tempat untuk bersandar - na'ilaa

22 2 0
                                    

"Bukankah menurutmu itu menyebalkan?! Hah, karena itu aku memilih untuk pergi saja dan… entahlah, aku belum memiliki tujuan yang jelas pula sekarang." Helaan nafas sudah berkali-kali keluar dari mulutku sampai aku tampaknya kehilangan hitungan. Tanganku bahkan hampir saja menghempas gelas keramik berisi teh jika aku tidak buru-buru mengendalikan amarah yang menggelegak dalam diriku. Bahkan tampaknya lawan bicaraku sudah siap untuk menangkap gelas tersebut apabila aku sungguhan melemparnya. Dengan amarahku yang begitu jelas, gelasku kembali terisi penuh dengan teh. Yah, jujur saja, teh buatannya lumayan cukup untuk menenangkan diriku saat ini. Setidaknya, perasaanku sudah tidak separah sebelumnya. Kesunyian mengisi kami berdua selama beberapa saat, sampai akhirnya, suara berat miliknya kembali terdengar setelah memberikanku kesempatan untuk meluapkan setiap keluhan yang kumiliki sampai aku merasa cukup dengan itu semua. "Tidak apa-apa, aku mengerti mengapa kamu merasa kesal. Aku jadi lebih memahami situasimu jika bercerita seperti ini." Dia berhenti sekejap untuk menyesap tehnya sebelum kembali melanjutkan, "dan tidak bagus pula jika seseorang terus-menerus menyimpan masalahnya sendiri. Aku bisa mendengarnya dengan jelas bahwa kamu telah memendamnya terlalu lama." Termenung, jariku mengetuk pelan gelas keramik, tidak berani menyangkal perkataannya. Aku menggigit bibirku, diam dan membiarkan dia lanjut berbicara. "Sebelum itu, aku ingin bertanya padamu dulu," kalimatnya membuatku mendongak, menatapnya. Saking nyamannya, aku hampir lupa dengan siapa aku sedang berbicara. Cakar tajam yang awalnya kukira bisa kapan saja menyerangku, sekarang malah menggenggam cangkir yang tampak begitu mungil dengan hati-hati. Setiap kali dia berbicara, aku bisa melihat jelas gigi taring yang menggantung di ujung mulutnya. Tubuh hijaunya yang mengular panjang benar-benar menahan sinar panas matahari mengenai wajahku. Tetapi, dia berbicara denganku layaknya teman lama, sehingga aku melakukan yang sama. Meski tidak bisa kupungkiri bahwa awalnya aku sudah berpikiran buruk tentangnya. Karena, siapa, sih, yang tidak kaget jika seorang nagalah yang mengajakmu mengobrol? Satu-satunya hal yang terasa manusia darinya hanya cara berbicaranya dan mata hijau layaknya zamrud yang tidak hanya sekali mampu memikatku. "Mengapa kamu justru menceritakan ini semua kepadaku? Bagaimana dengan ibumu? Atau orang lain yang berada disekitarmu?" tanya Tuan Aiden—ya, itu nama yang dia beritahukan kepadaku—dengan nada yang memberi kesan murni akan rasa penasaran, bukan menghakimi seperti yang aku dapatkan dahulu. Dan itu adalah alasan yang cukup untuk menjawab pertanyaannya. "Orang-orang… memang sangat peduli saat semua itu terjadi kepadaku. Tetapi, setiap kali aku berusaha menunjukkan perasaan yang sesungguhnya aku pendam, aku merasa… tidak nyaman." 'Tidak nyaman'. Bukan. Bukan kata itu yang tepat untuk mendeskripsikannya. Lebih dari itu. Perlahan, perasaan melilit dari perutku mulai merambat naik ke tenggorokan. Tanganku bergetar kuat, pandanganku memburam akibat air mata yang meredam di mata. Tuan Aiden memberikan sebuah sapu tangan yang dengan senang hati kuterima, dia memberiku waktu sesaat agar dapat mengatur nafasku yang tak karuan. Air mata yang susah payah kutahan selama ini, akhirnya berhasil memiliki jalan untuk keluar. Aku tidak tahan lagi. Aku benci perasaan ini. "Aku merasa bodoh," kalimat tersebut kini tidak hanya sekedar kalimat yang berada di benakku saja. "Aku merasa tidak pantas untuk menangis. Aku merasa bodoh setiap kali aku melakukannya." Dengan diriku yang terdiam sesaat, aku dapat merasakan usapan lembut dari cakar tajam milik Tuan Aiden, berusaha untuk menenangkanku. "Kalau begitu, sekarang, kamu boleh menangis sepuasnya. Jangan menahan apapun, keluarkanlah sampai kamu merasa lega. Menahannya hanya akan membuatmu semakin tersiksa. Hanya ada aku dan kamu saat ini, jadi tidak perlu khawatir." Tidak perlu berpikir panjang, tangisanku malah semakin menjadi-jadi. Awalnya hanya sebuah tangisan pelan, sampai akhirnya aku membiarkan isak tangisku lepas begitu saja. Pipiku basah kuyup akibat derasnya air mata. Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu selama aku menangis, hingga aku merasa bahwa tangisanku sudah lebih dari cukup. Memang benar apa yang dikatakan Tuan Aiden, rasanya seperti ada beban yang terlepas dari pundakku setelah menangis lepas, tak peduli dengan apa yang dulu sering dikatakan orang. Aku mengatur nafas agar kembali teratur, lalu pandanganku yang sudah kembali normal pula mengarah pada Tuan Aiden yang masih setia menungguku. "Aku sudah cukup puas menangis," ujarku, dengan tawa kecil yang tampaknya membuat dia tenang karena mungkin kondisiku terlihat lebih baik dari sebelumnya. "Syukurlah kalau begitu. Memendam perasaan terkadang memang terasa sulit, tapi ada kalanya justru melampiaskan perasaan yang menjadi lebih sulit. Terutama untuk seseorang, seperti dirimu, contohnya. Dari cerita yang kamu beritahu, kamu terpaksa dewasa oleh keadaan." Seksama, aku mendengar setiap kalimat yang dilontarkan oleh Tuan Aiden. Pikiranku terasa lebih fokus, sehingga aku dapat menerima kalimatnya dengan baik. "Dan, tentu, itu tidaklah mudah. Kamu dipaksa harus memahami keadaan yang seharusnya tidak alami di umurmu yang masih belia ini. Ditambah, kamu memiliki adik, benar?" tanyanya yang aku jawab dengan anggukan pelan. Tuan Aiden tersenyum lembut, aku bahkan hampir lupa sebagaimana menyeramkannya gigi taring yang mencuat dari mulutnya itu. "Sebagai anak pertama, terlebih lagi kamu seorang perempuan, banyak tuntutan dari orang-orang sekitar yang kamu terima. Kamu ingin sekali memenuhi ekspektasi semua orang, karena itulah kamu tidak berani menunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya kepada mereka. Kamu takut mengecewakan mereka." Lagi-lagi hanya anggukan yang aku berikan. Tuan Aiden benar-benar seperti sedang mengupas isi pikiranku. Lalu, tanpa kusangka, sesuatu mendarat di kepalaku. Disitulah aku sadar Tuan Aiden sedang mengusap kepalaku pelan, membuatku sedikit terkejut. "Kamu sudah melakukan sebisamu. Kamu tidak perlu khawatir, karena selalu ada waktu dimana kamu harus mengikuti perasaanmu, selalu ada waktu dimana kamu bersandar pada pundak orang lain. Jangan membebani dirimu sendiri, Nailaa. Karena itu juga, adalah salah satu bagian dari perjalanan menuju dewasa."

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang