam bayangan tanpa rupa.

Selesai

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang