tanpa langit terang - emiliana.

22 4 0
                                    

Sudah lama aku tidak menulis buku harian. Namaku Emia, singkatan dari Emiliana.

Menurutku hal pertama yang harus dipersiapkan ketika lahir ke dunia ini adalah rasa kecewa. Tangan yang kita genggam suatu saat tidak akan lagi bisa menggenggam. Wajah yang setia menemani kita, suatu saat tidak akan lagi bisa tersenyum. Semua menjadi memori, tersimpan dalam hati.

Aku selalu merindukannya, terutama setiap ada anak kecil yang bermain dengan kakeknya lewat di hadapanku.

Aku akan tersenyum dan sedetik kemudian meneteskan air mata. Aku mengingat semuanya. Saat aku masih kecil, duduk di atas sepeda roda tiga berwarna merah.

"Hayooo, bisa _jumping_ ngga? _Jumping_ dulu, _jumping_ dulu. Yaa, pinter."

Aku akan mengangkat sepedaku ke atas sedikit lalu mengikuti langkah kaki kakek. Di pinggir jalan depan rumah, saat di mana aku tidak membayangkan bagaimana rasanya kehilangan. Kakek yang selalu tersenyum di depanku. Mencoba membuatku tak berhenti untuk tertawa, tetapi juga mengajarkanku untuk berani.

Anak-anak kecil lain bermain. Aku berbagi tawa bersama kakek. Kakek adalah orang yang sangat kreatif. Kadang membuatkan mainan baru, aku akan menyentuh berbagai barang yang ada di sekitar kakek.

Aku merindukan masa-masa itu. Dulu, tidur di samping kakek ataupun nenek adalah hal yang sering kulakukan. Pelukan mereka terasa tak kalah hangat dibandingkan dengan orang tuaku.

Sekarang aku memikirkan semuanya. Pasti kakek dan nenek sangat bahagia saat dulu aku lahir. Mereka akhirnya tidak lagi menanti untuk memiliki cucu. Di usia yang sudah tidak lagi muda, cucu adalah harapan terakhir yang mereka miliki. Melihatku tumbuh pun sudah merupakan salah satu momen paling bahagia.

Hanya, dulu aku belum tahu betapa berartinya keberadaanku untuk mereka.

Aku ingat selalu duduk di tengah, saat kakek dan nenek masih sehat, menjual jamu lalu diantar ke rumah orang-orang yang memesan. Kota ini kota kecil. Banyak yang mengenal kakek nenek. Aku menemani, atau lebih tepatnya mungkin mereka yang menemani masa kecilku. Hingga tiba-tiba waktu merenggut dua orang yang kucintai. Orang tuaku hancur. Terutama Ibu.

Kita tidak bisa melupakan dua kenangan. Kenangan bahagia dan kenangan yang menyedihkan. Aku belum dewasa saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi, orang-orang hanya bilang Tuhan mencintai kakek dan nenek. Sehingga Tuhan harus minta ditemani oleh kakek nenek juga. Hanya selisih satu hari.

Cinta tidak dipisahkan oleh maut. Maut yang membuat cinta mereka menjadi abadi.

Bukannya sedih, dulu aku senang. Aku tidak bisa melupakan apa yang kukatakan saat itu. "Ibu kenapa sedih? Kan, Tuhan sayang sama kakek, sama nenek. Aku aja senang kalo kakek nenek nemenin malaikat. Kenapa Ibu ngga senang?"

Kehilangan adalah hal terakhir yang aku harapkan dalam proses menjadi dewasa. Aku tahu kita tidak bisa mengendalikan waktu. Namun, bukankah kehilangan sudah terlalu berat?

Aku kecewa pada diriku sendiri yang tidak melakukan banyak hal untuk membantu kakek dan nenek. Aku menjadi anak kecil polos yang tidak tahu apa pun. Semua pelajaran hidup yang kakek berikan tidak akan kulupakan.

Saat aku jatuh dari sepeda, kakek menyuruhku bangkit. Saat nenek memasak, aku berdiri di dapur. Menghalangi jalan, nenek yang bolak-balik mengambil bahan untuk dimasak. Sebenarnya aku bisa saja disuruh bermain agar tidak mengganggu, tetapi nenek tidak melakukannya. Walaupun aku mengganggu. Aku yang selalu ribut minta digendong oleh kakek.

Rupanya semua kenangan itu menjadi teman dan lawanku. Aku harus melawan rasa egois, aku harus berteman dengan rasa rindu.

Menjadi dewasa bukan soal mendapatkan apa yang belum kita miliki, tetapi soal menyadari betapa pentingnya apa yang kita punya. Sekecil apa pun itu, kita harus bersyukur. Jangan mencari apa yang tidak kita miliki, tetapi jaga apa yang sudah kita miliki.

Aku akan selalu merasa bersalah karena tidak bisa membantu kakek nenek dulu. Aku akan selalu merindukan kakek nenek yang sudah tidak bisa lagi melihatku tumbuh dewasa dari sini. Aku harap aku tumbuh, sesuai dengan doa mereka.

Rasa kehilangan yang datang terlambat ini membuatku memahami bagaimana hancurnya kehilangan seseorang yang kita cintai. Di sisi lain juga membuatku menyadari bahwa kita perlu berada dalam kegelapan sebelum mengetahui adanya cahaya. Mereka pikir aku terlalu terikat dengan kakek nenek.

Benar, aku terlalu menyayangi mereka. Mereka seperti orang tuaku. Walaupun kebersamaan kami tidak terhitung lama, sepertinya ingatanku terlalu bagus untuk melupakan. Bahkan yang kebanyakan tidak ingat masa kecil mereka, aku ingat semuanya.

Proses yang membuatku tumbuh dewasa, terlalu siap kehilangan siapa pun itu yang aku cintai. Kadang, tentu saja aku tidak mau mengalami untuk kedua kalinya. Namun, itu tidak bisa dihindari. Kita akan kecewa, kehilangan, dihina, direndahkan, yang bisa kulakukan hanya mengangkat kepala. Mustahil untuk tidak merasa sedih, tetapi air mata bisa menyadarkan diri ini. Tentang benar dan salah, kekecewaan dan penyesalan.

Balikpapan, 25 Mei
Emia

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang