seribu menuju nol - ika.

21 1 0
                                    

Dewasa ini, pandemi covid-19 sudah beransur reda. Bahkan mungkin di daerahku sudah tidak ada. Berita televisi pun sering kali menunjukan angka kematian yang turun di grafik hitungannya. Bagaimana? Apa kabar yang dulu menyepelekan pandemi ini? Dan selamat kepada yang senantiasa mematuhi protokol kesehatan, kalian juga sudah bisa menganggap covid ini enteng dengan tetap taat prokes yang ada.

Meski begitu, banyak yang masih merasa kehilangan, dari sanak saudara, kerabat, keluarga. Kalau aku ... aku kehilangan teman, sahabat, jati diri, dan masih banyak lagi. Nahas. Hilang semangat, hilang juga harap. Ada bagian dalam perjalan menuju dewasa yang aku tidak suka. Namun, harus ditelan lengkap dengan bumbu-bumbu pahitnya.

Aku duduk di balkon kamar ditemani langit malam tak berbintang. Bahkan rembulan pun tak tampak, seolah malu oleh guyuran hujan yang menyerbu bumi dengan damai. Beriring aroma khas yang menyentuh tanah pekarangan rumah. Kopiku mungkin tertawa, sedari tadi aku belum menyeruputnya. Namaku Kartika, semua orang memanggilku Tika.

"Kau sudah aprove data kemarin, Tik?" Seseorang menggunakan kaus perawat lengkap itu menghampiriku.

Aku menghela napas. "Ah ... iya sudah," jawabku.

"Baiklah makasih, ya. Oh iya, ini data pasien hari ini." Dengan seenaknya dia menaruh beberapa map di meja kerjaku. Ah, shit!

"Terus kau mau kemana?" teriakku.

"Pulang," ujarnya tanpa menoleh sedikit pun.

Aku mendengus. Enak sekali dia, bisa nyuruh-nyuruh seperti itu. Baru praktek kerja lapangan saja sudah bisa kubayangkan bagaimana nanti kerjaanku. Instansi yang begitu besar dengan gaji ... ya lumayan lah buat jajan gorengan yang lagi naik harga karena minyak gorengnya langka. Kerja serius, gaji bercanda. It's oke, no problem.

Mataku mulai rabun, ditambah sejak tadi pagi badanku sudah panas dingin. Kepala berat, berdenyut seirama dengan degup jantung yang takikardia. Lucu, ya. Dulu pas SD pura-pura sakit biar enggak sekolah, sekarang harus pura-pura sehat biar bisa kerja. Shit! aku baru pelatihan di sini.

Tepat saat semua kerjaan selesai, cepat-cepat aku bebenah tas, ingin segera memejamkan mata yang berkunang-kunang ini di kamar indekos tercinta. Namun, konyolnya kakiku tak bisa diajak kompromi. Tubuhku tersungkur ke lantai, indra penglihatanku tak bisa memandang apa-apa. Aroma darah segar begitu menusuk hidung, cairan merah itu kurasa sudah membasahi lantai. Sial! Aku malu.

"Kamu kerja di kesehatan, harus bisa jaga kesehatan sendiri juga, dong." Lelaki bersurai hitam itu menempelkan plester di lengan kiriku. Tepat saat kurasa ada benda tajam yang masuk ke pembuluh vena. Sial! Kenapa aku bisa payah? Untuk pertama kalinya selang infusan itu menempel di lenganku. Untuk pertama kalinya juga obat injek yang begitu nyeri ketika bercampur dengan darah di vena, aku rasakan.

"Gimana? Udah masuk infus?" Lelaki paruh baya dengan penuh wibawa itu menghampiri. Ia tampak rapi dengan jas putih serta stethoscope di lehernya.

"Sudah aman, Dok," sahut lelaki bersurai hitam itu. Ia berbalut kaus perawat berwarna biru.

Ya Tuhan! Dokter di sini sampai tahu? Mau ditaruh di mana mukaku?

"Makasih, Kak," ucapku sesaat setelah Dokter melenggang.

"Sama-sama, besok kamu enggak usah masuk dulu, itu obat injeknya sudah saya siapin."

Aku hanya mengangguk pelan.

"Itu cairan infusnya, antibiotik habis baru kamu boleh up infus."

"Oh enggak usah pakai antibiotik, Kak."

"Jangan ngawur, badanmu panas," sahutnya cepat, lalu melenggang.

Senyumku merekah, Kak Yaslim sangat baik. Sejauh ini, tidak ada perawat sebaik dan setanggap Kak Yaslim di rumah sakit ini. Padahal aku hanya mahasiswa magang, tetapi Kak Yaslim tidak membiarkanku mati di ruang admin tadi. Surainya yang hitam legam, alis tebal di atas mata cokelatnya, serta garis rahang yang tercetak jelas semakin menyempurnakan tampan. Ah ... tidak, kasihan pacarku jika aku terus memujinya.

Selebihnya merutuki diri sendiri, mengapa aku harus sakit? Harusnya besok aku pulang libur lebaran.

Satu kali aku memotret atap kamar, dengan subjek cairan infus yang tergantung itu. Kusematkan lagu galau bernada sedih, lalu kutekan tombol send untuk mengunggahnya. Setelah itu aku sering mengecek handpone. Beberapa kali kulihat unggahan itu, lagi dan lagi. Tetap tidak ada notifikasi. Barang seorang saja yang sekadar bertanya kabar, tidak ada. Tawaku sedikit merekah, lalu cepat-cepat delete update unggahanku. Alay. Aku setengah membanting HP dikasur.

Entah dunia yang kejam, atau waktu yang tega merenggut semua orang yang bermakna dalam hidup. Sampai aku menyadari, sejatinya dunia akan terus mengadakan perubahan. Orang yang datang dalam hidup, akan pergi bersama perubahan itu.

Cerita kebersamaan yang penuh perjuangan saat UN, cerita tak pantang menyerah untuk masuk kampus favorite, sampai melepas beban tugas dengan duduk bersama di kedai kopi. Memesan coffee latte atau cappuccino. Semua history itu masih tertinggal dalam memori. Di perjalanan ini, aku kehilangan teman satu per satu. Seribu menuju nol.

Dunia kerja sudah bisa aku baca, tidak ada orang yang benar-benar teman. Hidup serius dengan memikirkan pekerjaan yang akan datang. Tidur tak teratur. Malam pun tak lagi ada tenang meski siang telah penuh dengan guncangan. Tubuh mulai bergantung pada gaji, hati dan otak depresi karena dihantam ekspektasi.

Lama-lama mataku mengantuk. Berkalana sejenak dalam mimpi kini menjadi salah satu healing terbaik. Rekomendasi tempat-tempat rekreasi tak sempat kuhiraukan, untuk saat ini tidur lebih menyenangkan.

Esoknya, pagi sekali, sesaat setelah kusuntikan obat ke selang di lenganku, aku berangkat pulang kampung. Tentu saja kucabut dulu selang sialan itu. Ya ya ... Tak peduli apa kata Kak Yaslim kemarin, tetapi aku ingin berterima kasih banyak padanya. Hari ini, aku jauh lebih baik.

Semangatku begitu meluap-luap. Kuberi kabar baik hari ini, kalau aku akan bertemu dengan pacarku setelah beberapa bulan tak jumpa. Setengah perjalanan aku berhenti di halte bus terakhir. Tempat di mana dia berjanji akan menemuiku.

"Ayuk! Mau ke mana?" Lelaki bertopi dengan handuk kecil yang setia menghias lehernya itu melambai-lambai.

Aku menggeleng cepat. "Mau nunggu temen," ucapku agak teriak. Sementara beberapa orang yang duduk di sampingku segera menyerbu pintu bus.

Sesekali aku mengetuk-ngetuk ujung sepatu di bawah kursi. Melirik arloji sambil menghitung menit. Semakin kuhitung semakin rindu ini tak terbendung. Notif kontaknya berubah hijau bertandakan typing. Aku sungguh bahagia.

Maaf, kita enggak jadi ketemu sekarang, ya. Aku ada urusan. Nanti habis lebaran aku ke rumah, sebelum kamu berangkat lagi.

Begitu isi pesanmu. Kedua sudut bibirku turun. Mengapa dia ringan sekali bilang seperti itu? Ah shit! Harusnya aku sakit hati. Harusnya aku juga kecewa. Namun, aku tak mengerti pada hati ini. Rumit. Cinta memadamkan logika. Hati selalu saja tak seirama dengan otak.

Kini yang kutunggu adalah bus selanjutnya, setelah sempat aku sia-siakan. Rela menunggu lagi sekitar setengah jam. Konyol.

Aku mengerjap, menyadari ada tangan yang menyentuh lembut bahuku dari belakang. Menoleh, mendapati wanita paruh baya dengan polesan make-up tipis tengah melempar senyumnya

"Belum tidur, Kak? Besok berangkat ke kota lagi, 'kan?" ucapnya.

"Iya, Ma. Kakak baru aja mau udahan nulisnya, lagi ngerjain tugas Micasa," jawabku seraya menutup laptop. Lalu menyeruput kopi yang sedari tadi tak aku cicipi.

"Jangan salahkan kopi karena dingin, dia sempat hangat tapi tak kamu hiraukan." Mama mengambil alih cangkir. Ia tersenyum mengejekku.

"Ih ... mama, malem-melem gini. Kopinya belum habis, Ma."

"Udah jangan banyak-banyak. Lagian udah dingin ini, kok."

Mama. Selalu ada penyembuh ketika pikiranku sudah berkelana tentang dunia yang realitanya sering menyelipkan kekecewaan.

Perjalanan ini begitu banyak batu-batu besar. Namun, aku selalu percaya bahwa diri ini mampu mengatasi. Kerikil di belakang pun sudah jauh aku lalui. Menjadi dewasa memang tak seindah yang dibayangkan saat masih kanak-kanak. Tidak apa-apa, semua ekspektasi itu butuh istirahat. Tubuh juga bisa lelah. Mengeluh seperlunya untuk sebatas obat penat hati dan pikiran. Ada satu yang harus di pertahankan, mampu bertanggug jawab atas diri sendiri. Bertanggung jawab dari semua tindakan yang dilakukan. Konsekuensi dan hubungan timbal balik perlu disadari agar hidup terarah, tak salah arah.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang