Setiap menatap langit malam aku selalu menyukainya. Ada bintang atau tidak aku tetap menyukainya. Mendung atau cerah langit malam selalu tampak mempesona. Alasannya cukup sederhana, bagiku langit malam adalah teman terbaik. Saksi bisu dari semua perjuanganku, sahabat yang selalu mendengar keluh kesahku tanpa protes, tempatku mengadu tentang begitu beratnya hidup ini. Langit malam seperti garis akhir untuk menutup semua hari-hari yang panjang.
Tuk tuk tuk
"Seli?" Ibu mengetuk pintu kamarku. "Masuk saja ibu, tidak di kunci," ujarku berteriak dari balkon kamar agar terdengar oleh ibu.
Aku tersenyum menatap ibu yang membawa nampan berisi coklat panas dan camilan kesukaanku, menyimpannya di meja, lalu duduk di sofa memperhatikanku yang kembali mendongak menatap langit. Kami terdiam sejenak, menikmati suana sejuk yang begitu nyaman. Aku menoleh kebelakang dimana ibu berada.
"Sini duduk nak." Ibu menepuk sofa disampingnya, aku mengangguk menurutinya.
"Kamu rindu ayah?" Tiba-tiba ibu menanyakan hal yang sangat sensitif bagiku. "Antara iya dan tidak," jawabku sembari mengambil kue kering buatan ibu.
Setiap kali aku mengingat ayah emosiku tersulut. Hatiku sakit karena perkataan yang pernah dia ucapkan kala itu. Ayah adalah sosok yang selalu membawa ingatan masa kelam.
_Flashback on_
Tiga tahun yang lalu...
"Dasar anak durhaka!" Aku tersentak ketika ayah melontarkan kalimat sakral itu. Jantungku berdegup kencang hingga tanganku gemetar melihat mata ayah melotot, membuktikan emosinya yang benar-benar diambang batas.
Masalah yang sedang kami debatkan adalah hal yang sepele, hanya karena tidak ada makanan di rumah ayah begitu marah. Darimana datangnya makanan itu sedangkan ayah sendiri tidak memberikan sepeserpun uang pada ibu? Jelas disini aku membela ibu, karena dia tidak bersalah. Semua orang tahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.
"Aku... aku bukan anak durhaka ayah. Aku hanya membela sesuatu yang menurutku benar." Aku berusaha menguatkan hatiku agar tidak gentar.
"Tau apa kamu tentang mana yang benar hah?!" Ayah melempar kipas angin yang ada di dekatnya ke arahku, untungnya aku mempunyai reflek yang bagus bisa terhindar dari kipas itu.
Ibuku sudah menangis syok takut melihat anaknya terluka. Ayah yang risih mendengar suara tangis ibu dengan tega mendorongnya sampai kepalanya terbentur ujung meja.
Anak mana yang tidak sakit ketika melihat ibunya terluka? Seorang wanita yang rela mengorbankan nyawanya demi anaknya, pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupku terluka dihadapanku. Kepalanya terbentur sangat keras. Suara tangisnya terhenti menandakan jika dia kehilangan kesadarannya.
"Ibu! Ibu!" Aku berteriak memanggilnya. Berlari kearahnya, merengkuh tubuhnya yang dingin. Menyingkap rambut yang menutupi wajahnya. Pucat pasi.
"Ayah, ayah.. tolong ibu ayah.." tangis ku pecah.
Namun ayah ku menulikan pendengarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan ibu yang butuh pertolongan. Aku bingung harus bagaimana, disiang hari seperti ini tidak ada warga yang berada di rumah. Mereka pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari karena kebanyakan warga disini para karyawan.
"Tolong! Tolong!" Aku keluar rumah berlarian kesana kemari dengan berharap ada seseorang yang bisa mendengar ku.
"Tolong!" Saking khawatirnya aku kepada ibu, aku lupa jika aku tidak menggunakan alas kaki.Aku tidak peduli ketika aspal jalan yang panas membakar telapak kaki ku. Terus berlarian mencari seseorang.
"Tolong! Ku mohon!" Tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Hanya ada daun kering yang terbang terbawa angin.
"Siapa saja tolong, ku mohon." Kaki ku mulai lemas. Aku terduduk di tengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin