hangus dibawa cahaya - jivan

27 4 0
                                    

"Apa yang membuatmu datang kemari di waktu fajar begini, Ji?"

"Tentu saja untuk bertemu denganmu, apalagi memang?"

Aku tertawa setelah itu mengingat nada suaranya yang tampak kesal dengan kedatanganku, Alyssa masih mengenakan piyama berwarna merah jambunya juga dengan rambut yang terlihat seperti singa. Ia masih terlihat sangat cantik bahkan jauh lebih cantik. Mengikuti langkahnya yang gontai aku tidak bisa berhenti mengulum senyum kala itu. "Kita sudah tidak lama bertemu, apa kamu tidak merindukan diriku?"

"Kamu yang memintaku untuk memberi waktu untuk sendiri, jadi sejak awal aku sudah berjanji untuk tidak mengkhawatirkanmu. Kamu tahu jika aku tidak melakukan hal tersebut aku akan menjadi gila karena mengkhawatirkanmu, bukan?" sahutnya. Gadis ini masih bisa membuatkanku segelas teh manis dengan kesadarannya yang belum terkumpul sementara aku sedang khawatir kalau-kalah rasa tehnya akan menjadi asin. "Kamu mau berapa sendok gula?"

"Satu sendok saja barangkali karena kamu sudah kelewat manis."

Ia terlihat tertawa sedikit, kemudian menghela napasnya panjang sembari mengambil satu sendok gula lebih—karena jika hanya satu sendok memang tidak manis.

"Jadi, apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini di masa menikmati waktu sendirimu?"

Aku menghela napas, memang nyatanya belum memberi kabar selama satu minggu aku menyendiri jadi aku buru-buru menjawab,  "Aku menikmati isi pikiranku di kamar sendiri dan bergelut bersama hati karena merindukanmu."

"Kamu makan dengan baik?"

"Tidak."

"Apa kamu masih ingin hidup?"

"Tentu, tujuan hidupku adalah untuk melansungkan hidupku bersamamu."

Ia meletakkan satu cangkir teh hangat di atas meja juga badannya disampingku, mengarahkan pandangannya penuh padaku yang kemudian kutemukan sebuah kekhawatiran yang tersirat di dalam tatapanmu tersebut. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi dirinya sudah kembali menyahut, "Aku sudah memberitahumu untuk tidak menyiksa diri jika sedang di masa yang buruk, bukan? Mengapa tidak memilih untuk bermain bersamaku saja selama seminggu daripada berdiam diri di kamar kemudian tidak makan dengan baik begitu?" Aku mendengarnya dengan baik, sangat baik sampai aku tidak sadar aku masih tersenyum disana.  Sepertinya Alyssa juga menyadari itu, jadi ia buru-buru berdeham dan bertanya, "Jadi, apa yang kamu konsumsi selama satu minggu kemarin?"

"Mi instant, telur dan nasi."

"Kamu pasti sudah berencana untuk bunuh diri, mengapa memilih untuk bertahan?"

"Untuk tetap bersamamu dalam waktu yang lama."

Alyssa tidak terlihat senang dengan jawabanku, raut wajahnya masih terlihat kesal barangkali karena aku tidak makan dengan baik. Aku kemudian mengelus punggung tangannya, beberapa menit menyiapkan kata-kata untuk disampaikan sampai akhirnya aku bertanya, "Kamu tidak ingin bertanya mengapa aku melakukan hal tersebut secara tiba-tiba?"

"Memang kamu ingin menjawabnya?"

Aku merona, kemudian mengelus hidung yang sedikit gatal dan menyahut, "Kamu sangat memikirkanku, rupanya, tetapi tidak apa. Aku bisa menjawabnya, kok."

"Kalau begitu, mengapa kamu mendadak menjadi biru seperti itu?"

Aku mengulum bibir ragu, sebenarnya tidak ingin memberitahu, tetapi karena aku yang menawarkannya jadi aku buru-buru menjawab dengan nada rendah sembari menatap mata Alyssa yang memancarkan cahaya seolah memberiku kekuatan, "Karena ayahku baru saja membunuh seseorang—tidak, lebih dari satu orang. Satu, ia membunuh gadis yang merupakan selingkuhannya karena ternyata gadis tersebut hamil oleh lelaki lain. Dua, ia membunuh lelaki lain yang membuat hamil gadis tersebut. Tiga, ibuku bunuh diri akibat mengetahui itu semua."

"Jivan?"

"Ayahku pergi entah kemana, kemudian aku keluar kamar dan menemukan ibuku yang sudah bersimbah darah. Aku memberitahu polisi setempat, mengatakan alasan mengapa ibu meninggal kemudian mencari si brengsek tersebut yang sudah pergi entah kemana."

Aku mendadak merasa menyesal memberitahukannya padanya karena pada detik itu wajahnya sudah memerah karena menangis keras. Ia berada di pelukanku saat ini, tangannya menepuk pundakku seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Kemudian aku tertawa dalam hati, mengingat betapa menyedihkannya diriku karena sudah membagi luka dengan seseorang yang tidak seharusnya menerima fakta tersebut.

"Maaf, kamu jadi menangis."

"Mengapa baru saja memberitahu padaku sekarang? Aku merasa bersalah karena tidak bisa berada di sampingmu dan mengetahui apa penyebab kamu mengurung diri begitu. Aku seorang kekasih yang bodoh."

Aku menggeleng. "Apa yang kamu bicarakan, Lysa. Kamu sudah lebih dari cukup, kamu sudah berperan dengan penting karena membuatku ingin tetap bertahan. Aku seharusnya tidak membagi luka ini untukmu, aku bodoh karena memberitahumu. Aku merasa bahwa masalah ini tidak ada apa-apanya dengan dirimu."

Alyssa kemudian melonggarkan dekapannya, ia menatapku. "Beritahu aku lebih banyak tentang lukamu, aku juga akan begitu. Dengan begitu kita sama-sama membaginya, mungkin tidak akan membantu meringankan, tetapi tolong beritahu aku jika terjadi sesuatu padamu."

Aku tidak buru-buru menjawab pernyataannya, lebih memilih untuk menyandarkan kepala pada bahunya. Alyssa merupakan seorang gadis yang memiliki banyak luka yang diberikan oleh Tuhan, kedua orang tuanya meninggal di hadapannya saat masih kecil, terjadi kecelakaan yang menewaskan keduanya sementara dirinya selamat. Ia hidup sendiri dengan pamannya yang tidak bersikap baik juga jarang pulang, ia adalah seorang gadis yang berhasil membuatku terkagum karena kekuatannya untuk bertahan hidup.

"Biar kupikirkan terlebih dahulu, tetapi kamu belum cukup besar untuk mengetahui itu semua, Lysa."

"Umurku sudah 18 tahun, Jivan," lirihnya.

Aku memberikannya sebuah senyum, kemudian mengelus punggung tangannya lagi. Tidak ada bisa yang kukatakan untuk mensyukuri kehadiran ya dihidupku.

Aku berhasil menemukan Alyssa.

Aku berhasil menemukan cahaya.

Aku berhasil bertemu bahagia.

Jadi, apa aku bisa untuk tetap hidup?

Aku menikmati sinar matahari yang semakin bergerak menuju pagi, aku menatap gerak matahari bersamanya pada jendela rumah kemudian berkata, "Momen menuju dewasa itu mengerikan, aku harap kita bisa selalu bersama dalam perjalanan menuju dewasa yang entah kapan berakhir ini."

Begitu kalimatku terakhir sebelum kita terlelap menikmati mimpi.

Aku mengingat jelas setiap kenangan diantara kita juga tentang luka yang kuterima. Aku melihat merah, aku merasa panas disekitar. Aku menangis, air mataku menjadi mendidih.

Alyssa, lantas apa yang harus kulakukan setelah menemukan dirimu dan api yang menyatu menjadi abu?

Alyssa, aku membakar diriku untuk bertemu denganmu.

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang