be yourself - herlina.

17 2 0
                                    

Awal mulanya Lilia pikir Herlina hanya seorang murid kesayangan guru, paket lengkap dengan cuek, dingin, dan tidak bersahabat. Bahkan sewaktu awal-awal kepindahannya, pesan Lilia sering kali hanya dibaca tanpa dibalas, terkadang dibalas dalam waktu yang lama, dan lebih seringnya hanya dibalas singkat-singkat. Sangat mencerminkan orang yang tidak ingin hidupnya diganggu.

Lilia yang semula menilai Herlina adalah seorang yang pendiam dan tenang. Nyatanya ketika ia tanpa sadar telah masuk ke dalam lingkar pertemanan Herlina, Herlina tak jauh berbeda dengannya. Tak bisa diam, bedanya Herlina suka berbuat aneh-aneh, ia tak tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu beberapa detik yang akan datang. Pemalas, suka menunda-nunda, dan ternyata ia sering terlibat pertengkaran dengan kakak kelas setahun yang lalu.

Sejauh ia mengenal Herlina, ia tak mengkhawatirkan apa pun. Tampak ceria dan sering membantu orang lain. Benar-benar seperti orang yang tidak punya masalah hidup. Sampai suatu hari tanpa sengaja ia mendapati gadis itu tengah termenung dikelilingi beberapa orang dengan wajah-wajah penuh harap.

"Herlina aja gak bisa, apalagi kita!" ujar salah seorang dari mereka.

"Gimana, Lin?" Seorang lain turut menanggapi. Menginginkan kejelasan dari sebuah soal yang mereka anggap momok dari segala momok. Namun, menanggapi itu, Herlina hanya menggeleng. Pertanda ia menyerah.

Hingga setelah itu, satu per satu dari mereka mulai membubarkan diri dengan wajah kecewa dan tidak senang. Pasalnya guru yang memberikan tugas ini terkenal galak dan suka tebar garam. Mereka tak ingin digarami lagi mengingat mata pelajaran ini sudah sangat menguras otak. Di tengah situasi itu tiba-tiba seseorang berseru, "Eh, Hasna udah!"

Semua menoleh, lalu riuh. Beberapa meminta diajari, tak sedikit pula yang menyalin langsung jawaban Hasna setelah diberi izin.

Lilia lihat dengan jelas, Herlina hanya tersenyum. Senyum getir yang pahit. Lalu kembali mencoret-coret kertas di hadapannya. Tak ada ekspresi apa pun. Bahkan setelah menemukan apa yang ia cari.

Herlina sendiri, terlihat tak peduli lagi. Di saat itu Lilia seperti melihat Herlina yang berada di tengah-tengah jeruji besi imajinasi, terjebak dan begitu jauh darinya. Air muka yang langka itu menarik Lilia untuk lebih ingin mengenal Herlina.

Namun, sejauh yang Lilia ingat. Tatkala ia atau teman-teman lainnya saling bercerita, saling berkeluh-kesah dengan berbagai masalah yang menyebalkan. Di situlah Herlina hanya diam seraya menyimak dan menimpali. Tak sekalipun ia ikut mengeluh. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Lilia secara umum melihat Herlina sebagai sosok yang seperti tidak punya masalah hidup.

Lilia tahu, di dunia ini terdapat banyak jenis orang. Salah satunya adalah yang selalu haus dan berambisi akan suatu hal. Yang ingin mengerti, tetapi tidak ingin dimengerti. Entah faktor kepercayaan atau traumatik. Namun, Lilia ingat betul seseorang pernah mengatakan hal ini padanya. "Seseorang diam bukan karena ia tidak punya masalah, tetapi karena sesuatu yang disimpannya terlampau berat bagi dirinya dan ia tak ingin membagi bebannya itu dengan orang lain."

Lilia tak bisa apa-apa. Jika Herlina belum ingin membuka diri, ia tak bisa memaksa. Ia hanya bisa menunggu, kapan sesuatu yang besar itu akan dibagi kepadanya. Lilia harap, apa pun yang terjadi, Herlina tidak akan meledak karena apa yang disimpannya.

Namun, agaknya hal itu tepat sasaran.

Jauh di dalam diri Herlina, sebuah perasaan tak mengenakkan berkumpul. Bagaikan suatu nuklir yang selalu melakukan fusi tanpa henti. Herlina selalu berpikir, ia penuh kelemahan, bahkan orang tuanya sering kali kecewa kepadanya. Sering dicap terlalu naif untuk bertahan hidup, selalu membutuhkan penuntun, segala tindakannya tak pernah murni keinginannya sendiri. Apa pun itu, ia tak diizinkan untuk melawan norma masyarakat. Diatur untuk menjadi sosok yang bisa melakukan apa pun tanpa pemberontakan.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang