bukan tempatku untuk pulang - dipoy.

33 4 0
                                    

Hati terasa remuk. Langit seakan runtuh. Kapal berlabuh terkoyak badai kehidupan. Angin hempaskan segala harapan. Bagai terbakar api, semuanya lebur menjadi debu. Tinggalkan angan-angan kehampaan. Kehidupan banyak sekali menawarkan pesona dalam keseharian. Kadang kita merasa sedih. Kadang kita merasa senang karena segalanya terasa mudah. Namun, kadang kita merasa tertekan karena apa yang kita harapkan tak sesuai dengan apa yang kita dapatkan. Kehidupan bergerak semakin tak menentu. Semakin sibuk dalam pergerakan. Namun, lupa akan sebuah pesan. Ada banyak mata melotot tajam. Penuh dengan ancaman dan hinaan.

Suara-suara selalu terdengar bising di telinga, bagaikan kicauan burung yang tak ada habisnya. Suara itu terdengar seolah berkata, kau kuat, kau bisa, jangan menyerah. Mereka tak tahu batas seseorang sampai di mana. Perkataan yang keluar dari mulut mereka, itu semua adalah omong kosong belaka. Kepedulian hanya terucap di bibir, setelah terucap hanya akan ada cibiran di belakang. Warna asli setiap orang sangat susah untuk dilihat. Mengapa setiap orang harus bermuka dua? Tidak bisakah mereka mencoba untuk jujur saja?

Syeikha, perempuan 22 tahun itu sudah merasakan pahitnya kehidupan. Semua jenis permasalahan dalam kehdiupan sudah ia alami. Mulai dari masalah keluarga dan lainnya. Masalah yang datang membuatnya tak memiliki banyak teman. Bagi sebagian orang memiliki keluarga lengkap nan harmonis itu adalah suatu kebahagiaan. Namun, berbeda bagi Syei. Keluarga lengkap dan harmonis tak membuat dirinya merasa bahagia. Bagian terpahit yang selalu ia rasakan setiap harinya berasal dari keluarganya sendiri. Setiap hari hanya ada senyum palsu yang terpatri di wajahnya. Gadis itu hanya bisa terdiam dan menangis di kala sempat. Sungguh, hanya untuk menangis saja ia tak sanggup dan merasa tak punya tempat. Lantas, apa yang gadis itu lakukan selama ini? Tentu saja berdiam diri di kamar dengan memangku sebuah buku yang penuh dengan coretan. Kehidupannya terasa begitu monoton. Tak ada hal istimewa yang membuatnya bersemangat melakukan sesuatu. Walau tak pernah merasakan kekerasan secara fisik, gadis itu tetap saja menyimpan banyak rasa trauma. Tibalah hari di mana ia merasa lelah, sehingga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ia tersadar. Mengapa ia harus berakhir begitu saja, padahal ini semua bukan salah dan kemauannya.

Dalam hidup, menjadi dewasa ialah proses yang sangat kompleks pada setiap insan. Dewasa adalah waktu yang penuh dengan kekhawatiran, kegelisahan, dan kegetiran. Bagaikan angin, masalah berdatangan silih berganti. Bagaikan hujan yang turun, masalah akan cepat mereda. Manusia tak tahu akan akhir sebuah cerita. Masalah yang berdatangan menyisakan luka, harapan, kebahagiaan juga pembelajaran. Hal itulah yang membuat seseorang menemukan jati dirinya.

Rasa putus asa kadang membuat sesesorang tak bisa melakukan apa-apa. Walau ia dalam keadaan benar sekalipun. Dunia memang tak selalu berpihak. Manusia tak selalu berada di sisi kala butuh. Hanya diri sendirilah yang akan terus menemani, hingga sebuah harapan tercapai. Begitu pula yang Syei rasakan. Terlahir di keluarga yang terbilang cukup kaya dan terlahir sebagai anak bungsu perempuan tak membuatnya bahagia. Banyak orang mengira kehidupannya sempurna, penuh tawa, kasih sayang. Namun, nyatanya ia tak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.

“Syei, mending kamu pergi jauh aja deh! Daripada setiap hari makan hati.” Kata Nara, sahabat yang ia temukan dalam sebuah grub kepenulisan. Ya, satu-satunya kegemaran yang gadis itu miliki hanyalah menulis.

Syei tampak menggeleng, tidak setuju dengan saran yang sahabatnya online-nya itu berikan. “Aku enggak bisa,” ujar Syei putus asa. Membuat Nara menggelengkan kepala tak habis pikir dengan gadis yang terpampang di layar laptopnya itu. Ya, mereka sedang melakukan panggilan video, karena bertemu dan curhat secara langsung tak memungkinkan, mengingat jarak mereka yang cukup jauh.

“Kenapa? Kamu enggak bisa tinggalin mereka? Mereka udah jahat sama kamu.” Kesal gadis itu, jika saja ia adalah Syei, sudah pasti ia kabur dari dulu, pikirnya.

Hanya keterdiaman Syei yang Nara lihat. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah samping, seolah menghindari tatapan Nara. Melihat hal itu membuat Nara geram. Ia mendengus kesal lalu berucap. “Please, Syei! Kamu enggak perlu mikirin hal lain. Kamu berhak bahagia. Kamu enggak perlu terus-terusan ngalah dan nurutin apa mau mereka.”

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang