Melewati pagi dan malam tanpa melewati duri itu … perih. Merajut kembali kepingan angan yang tak pernah terselesaikan, aku mulai bosan pada kenyataan waktu yang tak pernah diam. Raksi yang baru kusemprotkan menusuk hidung dengan cepat. Seharusnya tak aku tebarkan cuma-cuma, harganya cukup mahal, tetapi tidak ada masalah dengan uang, bisa dicari kembali. Setengah hati melahap renyah jam-jam yang berdetak, jantung tidak bisa tenang menunggu kantuk yang belum juga datang. Apa malam ini aku terjaga kembali? Ah, baiklah jika demikian. Jika tidak bisa terlelap kembali, nanti manik depresi akan hinggap kembali. Kira-kira, bagaimana caranya tidur tanpa perlu memejamkan mata, ya?
Melirik ke jendela yang terbuka, aku bisa merasakan hela napas angin malam ini. Damai. Terang bintang yang menemani bulan juga tampak serasi, seperti biasa. Memejamkan mata perlahan, sesegera mungkin berusaha terlelap. Namun, sebuah ketukan berkali-kali seolah menusuk pendengaran. Oh, memang nyata, kupikir sudah memasuki alam mimpi. Sekoyong-koyong tanpa tenaga berjalan menuju pintu utama, malam-malam seperti ini, siapa lagi manusia yang berkunjung ke rumahku, jika bukan tetangga sebelah yang suka berteriak mengganggu. Setelah pintu terbuka, terlihat presensi gadis seumuranku dengan wajah penuh luka di sana. “Ini, ibu membuat terlalu banyak, jadi ia menyuruhku memberikannya padamu.” Tanpa menunggu responku, ia sudah membalikkan badan, berjalan pergi.
Aku melirik mangkok berisi sup hangat di tangan, seulas senyum bertengger di sana. “Terima kasih, sampaikan pada ibumu!” Yang kutahu, itu cukup keras untuk sampai ke telinganya.
Pagi sudah telanjang di depan mata, sedangkan aku harus menyipitkan penglihatan karena sinar matahari terlalu cerah, sampai membuat sulit melihat. Melangkahkan kaki menuju atap dari gedung ini adalah kebiasaanku. Di sana sepi, para karyawan tidak terlalu suka berjemur di bawah panas mentari. Padahal di sana ada tempat duduk dengan payung besar di atasnya, cocok sekali untuk membaringkan diri sejenak, setelah bergulat dengan kertas dan ketikan panjang. Akan tetapi, tiba di sana, pemandangan tidak mengenakan ditangkap di mata. Ada orang yang berdiri, bersiap bunuh diri.
“Hei,” kataku.
Ia menoleh, setengah terkejut. “Apa, Karen? Ingin menyuruhku berhenti? Tidak bisa.”
Yang kutangkap dari perkataannya adalah, ia menyepelekan diriku. Untuk apa juga aku menyelamatkannya. Tunggu. Untuk apa, ya. Aku melirik gadis tersebut, ia sedang bergumam, mungkin permintaan maaf kepada Tuhan karena telah memilih jalur yang salah. Membalikkan tubuh, baru dua langkah aku hendak pergi, kakiku enggan bergerak kembali. Daksa justru berbalik, seolah enggan membiarkan gadis itu mati. Kenapa aku peduli sekali, sih. Bergerak maju, aku ikut berdiri di sampingnya.
“H-hei! Kau juga ingin mati?”
“Tidak. Aku ingin tahu apa yang kau rasakan. Takut? Malu pada Tuhan? Atau gelisah karena tidak tega jika dirimu harus hancur di bawah sana, Dian?”
Sebuah jawaban tidak terdengar, aku bisa pahami pemikirannya. Ia memberikan ekspresi datar, tidak seperti tadi, ketakutan. Sekali lagi aku paham bahwa gadis ini tengah berpikir keras. Aku berbalik, kembali ke tempat aman agar diriku tak ikut mati konyol sepertinya, di beberapa menit ke depan. Dipikirkan kembali, kalau aku tetap di sini, kemungkinan besar polisi akan mencurigaiku sebagai tersangka yang telah membunuhnya. Itu gawat, hidupku sudah melelahkan walau hanya mengurung diri di rumah. Mengurung diri di penjara adalah ide buruk. “Jika kau bosan hidup, jangan mati di sini.”
Dian menoleh ke arahku. “Apa maksudmu?”
“Aku sering ke sini. Orang-orang akan curiga dan berpendapat bahwa aku membunuhmu,” jawabku, “di rumah saja, lakukan di dalam kamarmu.”
Pernyataanku seolah menyuruhnya mengganti cara bunuh diri saja, bodoh. Lagi pula, gadis ini kekanakan sekali, bunuh diri dengan cara terjun dari atap gedung. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan memilih cara menyakitkan seperti itu. Walau aku tahu, tidak ada cara bunuh diri yang tidak menyakitkan. Namun, opsi yang paling buruk adalah menjatuhkan diri dari atas gedung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin