Matahari tahu bagaimana manusia akan mengeluh ketika terik menimpa mereka. Tak perlu ada angin agar mereka tak segan menerima panas juga, walau perlahan, matahari sepertinya mengalah dengan gumpalan awan yang mulai menghitam. Berubah seperti itu, mendung dan angin kian datang hingga satu per satu lebih merasa kesal karena pertanda akan hujan.
Anisa tidak mempedulikan itu. Tak ada relasi antara matahari dan hujan yang sebentar lagi akan datang, ia tak mempercepat langkahnya agar mampu berteduh di bawah sana. Tak ada yang mampu mengusik wajahnya yang tertunduk, melangkah begitu lambat di sela-sela napas yang tak beraturan. Anisa tak berharap dunia bersimpati kepadanya, sampai-sampai sang langit bersedia menangis bersama.
Gadis itu sepertinya tak peduli pada buku _notebook_ yang baru berubah kepemilikan padanya pula, sejak beberapa menit yang sekilas tadi. Pada kertas hvs yang tak tertutup apa-apa untuk tugas sekolah besok, bahkan menggenggamnya terlalu kuat hingga lusuh dan robek di tangannya.
Lalu, Anisa sangat benci dengan saat seperti ini. Saat kacau dan bukan berada di kamar rumah, terlalu benci dengan emosi yang terlalu sulit diajak toleransi. Ia begitu tak suka merasakan hal ini di luar, karena semua orang beralih memperhatikannya. Ia yang terlihat menyedihkan, dengan perangai aneh menangis sendirian di tepi jalan. Melangkah dengan topi hitam di kepala, menyembunyikan setidaknya sedikit wajahnya yang dialiri air mata.
Siapa yang pernah tahu Anisa. Satu pun tak ada, maka Anisa akan berusaha menganggap seperti itu juga.
Di antara isak yang lirih dan usaha untuk berhenti, Anisa melihat pada _lookscreen_ ponselnya. Ada kurang dari dua menit bagi bus yang akan ia naiki datang, sebelum ia mendapati bus itu melewati dirinya ke depan. Ke halte yang berjarak sepuluh meter darinya, dengan orang-orang yang sudah menunggu sembari memperhatikan tangisannya diam-diam.
Anisa tidak. Anisa tidak akan berlari demi mampu untuk pulang. Kendati ia sangat ingin pulang, ia masih bertahan dengan langkah kaki yang pelan. Bertahan dengan rintik yang mulai menderas, membiarkan semua kertas-kertas layu pada pandangan.
Anisa tidak tahu rintik deras itu mereda tiba-tiba, terlalu cepat padahal langit lebih gelap dari sebelumnya. Ada langkah kaki lain di sebelahnya, berjalan sedikit lebih dulu di depan dengan payung bening yang terbuka lebar. Tak terlalu lebar, sebenarnya, tetapi mampu menghalau rintik air yang menetes pada tubuh Anisa.
Seseorang dengan _t-shirt_ dan _ripped jeans_ gelap, beberapa senti lebih tinggi dari Anisa. Cowok itu hanya memegang payung dan menggenggam ponsel, memainkan ponsel tanpa mau tahu apa yang sedang dilakukan. Siapa pun tahu cowok ini sedang berbagi payung dengan gadis bertopi hitam yang tengah terisak, dengan pakaian yang ternyata sama-sama gelap juga. Anisa mungkin tak semenyedihkan itu, ia tak mengganggu siapa pun, pula manusia tak sepeduli itu terhadap manusia lain.
Jadi, semuanya hanya angin lalu bagi mereka yang sudah berlalu dengan bus itu pula, tinggal Anisa dan cowok di depannya.
"Makasih," ujar Anisa, saat cowok itu meninggalkannya di halte sendirian.
÷÷÷
Sekolah tingkat kedua selalu menyenangkan bagi Anisa. Jika ia mampu menemukan banyak buku fiksi di perpustakaan, atau saat guru pengajar tak mampu hadir di dalam kelas. Saat sekolah pulang lebih awal juga, serta hari libur dadakan yang tak ada duanya. Bagi Anisa, hidup tanpa hal-hal yang membuat pusing kepala juga penting di sekolah.
Anisa tak sempat ke kafetaria, ia malas berdesak-desakan. Ia tak membawa makanan apa pun juga, sehingga dari pagi menjelang petang, tak ada apa-apa pula yang masuk ke dalam perutnya. Karena selain buku fiksi yang tak pernah membosankan, mapel sastra Indonesia juga mampu membuat matanya kenyang. Anisa tak mampu berhenti menyukai aroma buku perpus, berikut angin semilir yang di dapat melalui jendela pada sisi kanan. Perpustakaan yang nyaman, setidaknya dari puluhan tempat pada sekolah yang Anisa pijaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin