Seorang gadis duduk di balkon kamar, seraya menikmati semilir udara pagi. Acha Kanzia, anak tunggal yang ingin memiliki kakak laki-laki. Selama ini, Acha selalu menganggap dirinya bisa melakukan semua hal. Namun, memasuki usia tujuh belas tahun, Acha merasa semua mulai berubah. Ia yang merasa selama ini sudah cukup dewasa, karena berbaur dengan mereka yang lebih tua.
Sebenarnya, "Apa yang paling ditunggu saat berada di usia tersebut?"
Jujur saja, dulu Acha memusingkan akan menjadi apa di masa depan, dan rasanya ia ingin segera menjadi dewasa. Tidak lagi memikirkan tugas, ulangan harian, dan berbagai ujian yang melelahkan.
Acha selalu membayangkan jika menjadi dewasa pasti menyenangkan, ia bebas melakukan hal apapun, dan memiliki penghasilan sendiri. Rasanya Acha ingin membeli semua barang yang diinginkan.
Namun, setelah memasuki tujuh belas tahun, dan mulai menjalani hari-hari dengan pemikiran dewasa yang mulai terbentuk. Ia berpikir, hal apa yang akan dilewati nanti? Apakah ini tidak terlalu cepat? Acha merasa kurang menikmati masa remajanya. Saat ini, ia mulai bingung akan jati dirinya, sungguh ini cukup memusingkan!
Ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Ibunya memintanya untuk datang ke rumah saudaranya yang berjarak 100 meter dari rumahnya. Ia bersiap-siap menuruni tangga, dan mengambil sepatu bergambar lolipop kesayangannya. Hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk Acha sampai kesana.
"Sini, sayang," sambut Mia, mama Acha. Melihat kedatangan anaknya.
Acha tersenyum melihat kearah ibunya, tetapi senyuman itu tiba-tiba luntur. Ia membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, ketika dirinya mulai masuk ke dalam rumah ini.
Mia menggenggam tangan Acha, dan membawanya menuju ruang keluarga. Disana terlihat semua keluarga sedang duduk bersantai, dan mereka sedan menunggunya?
Acha mulai menyadari satu hal dari tatapan mereka. Sudah pastinya ia akan ditanya ingin lanjut kuliah atau tidak. Karena sampai sekarang Acha masih bingung, dan belum menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
"Wah, Acha sudah sampai ya. Sini, Cha." Tante Kara mempersilahkan Acha duduk di sebelahnya.
Meski awalnya ragu, tetapi Acha tetap duduk di sebelah tantenya. Ia memilih diam karena tidak tau harus melakukan apa. Jarang berinteraksi dengan para saudara membuatnya sedikit kesulitan menyesuaikan diri.
Om Ari mulai bertanya pada Acha. "Kamu sudah lulus SMA ya? Niatnya mau lanjut kemana, Cha?"
"Belum tahu, Om," jawab Acha jujur.
"Loh? Kok belum tahu. Waktu itu katanya kamu mau lanjut kuliah, dan ambil sastra Indonesia?"
Acha mengangguk. "Iya, tetapi sekarang aku merasa sedikit tidak cocok."
Kini giliran kakeknya yang bertanya. "Berarti sekarang sudah punya keinginan di jurusan lain? Kalau kakek boleh tahu jurusan apa yang kamu inginkan?"
Acha menghela napas pelan, sangat pelan. Sudah jelas hal ini akan terjadi, tetapi ia malah datang kesini. Mereka terlalu menunggu Acha menjadi dewasa, padahal dewasa tidak perlu ditunggu. Bukankah lebih baik jika mereka mendukung Acha untuk mempersiapkan masa depan?
Acha kemudian beralih menatap ibunya, berharap mendapatkan bantuan. Mia yang mengerti Acha pun tersenyum. "Sebenarnya Acha sering cerita kepada Saya. Memang benar dia dulu ingin kuliah jurusan sastra Indonesia. Namun, setelah lulus kemarin Acha tidak ingin berkuliah."
"Dari situ Saya meyakinkannya kembali akan keinginan awalnya untuk masuk jurusan sastra. Mungkin jika dia bercerita kepada orang lain, jawaban yang akan didapatkan, "Terserah itu kan pilihan, dan masa depan kamu. Berarti kamu yang punya keputusan."
Mia sedikit memberi jeda. "Memang tidak salah, karena mereka mengatakan seperti itu karena ini masa depan Acha. Dia yang bakal jalanin kedepannya. Namun, kembali lagi pada Acha yang selama ini dibesarkan, dan diperhatikan dengan penuh perhatian. Untuk itu tentu saja Saya harus memberinya pengertian pelan-pelan."
Tante Kara menyahut. "Acha kan sudah besar? Apalagi umurnya sudah tujuh belas. Dia tidak bisa selalu diperhatikan, dan sepertinya kamu kurang tegas?"
"Maaf sebelumnya, Saya kurang tegas? Memangnya tegas menurut Tante sendiri bagaimana? Apakah harus memberi pengertian dengan nada tinggi?"
Setelahnya keheningan pun terjadi, tante Kara tidak berani menjawab, dan yang lain tidak ingin ikut campur. Ibunya terus menatap tante Kara dengan tatapan serius. Ya, selalu seperti ini jika sudah menyangkut tentang anaknya.
Sedangkan Acha sendiri tengah merenungi perkataan ibunya, dan merasa beruntung memiliki ibu seperti Mia. Dulu ia berpikir ibunya tidak menyayanginya, hanya karena tidak mendukung keinginannya. Selama ini Acha dikuasai oleh pikiran yang masih labil. Mudah terpengaruh oleh perkataan orang lain.
Ternyata menjadi dewasa tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kekhawatiran yang berputar di otak, padahal belum tentu terjadi. Tujuh belas tahun, suatu hal yang sudah lama Acha tunggu, tetapi ketika sudah dihadapkan mulai merasa risau.
Rasanya ingin mengulang pada beberapa tahun yang lalu, dimana mungkin ia bisa mempersiapkan semuanya terlebih dahulu. Bisakah Acha meminta jeda sedikit saja? Ah, itu jelas tidak bisa!
Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Menyisihkan ego, tidak bermalas-malasan, mengurangi keinginan bersenang-senang, dan menyelesaikan target yang sudah dibuat.
Terlihat sulit bagi Acha, tetapi hasil tidak akan mengkhianati usaha 'kan?
Dewasa bukan hanya tentang bertambahnya umur kita, tetapi juga tentang bagaimana cara kita menyelesaikan segala permasalahan sendiri. Menjadi dewasa tentu tidak mudah, karenanya kita butuh persiapan. Semua bisa dilakukan dengan perhitungan yang tepat, dan tentunya tidak semudah yang dibayangkan.
Terkadang kita baru menyadarinya belakangan. Ketika masa itu sudah datang, dan berada tepat di depan mata mengapa keraguan itu ada? Apakah bisa kembali dengan mesin waktu?
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin