pura-pura kuat - anie.

32 6 0
                                    

_"Sometimes, all I think about is you. Late nights in the middle of June. Heat waves been faking me out. Can't make–"_

"Yang lagi nyanyi diem dong. Suaranya jelek." Dasar ibuku ini. Suka sekali mengkritik orang. Apalagi ini anaknya sendiri lhoh. Enggak bisa apa yah, bikin anaknya senang gitu? Memang sih ibuku  beda dari para ibu lainnya. Namun, harus gitu sampai merecoki kesenangannya?

"Ibu ini. Lagi suasana _happy_ tau," jawabku dengan nada merajuk, dengan tanganku yang masih melipat baju-baju yang habis dikeringkan.

"Suaramu bikin adek nangis, Anie. Lagian daritadi ngelipet baju kek antrian sembako, lama banget," cerocos ibuku. Ia tak akan berhenti merecokiku jika aku tidak mengiyakan atau menuruti perintahnya.

"Sebentar lagi selesai, Bu. Jadi jangan ajak Anie debat." Ini enggak selesai juga gara-gara ibu. Pasalnya hampir seluruh semua baju yang ada di rumah harus dirapikan. Padahal 'kan banyak juga. Suka seenaknya aja ibu ini. Untung ia adalah ibu yang paling kusayang.

"Alesan aja kamu," balas ibu tak terima. "Kalau udah selesai, tolong beliin susu formula buat adek, ya. Kalau enggak minum itu, adek nangis terus."

"Iya, Bu." Walaupun hati dongkol karena disuruh-suruh, tetap saja aku harus menuruti perintahnya. Lagipula aku adalah anak sulung dari dua bersaudara. Hidup tanpa ayah, dan bersama nenek yang selalu memikirkan dirinya sendiri.

Setelah merapikan tempat untuk melipat baju, aku langsung mengambil dompet ibu. Lalu bergerak menuju toko tempat susu formula itu dijual. Diperjalanan kebanyakan para ibu-ibu bercerita tentang keburukan manusia lain. Aku paling tidak suka dengan Ibu Sia. Karena ia suka memamerkan apapun tentang keluarganya maupun hartanya.

"Permisi, Bu." Berusaha bersikap sopan membuat lama-lama jadi enggan. Apalagi jika orang tersebut tidak menghargai balik.

"Oh, Anie. Mau kemana kamu?" tanya Ibu Dah, orang terjulid nomor satu.

"Mau ke toko, Bu. Mari!" Jujur aku malas jika harus berlama-lama ditempat tersebut. Yang ada nanti mereka berusaha memojokkan diriku dengan pertanyaan yang menohok. Aku berkata seperti itu karena sudah berulang kali mengalami hal tersebut. Setelah hampir tujuh menit berjalan kaki, akhirnya aku sampai di toko. Toko ini bisa dibilang paling besar dan terkomplit dari toko lainnya. Maklum, di desa hanya segelintir orang yang berkehidupan lebih dari cukup.

"Assalamualaikum, permisi!" Aku berusaha menyuarakan suaraku dengan keras. Barangkali jika pemiliknya tidak dengar.

"Waalaikumussalam, sebentar ya!" Alhamdulilah ternyata pemiliknya mendengar. Mungkin aku tidak akan berlama-lama berada di sini. Lalu beberapa detik kemudian, seseorang perempuan muncul dari balik tembok. Yang seharusnya dia juga salah satu orang yang kuhindari untuk bertatap muka.

"Mau beli apa, Anie?" tanya perempuan tersebut, panggil saja Kak Indah.

"Beli susu formula yang sering dibeli ibu kak. Apa ada?" tanyaku balik dan berusaha ramah.

" Yang enam ratus gram 'kan?" tanyanya lagi yang kubalas dengan anggukan. "Tunggu sebentar aku cariin."

Kak Indah lalu kembali dengan membawa barang yang kuinginkan. Dengan cepat ia membungkus barang tersebut.

"Dengar-dengar kamu mau lulus sekolah ya?" tanya Kak Indah. Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan akan terjadi.

"Iya kak," balasku cepat.

"Mau lanjut kuliah nggak? Kakak ada rekomendasi universitas bagus untuk kamu." Aku menggeleng.

"Kenapa? Bukannya kamu pintar ya? Pasti kamu bisa keterima kok. Nggak usah takut. Atau jangan-jangan kamu mau kerja? Kakak bilangin yah. Kalau cuma kerja di pabrik, pendapatan dimasa depan kurang memadai. Beda dengan lulusan sarjana. Kalau masalah biaya, minta aja sama ayah kamu. Toh, dia juga orangtua kamu walaupun udah pisah sama ibumu."

Sungguh aku muak dengan suara ramah dari Kak Indah. Nyatanya ia hanya mengejek diriku yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pertama ia akan berkata membantu, setelah bantuan berakhir ia akan menyombongkan dan mengolok-olok diriku. Aku sudah paham akan maksudnya.

"Ini uangnya kak. Terima kasih. Anie permisi. Assalamualaikum," pamitku lalu pergi meninggalkan toko tersebut.

"Dasar sombong. Ibunya aja enggak tau diri. Makanya nurun sama anaknya." Jangan terpancing emosi, Anie. Biarkan saja dan pergi dari sini.

Tatapan sinis aku dapatkan setelah keluar dari toko tersebut. Mungkin mereka mendengar perkataan Kak Indah di akhir saja. Jadinya mereka mengira aku yang bertindak kurang ajar. Sungguh aku tak tahan berada di luar rumah. Inilah yang tidak kusuka jika ibu menyuruhku membeli sesuatu di luar rumah. Akan ada tatapan mencemooh yang kuterima sepanjang jalan.

Bersikap tegar itu tidak menyenangkan. Apalagi jika harus pura-pura bahagia.

Sesampai rumah aku langsung menuju kamar. Pesanan ibu sudah kutaruh lebih dulu di meja ruang tamu.

_Tok tok tok_

"Nak, buka pintunya sayang. Kamu ada masalah? Bicara sama ibu yuk," kata ibu terdengar di luar kamar. Jika ibu sudah memanggilku dengan 'nak', maka ia sedang dalam mode serius.

"Tidak ada bu." Sial suaraku serak. Pasti ibu mengira aku sedang menangis.

"Mereka mengejekmu lagi? Atau nenek yang seenaknya sama kamu?" tanya ibu. Sungguh, hanya ibu seorang yang mengerti perasaanku. Aku tetap diam, tak berusaha untuk menjawab.

"Jika diam berarti ibu benar. Jangan pedulikan mereka, Nak. Mereka itu suka jika seseorang dibawahnya menderita dan memohon-mohon kepada mereka. Apalagi jika kau bersikap seenaknya. Kamu tidak boleh melawan sayang. Biarkan mereka sesukanya untuk mencari kelemahan orang lain." Ibuku berusaha memberikan nasihat terbaiknya. Jika dipikir-pikir ibu lebih tabah, dan sikapnya jauh berbeda dengan nenek. Bisa dibilang nenek sama seperti mereka diluaran sana dan berpikiran kolot.

Mataku berair. Teringat kejadian kemarin, saat nenek memaksa diriku menjadi yang terbaik dengan cara yang tidak kusuka.

"Ta-tapi, Bu. Aku tidak, tidak sekuat ibu. Tidak setabah ibu." Air mata berjatuhan. Dipaksa seperti yang mereka inginkan, seakan-akan aku ini robot. Dipaksa patuh padahal aku tidak suka dengan perintah buruknya. Dipaksa menjadi lebih dari yang terbaik, padahal aku sudah menunjukkannya. Lalu dipaksa bahagia, walaupun mereka tau hatiku mudah terluka. Apalagi ayah sekarang tidak pernah memperhatikan anak-anaknya setelah bercerai. Aku teringin sekali dipeluk dengan tubuh hangatnya. Bukan wajah sinis jika bertemu.

"Ingatlah. Allah tidak akan membebani umatnya diluar kemampuannya. Kita bisa menjalaninya." Ibuku masih bertahan di depan pintu. Sedangkan aku menangis tersedu-sedu.

"Beristirahatlah. Ibu akan memasak makanan kesukaanmu," kata ibu sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan diriku. Aku bahkan tak tergiur dengan makanan kesukaanku.

Aku menolak keras jika anak kecil berpendapat bahwa orang dewasa bisa melakukan apapun dengan bebas. Nyatanya semua itu tetap ada pantangannya. Rasanya ingin menjadi anak kecil saja. Yang kerjaannya hanya memikirkan belajar dan bermain.

Dewasa itu membuat kita sakit mental. Lalu aku dipaksa menjadi dewasa.

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang