don't cry - imel.

15 3 0
                                    

“Siapa sampai duluan, dia yang menang!”

Lelaki berusia hampir empat tahun itu memimpin. Dua lelaki lain dan dua perempuan seusianya ikut berlari di belakangnya, berusaha membalap satu sama lain agar sampai di rumah paling awal.

“Kau curang, Izar! Kau lari duluan!” pekik perempuan yang berlari di barisan kedua dari belakang.

“Aku tidak peduli. Yang terpenting, aku yang menang!” serunya saat kakinya berhasil mendarat di halaman rumah.

“Aku ke dua!” sorak salah satu perempuan setelah berhasil menyalip teman lainnya dan memasuki halaman rumah setelah Izar sampai.

Setelahnya, disusul anak-anak lainnya. Hingga yang sampai paling akhir adalah seorang gadis dengan tubuh paling mungil. Napasnya tersengal-sengal sebab berusaha menyesuaikan langkah keempat temannya yang memiliki kaki lebih panjang darinya.

Saat jaraknya tinggal tiga langkah memasuki pagar rumah, kakinya tak sengaja menginjak lubang. Tubuh mungilnya tidak seimbang, hingga berakhir jatuh ke tanah. Lututnya mencium tanah dengan sempurna, menghasilkan beberapa goresan di sana. Matanya terlihat berkaca-kaca. Benar saja, setelahnya suara tangis keluar dari mulutnya.

“Siapa yang nangis?!” pekik wanita paruh baya yang baru saja keluar dari rumah.

“Itu, _Aunty_ . Mel jatuh!” jelas Ivan dengan jari telunjuk yang mengarah ke perempuan yang terjatuh itu.

Wanita yang dipanggil _aunty_ itu segera mendekat ke arah Mel. Dilihatnya gadis berkucir kuda itu masih dalam posisi duduk sembari memegang lututnya yang baru saja mencium tanah. Jangan lupakan hadirnya air yang keluar dari kelopak matanya.

“Ssst ... udah besar, enggak boleh nangis.” Wanita berusia tiga puluh tahun itu berusaha menenangkan perempuan yang tak lain adalah putrinya sendiri.

“S-sakit, Bun-da,” ucapnya terbata-bata.

Sang bunda berjongkok, menyesuaikan posisi putrinya. “Iya, yang mana yang sakit? Bunda obatin, ya? Tapi janji, jangan nangis lagi.”

Mel mengangguk mengiyakan. Sang bunda mengangkat jari kelingkingnya dan gadis kecil itu menautkan jari kelingkingnya di sana. Perlahan, Mel dibantu untuk berdiri, setelahnya menuju ke kursi di depan rumah. Bunda mengambilkan kotak P3K dan membersihkan luka di lutut sang putri.

“Bunda ... sakit!” rengeknya, kembali bersiap menumpahkan air mata.

“Bentar lagi, jangan nangis, ya? Nanti jelek kalo nangis,” ujar Bell, berusaha menjaga putrinya agar tak jadi menangis. “Sudah selesai.”

“Bunda, kenapa orang besar gak boleh nangis?” tanya Mel polos. Netranya menatap sang Bunda, berharap penjelasan darinya. Kaki yang tertempel kapas dan plester dia goyang-goyangkan.

“Malu sama temen, dong. Nangis itu kerjaannya anak kecil, bukan orang yang udah besar,” jelas Bell.

“Emangnya kalo nangis jadi jelek, ya, Bun? Emangnya kalo jelek kenapa?” tanyanya lagi. Masih sama, nada menggemaskan itu membuat Bell terus tersenyum.

“Ih, Mel! Kamu banyak tanya, ya?!” celetuk Iyas. Gadis berkepang dua itu terlihat memberengut, mungkin dia kesal, sebab bukannya bermain, mereka justru mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari Mel.

“Malu bertanya sesat di jalan!” ketus Mel.

“Enggak mau sesat, ya, enggak usah jalan-jalan!” balas Iqbal, yang mendapat tawa dari Bunda Mel.

“Udah, sih! Main aja, yuk!” ajak Izar.

***

Tanpa sadar, bulir bening keluar dari kelopak matanya. Sensasi dingin bergerak, meluncur bebas di pipinya. Adegan lima belas tahun yang lalu kembali melintas di otaknya. Buru-buru Mel menyekanya. Sekarang dia paham apa maksud dari kalimat Bundanya. _Gue enggak boleh nangis. Udah besar, enggak boleh nangis. Malu! Lo udah jelek, kalo nangis makin jelek! Lo udah gak punya temen, kalo jelek enggak bikin lo punya temen, justru makin dibenci orang!_

Menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Tatapannya mengedar ke sekeliling. Dirinya baru teringat jika masih berada di dalam kelas. Tentu saja tinggal dirinya seorang yang berada di sana. Lonceng sudah digetarkan hampir satu jam yang lalu, tetapi gadis berbibir tipis ini memilih menetap di kelasnya. Sepi. Sendiri. Hal yang paling ia sukai.

Itu kebiasaan yang menemaninya hampir tiga tahun ini. Gadis kelas tiga menengah atas ini sengaja menunda waktu untuk pergi ke rumah. Jika lonceng sudah digetarkan, berbeda dengan siswa lain yang bersorak senang, Mel justru merasa sedih. Itu artinya, dia harus kembali ke rumah. Bertemu dengan keluarganya yang tak pernah ramah. Atmosfer di rumahnya selalu dingin. Membayangkan wajah permusuhan abangnya, pekikan ayahnya, membuat Mel mendesah kasar. Teman-teman menganggap gadis dengan tinggi 158cm ini sebagai sosok yang dingin, tidak tahu saja mereka bagaimana arti dingin sebenarnya. Tidak tahu saja mereka, sedingin apa keluarganya.

Mengambil ponselnya, terlihat angka 15.27 di layarnya. Masih terlalu awal untuk pulang. Mel kembali menutup ponselnya dan kembali menelungkupkan wajahnya. Tiga kali sudah terdengar helaan napas sejak gadis berkucir kuda ini menjatuhkan kepalanya di meja. Selama itu juga, dia tak sadar seseorang tengah memperhatikannya.

“Ngapain sendirian di sini?” Suara berat itu memaksa Mel mengangkat kepalanya yang terasa berat dengan malas. Tertangkap oleh netranya, seorang lelaki dengan seragam yang sama dengannya, duduk di meja samping. Postur tinggi, mata tegas dan hidung mancungnya tentu tak asing bagi Mel. Mel tidak kenal betul siapa namanya, yang jelas, dia salah satu anak OSIS yang juga tetangga kelas. Beberapa kali Mel juga melihatnya bergabung dalam perlombaan yang Mel ikuti. Tak heran jika di jam ini dia masih berada di sekolah.

“Lo nunggu temen?” Satu pertanyaan lagi mengalun merdu dari mulutnya. Padahal, pertanyaan pertama saja belum dijawab olehnya.

Memaksakan senyumnya, Mel menjawab, “Gue enggak punya temen.”

Tersenyum kikuk, lelaki tadi menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. _“Sorry.”_

“Ngapain minta maaf, lo enggak salah.” Seumur hidup Mel, selain keempat sahabatnya waktu kecil, tidak ada lagi sahabat baginya. Boro-boro sahabat, teman yang bertahan lebih dari satu minggu saja tidak ada. Mel memiliki teman hanya ketika ada tugas kelompok, atau selain itu, tentu saja dengan kedok terpaksa. Entahlah, Mel sendiri tidak paham apakah dirinya terlalu membosankan, atau terlalu jelek hingga tak ada yang mau berteman dengannya.

Untuk keempat sahabat kecilnya dulu, pun sudah tak bersamanya lagi. Izar, dia mendapatkan beasiswa bersekolah di luar negeri. Iyas, dia ikut orang tuanya ke Bangka, sebab ayahnya dipindah tugaskan di sana. Ivan, lelaki ini tak terdengar bagaimana kabarnya sekarang ini. Desas-desusnya, dia sudah menjadi lelaki pembangkang, dan gabung dengan geng yang tidak benar. Namun, Mel tak tahu pasti. Dia juga tidak terlalu percaya dengan rumor itu. Menurutnya, tanpa bukti, rumor hanyalah rumor. Sementara Iqbal, Mel tak pernah menyangka, usia sahabatnya yang satu ini hanya sepucuk biji jagung. Saat usianya baru menginjak sepuluh tahun, dia sudah menghadap Tuhan karena penyakit demam berdarahnya yang tak dapat tertolong.

“E-eh ... _btw_ mata lo merah gitu, lo habis nangis, ya?” tanya lelaki tadi, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ha? Nangis? Ya enggak lah. Gue tadi nguap, makanya air matanya keluar. Lo kira, selama satu jam di dalam kelas gue ngapain selain tidur? Gue ngantuk berat,” elak Mel berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya selepas menangis. “Gue udah dewasa kali, malulah kalo nangis."

“Emangnya, siapa yang bilang kalo dewasa gak boleh nangis?”

“Bunda gue. Waktu usia gue tiga tahun, dia bilang kalo orang dewasa enggak boleh nangis. Katanya gue jelek kalo nangis. Gue kan udah jelek, kalo nangis makin jelek dong. Gini aja gue udah enggak punya temen, gimana kalo makin jelek?” Mel tertawa pelan. Tawa yang berarti penyemangat bagi diri sendiri.

_“No!_ Gue enggak setuju sama bunda lo!” sergah lelaki yang kini sudah duduk di hadapan Mel secara tiba-tiba. Gadis itu menatapnya dengan raut kebingungan. Manik tajam lelaki itu terlihat semakin tajam, seolah tak setuju dengan kalimatnya. Di mana letak kesalahannya?

“Enggak ada orang tua yang bilang anaknya jelek. Itu cuma alibi mereka. Lo tahu, ‘kan, gimana repotnya ngurusin anak kecil yang nangis? Bunda lo bilang gitu biar lo enggak nangis lagi. Itu dulu, sekarang lo, ‘kan, udah dewasa, seharusnya lo bisa bedain mana yang baik mana yang buruk. Memendam semuanya sendiri juga gak baik buat diri lo sendiri,” jelasnya panjang lebar. Mel dibuat bergeming di tempatnya, mendengar penuturan lelaki di hadapannya, entah mengapa membuat hatinya merasa sedikit hangat.

“Gue pernah dengar dari seseorang, nangis itu perlu buat nenangin pikiran sesekali. Manusia sekelas _superhero_ aja pernah nangis, kok. _Batman_ nangis waktu lihat orang tuanya kena tembak, _Spiderman_ juga nangis waktu pamannya meninggal. Gimana dengan lo, yang statusnya cuma manusia biasa? Lo juga punya hati, punya perasaan. Mungkin mental lo sekuat baja, tapi itu hanya kiasan belaka. Kalo ada sesuatu yang udah lo tahan dari lama dan tiba-tiba muncul gitu aja, lo pasti marah, atau bahkan mau nangis ... dan lo berhak ngelakuin itu semua.”

Mel masih terpaku di tempat duduknya. Hatinya terasa bergetar dengar sendirinya. Pelupuk matanya kembali menggenang air, yang langsung ditepisnya begitu saja olehnya.

“Lo percaya gak, kalo hidup itu seperti roda, kadang di bawah kadang di atas?” tanyanya.

Mel terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Percaya enggak percaya, sih,” jawabnya. “Percaya aja, deh. Tapi ... kayaknya roda gue beda."

Lelaki di hadapannya tampak mengerutkan keningnya. “Beda gimana?”

“Seharusnya roda berputar dari bawah ke atas, ‘kan?” Lelaki itu mengangguk membenarkan. “Nah, roda kehidupan gue kempes, makanya tiap kali mau ke atas, selalu ke dorong angin yang di atasnya, jadinya gue di bawah mulu,” jawab Mel asal diiringi kekehan. Kali ini kekehan itu nyata, bukan bagian dari pura-pura.

Laki-laki itu ikut tertawa. Meskipun tidak bersuara, Mel bisa mengetahuinya sebab matanya menyipit serta terlihatnya susunan gigi yang rapi. “Mau gue bantu pompa, gak?”

Mel kembali tertawa. Bahkan volumenya naik satu oktaf. Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya, melintas begitu saja tanpa permisi. Lelaki itu diam-diam tersenyum melihat tawa Mel. Wajah murung yang pertama kali dia lihat, sirna begitu saja, digantikan dengan tawa. Gadis di hadapannya ini, sebenarnya sudah lama dia awasi.

_Lo enggak berubah, Mel._

“Lo cantik.”

Sayup-sayup mendengar kalimat yang dilontarkan lelaki di hadapannya, Mel menghentikan tawanya. Dia menghapus sisa bulir yang ada di sudut matanya. “Kenapa?”

“Enggak kenapa-kenapa. Lo enggak mau pulang? Udah sore, loh, ini. Pernah denger hantu penunggu sekolah ‘kan?” Mel tahu, lelaki ini sedang mengalihkan topik pembicaraan. Dia sebenarnya mendengar apa yang tadi diucapkan olehnya, tetapi ingin mendengarnya sekali lagi dengan lebih jelas.

“Gue enggak takut, ini juga mau pulang,” jawab Mel. Gadis itu segera menyampirkan tasnya di punggung. Setelahnya bangun dari kursi dan bersiap untuk keluar kelas. “Lo sendiri, gak mau pulang? Mau nemenin mbak kun?”

“Enak aja. Pulang, dong. Mau sekalian?” tawarnya.

“Enggak perlu, makasih tawarannya. Makasih juga untuk hari ini,” ujar Mel diikuti senyum tulus. Kedua remaja itu sudah keluar dari kelas. Berjalan beriringan, menuju ke gerbang depan.

“ _Sans_ aja, kali. _Btw_ , gue ada sesuatu buat lo.” Lelaki itu menyerahkan sebuah kertas dengan lipatan sangat kecil. “Gue duluan, ya? _See you._ ”

Setelah melihat lelaki tadi menghilang di ujung koridor, Mel membuka lipatan kertas itu. Terlukis beberapa huruf di sana yang membuat senyum sabit hadir menghiasi wajah Mel. Namun, di akhir surat, membuat ekspresinya berubah menjadi terkejut tak percaya.

*_Don't Cry._*
*Semangat cantik.*

*Ivan.*

Ivan?

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang