apa yang akan terjadi bila kau bertemu dengan dirimu sepuluh tahun yang lalu?

24 2 0
                                    

*Apa yang Akan Terjadi Bila Kau Bertemu dengan Dirimu Sepuluh Tahun yang Lalu?*
-Jie-

Aku menatap kosong layar telepon pintar di genggamanku ketika benda pipih itu kembali bergetar dan mendendangkan musik panggilan masuk. Membuatku berhenti menggulir konten-konten tak berarti pada aplikasi yang sebelumnya kubuka. Tulisan “Fatima Div.Kerohanian” terpampang jelas di layar dengan dua pilihan merah-hijau yang harus kugeser. Aku tak memilih apapun dan membiarkannya hingga musik berhenti dan jariku kembali menggulir konten. Ketika benda menyebalkan itu lagi-lagi bergetar, aku segera melemparnya ke sebelah tubuhku, bangkit dari kasur dan duduk di tepiannya.

Aku menggigit bibir bawahku ketika musik panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan yang tiada habisnya. Memandang ke sekitar, ruanganku tak jauh lebih buruk dari suasana hatiku. Gulungan pakaian bersih dan kotor hampir menyatu di bawah lemari, sampah-sampah, kertas tumpukan tugas, dan berbagai buku berserakan di meja belajar hingga menjajah lantai dan kasur, serta tumpukan debu tipis yang menutupi benda-benda yang lama tak kusentuh. Berantakan.

Aku lupa, kapan terakhir kali diriku membersihkan kamar kos-ku. Sesungguhnya banyak yang harus kulakukan saat ini. Namun, kurasa itu sudah tak penting lagi. Kuraih jaket, kerudung, rok, atau apapun yang menutup aurat sekenanya dan berjalan keluar kosan. Meninggalkan telepon sok pintarku yang berdering tiada henti.

Kupikir kampus tiada berarti lagi bagiku, tetapi kaki ini malah melangkah menuju fakultas teknik tanpa diminta. Menyadari kekeliruanku, akhirnya aku berbalik badan dan menjauh. Sayangnya seseorang keburu memanggil dan mengejarku, walau diriku sudah berusaha menghindar. Sungguh, aku sedang tidak mau bertemu dengan siapapun.

“Jie!”

“Jia Safitri!”

“Jie!”

Aku tertangkap, dirinya berhasil meraih pundakku. Sebisa mungkin aku berusaha menahan debaran pada jantungku yang mulai tak nyaman dan berbalik menghadapnya. “Y-ya?”

“Kau kemana saja? Nanti sore ada rapat, sudah berapa kali kau melewatinya terus. Kasihan Fatima ngurus semuanya sendirian,” kata temanku itu, dengan alis sedikit tertekuk. Walau aku sadar dirinya berusaha mengontrol ekspresi tak sukanya.

Bodoh Jie, sudah tahu salah satu alasan kau bolos adalah ini, dan sekarang kau malah berkunjung ke sini? “Oh, i-iya ... maaf aku lupa, HP-ku ketinggalan.” lirihku melirik ke arah lain.

“Sering-seringlah lihat grup, kau banyak ketinggalan info, dihubungi pun sulit. Kau sudah terekrut, setidaknya ingatlah tanggung jawabmu. Kalau ada apa-apa seharusnya kau langsung bilang alasannya daripada _ngilang_.”

Aku menggigit bibir bawahku, rasa tidak nyaman semakin menyelimuti dada ketika temanku itu menyebutkan tanggung jawab. Namun, aku tidak bisa menentangnya karena tahu dia benar. Akhir-akhir ini aku terlalu banyak lari. Sesungguhnya aku pun tidak tahu mengapa diriku bisa seperti ini. Mana mungkin bila aku hanya beralasan malas dan tak mau hadir karena suasana hatiku buruk? Tiada yang peduli dengan alasan remeh seperti itu.

Aku lantas menghela napas pelan, lalu tersenyum. “Iya, maaf,” jawabku masih tak berani menatapnya, hingga akhirnya dia pergi tanpa sepatah kata pun dan napasku berhembus lega. Walau gelisah dihatiku kian menjadi dan menjadi.

Akhirnya aku terdampar di taman belakang kampus. Duduk sendirian menatap kosong pancuran air kolam ikan. Mengingat-ingat setahun lalu dimana diriku masih penuh ambisi, impian dan kebanggaan. Apalagi, diriku bisa masuk ke kampus ternama dengan beasiswa. Aku selalu bertanya-tanya kemana perginya semua itu, hingga menyisakan diriku yang sekarang. Lalu, aku teringat pada konten terakhir yang sebelumnya terpampang di layar HP-ku.

_Apa yang akan terjadi bila kau bertemu dengan dirimu sepuluh tahun yang lalu?_

Aku mendengus pelan sambil tersenyum sinis. Tiada kata lain yang muncul di benakku selain kata kecewa. Aku bahkan gagal memenuhi harapan orang tuaku, kuliahku selama ini tak menghasilkan apapun kecuali tumpukan kebutuhan yang mesti dibayar, tugas-tugas menumpuk tanpa kusentuh sedikitpun dan nilai-nilaiku terjun bebas, akupun banyak menyusahkan temanku dengan kondisiku saat ini. Jangankan orang lain, aku pun lelah dengan diriku sendiri. Kehadiranku tidak lagi berarti selain dipenuhi oleh kegagalan. Rasanya hanya ingin menyerah dan lari. Namun, tanggung jawab selalu menahan dan memberatkanku hingga rasanya menyesakkan.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang