tidak ada wajah di cermin - al.

132 13 0
                                    

Otak merespons stimulus yang hilir mudik dalam pikiran, tetapi tergantung pada penyesuaian manusia itu sendiri. Namun, jika saya tidak ingin mempercayai diri sendiri apalagi otak, dengan apa yang terlintas melalui dua mata yang masih berfungsi, bagaimana? Rasa sakit itu teman, rasa duka itu pemanis, rasa senang itu keberuntungan. Selama ini saya hanya mendapatkan genggaman dari si duka saja, kebahagiaan agaknya membenci kelahiran saya di dunia ini. Jam dua belas akan segara melintas, saya tak lupa bergegas pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam, si teman malam. Udara dingin melintas, mungkin yang baru saja lewat adalah hantu penggoda. Tak apa, temani saja saya di sini. Di rumah besar ini, terlalu dingin untuk saya sendiri.

Terduduk kembali di kursi dengan meja berantakan, penuh kertas dan data tak jelas. Saya menarik napas. Saya melirik. Saya terdiam. Tuhan, saya tidak tahu ingin melakukan apa. Tidak bisakah angin mengajak saya berlibur mengitari dunia dengan hawa tipisnya? Tak berwujud, tak dapat disentuh. Enak sekali hidup si angin. Saya ini juga ingin. Tidak ada pilihan, saya tidak diberikan hak untuk memilih, mengambil kembali pena, saya mulai mencatat; bekerja, mengetik, mendata, men, men, semua saya lakukan agar cepat datang si pagi yang terlambat.

Kediaman waktu dan sunyi yang menerobos kulit menyadarkan saya sejenak, bahwa si pagi sudah datang dengan senyum lebar matahari. Aroma sibuk orang-orang dewasa mulai terlintas di kepala, anak-anak berisik ingin segera berangkat sekolah untuk bertemu dengan teman, para remaja yang tengah di mabuk cinta, sepasang kekasih yang baru menikah, bahkan tercium aroma kakek nenek yang tengah bermesraan. Apa saya bukan bagian dari mereka? Salah satu saja tidak apa.

Membuat seulas senyum tipis ketika melihat manusia-manusia yang menyambut pagi dengan riang, saya iri. Maaf, Tuan, Nyonya, saya memang tidak tahu malu. Memasukkan barang yang diperlukan dalam tas besar berisi beban hidup, saya harus pergi ke rumah saudara yang lain untuk memastikan banyak hal. Tentang apa tidak perlu ditanyakan. Singkatnya, tentang identitas diri saya yang keluarga saya sendiri pun tidak pahami.
Kehidupan setelah lulus Sekolah Menengah Atas itu ... menyesakkan, ya?

Jemari tak sengaja memegang sebuah foto yang terjatuh manja, oh, foto saya saat kecil. Di dalam foto ini, saya tersenyum lebar, seolah tidak ada beban di pundak. Kalau saya sedikit lebih cerdas, saya ingin menjadi profesor dan mendalami proyek pembuatan mesin waktu.

Saya ingin hidup di masa kecil, karena terlalu sakit untuk tumbuh dewasa.

Saya ingin merengek pada Tuhan, karena terlalu berat untuk bertambah angka pada usia.

Saya ingin kembali menyusun mimpi, karena berubah menjadi dewasa membuat saya takut mewujudkan mimpi.

Mulai. Saya mulai memojokkan diri saya sendiri, padahal umur saya sudah ingin memasuki masa tua. Kedua orang tua mulai khawatir pada laki-laki tak berwajah ini. Sanak saudara mulai membicarakan hal buruk mengenai diri saya. Awalnya saya ingin terjun bebas, tanpa pengaman, di wahana bermain ekstrem yang sedang trending di kalangan anak muda. Namun, kamu-si masa lalu-akan menjadi rindu jika saya pergi. Begitu katamu. Terima kasih. Akan tetapi, maaf, pemikiran negatif di dalam kepala masih belum sirna sepenuhnya. Tanpa kamu atau dengan kamu, suara ini terus menari di sana. Jangan khawatir, saya sedang mencoba berteguh kepala untuk tetap tegak pada pondasi leher dan tulang.

"Paman ingin permen?"

Seorang anak kecil membawa saya kembali pada kenyataan. Pahit. Mungkin saya memang butuh permen. "Kau sendiri saja, Nak?" Saya berusaha tidak mengeluarkan ekspresi mengerikan.

Anak itu menggeleng. "Aku bersama mama dan adikku. Mereka sedang membeli es krim, aku berkeliling mencari bangku untuk kami. Lalu, aku bertemu dengan segumpal manusia yang tak bersemangat, dan itu menarik!"

Adakah orang seperti itu? Saya menoleh ke kanan kiri, semua orang di taman ini cukup bahagia dengan senyum lebar di wajah mereka. Lantas di mana gumpalan manusia tak bersemangat itu? "Di mana manusia itu?" Tangan mungilnya menunjuk tepat di hidung ini, tepat saat saya menunduk menyamakan tinggi kami. "Saya?"

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang