Kala itu aku baru saja menerima rapor kenaikan kelas bersama mamaku. Hasil belajarku selama setahun cukup memuaskan. Meski aku tidak menduduki peringkat satu, tetapi aku masuk lima besar. Aku tidak sabar untuk liburan tanpa harus memikirkan tugas dari para guru. Setelah itu, saat aku masuk sekolah nanti, aku akan menjadi siswi kelas lima SD.
Sesampainya di rumah, mama mengajakku bicara. Aku tidak tahu apa yang akan dibicarakannya, tetapi sepertinya hal penting. Sampai sekarang, aku bahkan masih ingat kata-katanya. Mama kala itu bilang, "Mey, selain mengambil rapor, Mama tadi juga bilang pada guru kalau Mey akan pindah sekolah. Kita akan pulang ke kampung, ke rumah Nenek, kita akan tinggal di sana. Karena pandemi ini, kita gak bisa bertahan hidup di kota. Ayah berhenti dari pekerjaan, warung kita juga sepi. Kita harus pulang, belum lagi sekarang ada Dik Arya."
Setelah perkataan Mama itu, aku terus merenung. Aku memang sering pulang ke kampung halaman saat hari raya atau hari besar lainnya. Namun, rasa-rasanya aku belum siap untuk meninggalkan teman-temanku di sini. Sebenarnya bukan masalah aku memiliki teman baru di kampung, tetapi aku yakin pasti akan ada perbedaan. Meski begitu, aku berusaha untuk mengerti dan tidak memprotes kedua orangtuaku. Mereka berdua sudah menjalani hidup yang sulit selama setahun masa pandemi. Belum lagi, Arya, adikku yang baru berusia lima bulan juga harus menjalani masa sulit ini. Mungkin kedua orangtuaku sudah memikirkan matang-matang atas kepindahan kami ke desa, rumah Nenek. Aku berpikir bahwa itu adalah yang terbaik.
Pada akhirnya kami sekeluarga pindah ke desa, ke rumah Nenek. Nenek dan Kakek menyambut kami dengan sukacita. Kakek dan Nenek memang sangat menyayangiku. Salah satu hal yang membuatku tidak perlu takut tinggal di desa. Aku juga memiliki beberapa teman dan sepupu, mereka seumuran denganku. Kemudian, aku masuk di sekolah yang sama dengan sepupuku, kami langsung menjadi teman baik.
Di rumah Nenek, aku merasa lebih baik dan tidak terlalu capai, ada yang menjaga adikku selain aku. Selain itu, Mama juga lebih fokus mengurus adikku karena sudah tidak berjualan lagi. Untuk beberapa saat aku merasa senang. Hingga suatu ketika, Ayah harus pergi ke kota untuk bekerja. Aku tahu kami memang harus menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Kami tidak mungkin hanya menumpang di rumah Nenek yang juga pas-pasan.
Kala itu aku sangat sedih mengetahui Ayah harus pergi merantau. Aku sedih karena tidak ada lagi yang akan mengantar dan menjemputku saat sekolah. Jarak sekolahku di desa dengan rumah memang cukup jauh dan tidak ada kendaraan umum. Itu artinya aku harus jalan kaki nanti. Namun, aku tidak boleh egois, aku berusaha mengerti. Dalam hatiku, aku harus ikut berjuang bersama kedua orangtuaku. Aku pun yakin jika sebenarnya ayahku dengan berat hati meninggalkanku dan keluarga.
Aku mungkin bukan anak manja, tetapi kehidupanku di kota memang terjamin. Di desa, aku berusaha ikut prihatin. Aku juga membantu keuangan keluarga dengan berjualan keripik di sekolah. Mungkin tidak seberapa, tetapi aku bangga melakukannya. Aku tidak malu karena aku pernah melakukan itu ketika di kota, membantu mamaku berjualan di warung dan pinggir jalan.
Sekolahku berjalan lancar meski aku akui aku lelah berjalan. Berat badanku turun dan kata orang-orang aku semakin kurus. Jujur aku memang merasakannya, terkadang badanku rasanya remuk. Namun, aku masih tetap berusaha tabah dan tidak mengeluh. Melihat adikku yang semakin pintar, aku merasa terhibur. Aku juga bersyukur karena ada sepupuku yang mau mengajariku pekerjaan rumah atau tugas yang sulit aku pahami.
Aku merasa kondisiku semakin buruk. Badanku lebih dari pegal-pegal rasanya. Meski terkadang tanteku memijat tubuhku, tetapi tetap saja masih sakit. Badanku benar-benar berubah menjadi kurus, dulu aku memang termasuk gemuk. Sekarang aku kehilangan berat badan hampir lima belas kilogram. Aku mulai merindukan ayahku, aku rindu saat ayahku memanjakanku dan mengantar-jemputku ke sekolah. Sekali lagi, aku tidak berani mengeluh pada mamaku. Aku tidak mau membebaninya karena Mama juga sudah pusing mengurus adikku.
Pada akhirnya aku sakit-sakitan. Orang-orang dan keluarga hanya tahu aku sakit biasa atau masuk angin. Aku tidak mau membuat mereka khawatir dengan keadaanku. Selagi bisa, aku masih berusaha melakukan banyak hal. Aku masih berjualan keripik saat di sekolah, aku masih membantu orang rumah mengurus pekerjaan rumah semampuku. Mereka tidak memaksaku, tetapi aku bermaksud membantu. Aku hanya ingin mengurangi beban mereka.
Sudah sepuluh bulan aku berada di rumah desa, di rumah Nenek. Sepuluh bulan pula kehidupanku berubah dari yang di kota. Aku senang tinggal di desa, aku memiliki banyak teman yang sayang denganku, meski ada satu atau dua yang terkadang nakal. Aku bahagia berada di antara keluarga dan orang-orang yang menyayangiku. Dua bulan lagi adalah hari ulang tahunku. Sejujurnya, aku tidak sabar segera menginjak usia sebelas tahun. Aku ingin segera menjadi dewasa dan melakukan banyak hal lagi. Aku ingin menjadi orang yang berguna dan membantu banyak orang.
Namun, malam itu, aku merasa sudah tidak kuat menahan semuanya. Semua yang aku tanggung seorang diri. Sesuatu yang benar-benar menjadi rahasiaku seorang diri. Keluargaku berusaha semampu mereka mengupayakan kesembuhanku. Namun, beberapa hari dirawat di rumah sakit, aku tidak tertolong. Dini hari, aku melihat orang-orang menangisiku. Aku juga melihat jasadku yang memang menyedihkan. Aku bahkan tidak mengenali itu aku jika orang-orang tidak meraung dengan memanggil-manggil namaku. Mereka sedih melihat kepergiaanku. Bahkan aku melihat ayahku sangat histeris. Aku melihat mamaku menahan sakit karena kehilanganku. Kakek, Nenek, sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku, mereka meratapi kepergianku. Satu-satunya yang masih belum paham adalah Arya, adikku. Dia satu-satunya fokusku, dengan kepolosannya, aku tidak sedih meninggalkan mereka.
Aku minta maaf pada kalian yang aku tinggalkan tanpa kata-kata. Aku minta maaf jika kepergianku meninggalkan luka dan rasa penasaran luar biasa. Aku sudah baik-baik saja di sini, aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku berhasil menahan semuanya, hingga Yang Maha Kuasa membantuku menghilangkan rasa sakitnya. Terima kasih bagi kalian yang sudah merawatku, sudah mengusahakanku untuk sembuh. Namun, sekali lagi ini sudah menjadi garis takdirku. Tidak ada yang perlu disesali. Aku menghargai air mata yang turun dari mata-mata sembab kalian.
Aku berharap kalian bisa merelakanku. Aku berharap kalian bisa tabah menghadapi semua ini. Mungkin sekarang aku tidak bersama kalian, tetapi aku tetap ada. Terima kasih kenangan selama sepuluh tahun, sepuluh bulan, lima belas hari ini. Aku bahagia hadir di antara kalian. Rahasiaku aku bawa sampai mati. Semoga kalian yang tahu, kuat menahan itu. Aku tidak akan marah, aku hanya berharap siapa yang jahat akan mendapat karma. Aku sudah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Pesanku, jadilah dewasa, jangan menyalahkan satu sama lain! Hiduplah dengan bahagia!
Aku mungkin berbeda dengan anak-anak lainnya. Sebelum sebelas tahun, aku sudah mengalami banyak hal. Sebelum sebelas tahun, aku sudah berusaha untuk menjadi dewasa. Mungkin dewasaku karena dipaksa oleh keadaan, tetapi aku senang menjalaninya. Sebelum sebelas tahun, aku memiliki rahasia besar yang orang lain tidak tahu. Sebelum sebelas tahun, aku mengembuskan napas terakhirku. Sebelum sebelas tahun, aku tulis ini untuk kalian semua. Hiduplah dengan baik, bagi kalian semua yang membaca!
-Selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin