till death do us part - alex.

30 5 0
                                    

Gue kesal. Belakangan ini Miya berubah. Teman kecil gue enggak seperti dulu lagi. Janji untuk masuk ke sekolah yang sama memang ditepati, tetapi sejak naik kelas sepuluh, dia semakin tak terjangkau. Mungkin di kelas IPA sudah punya banyak teman-teman baru, sedang otak gue yang pas-pasan enggak mendukung untuk dimasukkan ke jurusan yang sama.

_Hari ini pulang bareng, yuk!_

Pesan _WhatsApp_ sudah terkirim. Sudah seminggu tidak mengobrol dengannya, kangen juga. Sebenarnya gengsi, _sih_ , berulang kali gue yang kirim pesan duluan. Tapi gak apa, deh! Gue, kan, setia kawan dan pengertian. Masa hal-hal semacam ini dibikin ribut!

“Alex! Gak ke kantin? Keburu bel nanti,” ajak Tania.

Ogah, ah, pergi bareng dia! Gue kasi senyum termanis. “Gak dulu, deh, Tan! Tadi istirahat pertama baru makan,” balasku sambil melambai saat melihatnya meninggalkan kelas.

_Tung!_ Ponsel gue berbunyi. Ah, pesan dari Miya! Dengan cepat Oppo Reno 7 gue sambar untuk melihat pesan yang masuk. Secepat itu juga perasaan kecewa merasuki hati saat mengetahui notifikasi barusan berasal dari _direct message Instagram_ salah seorang teman dunia maya gue. Dunia maya memang tempat mencari pertemanan sebanyak-banyaknya, tetapi teman gue di dunia nyata, ya, cuma Miya sendiri.

Penasaran, gue buka lagi pesan _WhatsApp_ yang terkirim belum ada lima menit lalu. Melihat dua centang biru pada pesan tadi, gue tahu kalau ajakan pulang sudah dibaca Miya. Hati tambah dongkol saat melihat status teman baik gue itu _online_ , tetapi belum juga membalas pesan ini. Sampai bel jam istirahat usai berbunyi pun balasannya juga tidak kunjung tiba. Dia malah sempat-sempatnya memasang _story_ hasil kerja kelompok dengan teman-teman di kelas IPA, yang mungkin adalah geng barunya kini.

Materi Sosiologi dua jam terakhir sama sekali tidak ada yang mendarat dengan mulus di otak gue, apalagi meresap ke korteksnya. Isi kepala gue hanya dipenuhi berbagai kemungkinan tidak dibalasnya pesan tadi.

Mungkin dia ada tugas kelompok sepulang sekolah. Tapi, kan, dia bisa memberi kabar, bukannya mengabaikan gue.
Mungkin pesan yang masuk terlalu banyak, jadi yang gue kirim tadi terlewat olehnya. Tapi, dua centang berwarna biru menandakan Miya sudah membuka pesan tadi.
Mau dipikirkan bagaimana pun, hati gue justru bertambah kesal karenanya. Apa gue samperin saja, ya, ke kelas IPA X-2?

“ALEX!”
Seisi kelas menoleh ke muka gue.
Gelegar suara Pak Gultom kembali terdengar. “Coba jelaskan kembali apa yang Bapak terangkan barusan!” perintahnya.
Wajah gue terasa panas. Keringat dingin mulai membasahi punggung. Lirikan mata ke arah Adit, teman sebangku gue, tidak membuahkan hasil. Dia seolah terbenam dalam buku di hadapannya, tanpa berani menoleh ke arah sini.
“Sepulang sekolah temui saya di ruang guru!”
Sial bener gue!

Sepulang sekolah, saat hendak keluar kelas Tania mencegat gue.
“Ini catatan yang tadi,” ucap cewek itu sambil menyodorkan sebuah buku catatan bertuliskan namanya.
“Gue … belum perlu, kali, Tan,” tolak gue halus. Utang budi dibawa mati. Gak banget, deh! Apalagi sama orang yang belum lama kenal.
“Tapi gue dengar hukuman Pak Gultom biasanya berhubungan dengan topik bahasan sebelumnya di kelas. Siapa tahu lo bakalan butuh nanti,” paparnya. Tania memasukkan buku itu ke dalam tas gue dan beranjak pergi.
“Tan …!” Duh, _rese_ banget, sih! Ngapain juga ikut campur?
Dengan berat, gue melangkahkan kaki ke ruang guru. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya gue dipanggil juga oleh guru _killer_ itu. Dan terjadilah sesuai perkataan Tania. Bahkan lebih parah. Tidak tanggung-tanggung, gue harus mengerjakan riset tentang objek kajian sosiologi itu sepanjang sore … di sekolah. Hati gue sungguh-sungguh jengkel. Gue kirim lagi pesan lain pada Miya, sekadar curhat maksudnya. Namun, tetap saja tidak mendapat balasan.

Sepanjang minggu berikutnya, hati gue penuh awan gelap. Kehilangan teman kecil yang dipercaya sangat tidak menyenangkan. Mood belajar gue di sekolah hilang seketika. Miya akan berpura-pura tidak melihat gue jika kita kebetulan berpapasan di sekolah. Dia sudah tergabung dalam Geng Comel IPA–sekelompok cewek-cewek berisik yang merasa dirinya lebih pintar dan cantik. Bahkan seusai upacara bendera beberapa hari lalu, gue dengar Miya masuk UKS karena pingsan. Oh, jadi sekarang sok-sokan pingsan supaya bisa istirahat di UKS, ya? Dulu juga biasa main di kali dekat rumah, berpanas-panasan di bawah teriknya matahari, tidak apa-apa.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang