pelan saja - abiyan.

91 12 0
                                    

Surat kabar membawa rubrik untuk dibisik-bisik oleh masyarakat. Asap dari susu panas menguasai seolah hendak membuat kamarnya terbakar. Alunan dari kaset milik nenek berputar mengelilingi telinganya. Sebuah kepala menari ke kanan dan kiri, mengikuti irama yang bergoyang layu. Bunyi bising hujan seolah tak terdengar, hawa dingin yang menusuk luar kulit bak tetes merinding yang kian membuat bulu-bulu menggigil. Siapa pun pasti ingin dikenang dalam ingatan seseorang, satu dua kepala sudah cukup, bilamana dirinya masih dapat hidup dalam memori yang tak mati.

Memejamkan mata, tidur membuat dirinya tidak perlu lama menunggu waktu pagi tiba. Sekoyong-koyong tubuhnya bangkit untuk menyambut pagi yang tersenyum lebar, seolah melebarkan tangan untuk pelukan selamat pagi, selamat berjuang kembali.

Orang-orang berlalu-lalang, dapat dilihat dari pantulan bayangan di pintu kamarnya. Melirik jendela yang berdiri tegak dua pasang di sudut kanan, Abiyan melangkah turun dari kasur, berjalan mendekati jendela untuk melihat suasana di luar sana. Ramai. Banyak sanak keluarga yang datang, dirasa mereka datang saat nenek sedang sakit saja. Saat sedang dalam kondisi baik, mereka tidak berkunjung. “Pantas saja ramai, mereka pasti sedang menjual wajah dan sikap untuk mendapatkan warisan. Manusia tidak tahu malu,” kata mulut pedasnya, berbisik.

Saat hari beranjak siang, rumah besar ini kembali sepi, menyisakan Abiyan, sang Nenek, dua pembantu yang bekerja, dan seorang bibi yang bertugas merawat neneknya. Diletakkan di rumah nenek sejak kecil membuat Abiyan hidup dengan riang dan penuh tawa, neneknya adalah yang terbaik. Sesekali ia harus pulang ke rumah asli miliknya, di mana ibu dan ayah ada di sana. Namun, tempat terbaik untuk pulang adalah pelukan sang Nenek. Sejak kecil sudah bersama, hubungan mereka kian erat. Sebagai anak tunggal, wajar saja jika sang Nenek memperlakukan Abiyan hingga membuatnya sangat manja. Jika sudah sebesar ini, bisa dikatakan posesif. Abiyan kesal jika saudaranya yang lain mencari muka dengan sang Nenek. Ia merasa dilupakan. Posesif sekali, bukan?

Mengumpulkan beberapa karet untuk dimainkan bersama sang Nenek, lalu setelah lelah, keluar menghirup udara di taman sembari berlari ke sana-kemari menangkap burung perkutut. Angin melambai, ikut tertawa bersama riang yang dibawa Abiyan. Liburannya tak perlu bergelut dengan teman, atau keluar menghabiskan uang orang tua, bermain sendirian di sekitaran rumah neneknya sudah sangat sempurna untuk menetralisasikan otaknya yang menguap, sebab ia baru saja dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Atas. Mempersiapkan diri untuk dunia baru agaknya sulit, ia khawatir hingga tak mau bermain dengan temannya. Abiyan takut berduka karena hendak berpisah. Walau ia sadar di setiap pertemuan ada perpisahan. Namun, jika dipraktikkan langsung, sangat menyesakkan.

Semangkuk sop panas di meja sudah takut-takut, karena hendak ditelan habis oleh kelaparan seseorang. Aroma masakan nenek sudah mendarah daging di penciumannya. Lari-lari dengan senang, Abiyan masuk ke dapur melalui pintu belakang, di sana presensi neneknya terlihat. Tersenyum lebar menyambut manisnya perlakukan sang Nenek, Abiyan langsung duduk dengan riang di kursi. Ia akan menunggu sepiring kue cokelat sebagai hidangan penutup mereka, sebentar lagi, seperti biasa. Akan tetapi, mendadak ia terkejut dengan kehadiran tangan yang menepuk pundaknya. Ibu.

Ekspektasi menampar, ia menampilkan raut wajah sendu, seolah hendak menangis melihat anaknya. “Kenapa, Bu? Kenapa Ibu ada di rumah nenek?”

Tidak jawaban yang langsung keluar, hanya sunyi sekilas. “Abiyan. Ibu tahu kau sangat menyayangi nenek. Namun, nenek baru meninggal kemarin, Nak. Ikhlaskan dia, ya?” Sang Ibu tanpa aba-aba memeluk si anak. Aroma khas sang Ibu menyangkut di penciuman, sehingga aroma masakan neneknya tak tercium kembali. Sesaat kemudian, Abiyan menyadari bahwa semua hanya imajinasinya saja. Ia belum merelakan kepergian neneknya, sehingga ia bertingkah seolah sang Nenek masih ada di sana, menunggunya selesai bermain di taman penuh pohon dan bunga belakang rumah. “Kita pulang, ya? Acaranya sudah selesai, besok kita akan ke sini lagi jika kau ingin. Ibu akan menemanimu.”

“Bu, apa bernapas itu membosankan? Kenapa nenek pergi saat aku ingin ditemaninya menuju dunia baru? Aku ingin dia ada di sisiku, membimbingku seperti biasa.” Abiyan menundukkan kepala, membuat sang Ibu tak tega dengan lesu si anak. “Ibu, apa nenek membenciku karena sering merajuk tak jelas padanya?”

Ibunya mengusap kepala Abiyan dengan lembut, tatapan sedu muncul di sana. Anaknya sudah tumbuh besar, lalu ia terlalu sibuk mengabaikan sampai tidak sadar bahwa secara fisik dan pikiran, sang anak sudah bukan anak-anak kembali. Ia tersenyum kemudian berkata, “Nak, kenangan di mana kita tertawa lepas, sedih, marah, frustrasi, berdebar, dan lainnya adalah hal yang membuat kita merasa lebih hidup. Terlebih, kenanganmu dengan nenek adalah sesuatu yang berharga, kau harus menyimpannya baik-baik dalam ingatanmu. Nenek akan senang jika terus diingat olehmu.” Menatap sekeliling dapur tempat anaknya menghabiskan waktu dengan sang Nenek, yang merupakan ibunya, ia tersenyum lirih. “Di rumah ini, kenangan ibu bersama nenekmu juga banyak sekali, itulah alasan ibu tetap mengingatnya, walau sedikit lupa termakan usia. Satu lagi. Bernapas itu tidak membosankan, yang membosankan adalah cara si manusia itu mensyukuri setiap hela napasnya.”

“Namun, apa aku sanggup kuliah dan menjalani kehidupan baru di dunia luar? Terlalu mengerikan, terlebih tanpa nenek.” Laki-laki ini menjatuhkan air mata, sesaat langsung mengusapnya cepat. “Aku khawatir, Bu. Khawatir pada diriku sendiri. Namun, nenek selalu menyemangatiku dengan kata “Setiap tahun bertambah tua. Setiap hari kehidupan sedikit demi sedikit bertambah rumit, diambil dari esai Banana Yoshi oto berjudul Being an Adult” ia berkata dengan senyum riang. Nenek juga sering mengajakku membaca buku-buku filsafat atau buku non-fiksi. Ia telah banyak mengajariku, sedangkan aku belum memberikan apa-apa untuk membalas jasanya.”

Manis sekali, sang Ibu sampai iri dengan kedekatan anaknya dengan ibunya, walau saat kecil, ia juga merasakan hal sama. “Ibu juga punya kata-kata yang bisa menyemangatimu menuju dunia orang dewasa.” Ibunya terduduk di salah satu bangku, Abiyan ikut duduk di sebelahnya, menunggu dengan tenang kata yang akan segera dilontarakan sang Ibu. “Tidak masalah bila tidak menjadi dewasa. Namun, jangan lupa menjadi diri sendiri. Sebab, itu adalah tujuan terpenting kita ketika lahir di dunia ini. Bagaimana? Ibu mendapati kata ini dari salah satu buku yang ibu baca, terkesan menyentuh sekali, bukan?” Berikutnya, jemarinya yang nanti akan keriput, membelai wajah Abiyan. “Hal yang ibu tidak ingin terjadi padamu juga adalah, pudarnya impianmu, Abi. Sebab yang sering ibu lihat dari lingkungan sekitar, mimpi sewaktu kecil sering pudar ketika seseorang itu menginjak dewasa. Ibu ingin kau berpegang terus dengan mimpimu, dan raihlah. Walau ibu jarang ada di sisimu, dibanding nenek, ibu dan ayah selalu mendukungmu.”

Keduanya menyunggingkan senyum, sejenak melepas duka dengan pelukan penuh tangis, sebelum akhirnya pasangan anak dan orang tua ini beranjak pergi menuju rumah mereka. Di sepanjang jalan, Abiyan mengingat banyak hal mengenai kenangan indah yang pernah ia lalui dengan sang Nenek; bermain di sungai mencari ikan, mengambil madu di sarang lebah, bermain di sawah milik paman tetangga, dan banyak lainnya. Rumah neneknya tidak akan dijual oleh ibu, ia akan merawat rumah tersebut, karena di sana banyak kenangan dirinya dan juga anaknya, bersama sang nenek. Menjalani setiap waktu menjadi diri sendiri, saat ini, itulah pilihan Abiyan.

Beberapa detik sebelum pemandangan desa neneknya menghilang dari penglihatan, ia teringat satu kutipan yang pernah sang Nenek bacakan padanya. “Dunia sering mengacu pada kata-kata “semangat, hiduplah dengan baik”. Sekarang semakin jarang ada orang yang memotivasi dengan kata-kata ini. Sebaliknya, saya ingin berkata seperti ini; Tidak mengapa jika kita tidak berusaha. Jika kita terlalu berusaha, rasanya seperti terjerumus dalam dunia yang salah. Malah, bila kita tidak terlalu berusaha, bukankah hati kita akan lebih nyaman? Manusia tidak memiliki alasan untuk hidup dengan berusaha terlalu kuat. Ketika kita berpikir seperti itu, anehnya, akan muncul kekuatan. Orang yang jahat adalah orang yang memberikan beban terus-menerus kepada kita. Tidak apa-apa jika kita tidak memberi kekuatan. Mulailah secara perlahan selangkah demi selangkah. Kalimat dari novel karangan Tsuji Hitonari berjudul Please Give Me Love.” Abiyan terdiam saat ibunya menoleh padanya, mungkin sang Ibu mendengar gumamannya. Namun, Abiyan tidak permasalahkan hal ini, ia tersenyum cerah menatap jalanan di depannya. “Tak apa, ya? Pelan-pelan saja.”

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang