perubahan - rayna.

16 1 0
                                    

Judul : Perubahan
Nama : Rayna
Naskah : Satu langkah, dua langkah, semakin lama langkahku semakin cepat. Mengejar angkot yang entah mengapa pagi ini berlalu lebih cepat dari biasanya. Tangan kananku melambai lambai memanggil angkot biru tersebut. "Mang! Mang!" panggilku. Akhirnya, angkot itu berhenti. Aku menaiki angkot yang penuh itu, lalu menghembuskan napas lega.

Aku Rayna. Lulusan S1 fakultas ekonomi yang sudah jadi pengangguran selama satu tahun lebih. Sampai akhirnya, sekitar seminggu yang lalu temanku mengajakku bekerja di kantor tempatnya bekerja sekarang. Gajinya sih pas-pasan, tapi lumayanlah daripada gak ada pemasukkan sama sekali. Awalnya, kukira bekerja itu mudah. Eh tahunya, baru seminggu kerjaanku udah numpuk begini. Bahkan, tadi malam pun aku lembur sampai jam 1 pagi. Akibatnya, aku telat bangun dan begini deh, semuanya ikut telat.

"Kiri kiri!" kataku. Angkot itu berhenti tepat di depan kantorku yang membosankan. Aku mengeluarkan uang 5000 lalu memberikannya pada tukang angkot itu sembari mengucapkan terima kasih, "nuhun mang,"  "iya neng," jawab tukang angkot tersebut. Setelah mengucapkan itu, dia mengendarai angkot itu pergi. Aku menghela nafas lagi. Dimulailah kegiatan yang membosankan, pikirku. Aku masuk, absen, lalu segera ke meja kerja. Untungnya, aku tidak bertemu senior senior disini. Kalau bertemu, bisa abis aku diomongin, pasti dikatain "lah, anak baru kok udah berani telat sih, baru juga seminggu kerja," haduuuhhhh, pusing banget deh pokoknya. Tapi memang sejak awal temanku sudah bilang sih kalau orang orang disini tuh toxic banget.  Awalnya sih aku bilang kayak gini, "apaan sih Ra, ini kerja kali bukan pacaran, pake toxic toxic-an segala," nyatanya emang bener apa yang Rara bilangin, orang orangnya tuh .... parah deh pokoknya.

Untungnya, karena kemarin udah lembur, pekerjaan hari ini jadi gak terlalu berat. Jam delapan malam pun, semuanya sudah selesai. Akhirnya, bisa tidur nyenyak deh di rumah. Kebetulan besok weekend, jadi libur dan bisa santai santai. Aku keluar dari kantor, aku menutuskan untuk pulang menggunakan bis saja. Aku berjalan ke halte bis terdekat, lalu duduk disitu sembari menikmati angin malam yang dinginnya menyegarkan pikiranku. Aku mengeluarkan hp dan earphone ku. Aku membuka spotify. Aku scroll playlist ku yang lumayan banyak. '#seruabiez' wah, ini kan playlist lama, pikirku. Tanpa pikir panjang, kunyalakan playlist tersebut dan memasangkan earphone ke kupingku. Lagu pertama menari nari di kupingku. Aku memejamkan mata dan berfikir, sudah bertahun tahun lamanya aku tidak mendengar lagu ini. Rasanya, dulu semua ringan. Kalau lapar tinggal ke dapur pasti ada camilan lezat dan Ibu yang sedang memasak. Kalau baju kotor, tinggal masukkan ke keranjang yang bertuliskan 'baju kotor' terus tiba tiba besoknya baju itu sudah bersih. Kalau mau jajan, tinggal minta uang ke papah yang selalu memberiku uang jajan dengan pecahan 5.000-an. Pagi pagi bangun tidur, gak usah mikirin hari ini kerja gimana, makan gimana, baju baju kotor mau diapain, tinggal sarapan, sekolah, terus pulang sekolah main deh sampai Maghrib. Seru banget ya zaman zaman sebelum kita jadi 'dewasa'. Hmmm .... de wa sa. "Dewasa melambangkan segala organisme yang telah matang yang lazimnya merujuk pada manusia yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita," kata Google sih begitu. Pernyataan itu lebih merujuk pada fisik dan umur ya? Tapi bagiku, menjadi dewasa itu lebih merujuk pada mental, kebiasaan kita sehari hari, dan perubahan bagaimana dunia memperlakukan kita.

Menjadi dewasa itu seperti sebuah perjalanan yang baru bagiku. A whole new world, dunia yang baru. Semuanya berubah. Perubahannya seperti dua sisi mata pisau. Ada yang baik, banyak juga yang buruk. Aku sering berfikir. Bagaimana bisa ada orang yang kuat hidup sampai berpuluh-puluh tahun lamanya. Bagaimana mereka bisa kuat menghadapi dunia yang abstrak ini. Kita terbangun dari tidur tanpa tahu apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Rasanya tumbuh dewasa itu, seperti berjalan di jalan yang gelap, sembari membawa lilin yang hanya menghasilkan sedikit cahaya. Terkadang, api di lilin itu mengecil karena besarnya angin yang menghantam dunia kita. Tapi bila dunia sedang mendukung, api itu membesar, walau cahanya mungkin tidak terlalu besar. Dengan cahaya yang tidak terlalu besar itu, kita tak akan pernah tahu bagaimana jalan yang terbentang di depan kira. Tapi kita tetap berjalan. Terkadang tersandung, atau bahkan terjatuh. Tapi kita tahu kita tak sepatutnya berhenti. Kita tetap berjalan. Tetapi nyatanya, beberapa dari kita ada juga yang memutuskan untuk berhenti. Mereka merasa jalan itu sudah terlalu gelap. Mereka merasa cahaya yang mereka miliki akan segera padam. Aku tidak menyalahkan mereka bila mereka memutuskan untuk menghentikan perjalanannya. Memang, semua ini tidak mudah. Tapi, bila mengingat berapa juta orang yang berhasil jalan terus dan terus sampai jalan itu yang berhenti sendiri (dan bukan karena semangatnya menurun), rasanya diri ini malu. Malu bila mengingat aku pernah berpikir untuk berhenti berjalan. Malu bila menyadari seberapa tidak bersyukurnya aku.

Bis nya sudah datang. Aku naik dan karena bis sedang lumayan kosong, aku berkesempatan untuk duduk di kursinya. Biasanya kan, jam jam pulang kerja gini bis penuh, sampai sampai aku harus berdiri. Aku sudah duduk nyaman dan pikiranku kembali tenggelam ke dalam pembahasan tentang 'perjalanan menjadi dewasa' ini.

Kalau diingat ingat lagi, saat kita menjadi dewasa, hal seperti THR pun berubah. Kita yang biasanya mendapat THR, malah menjadi orang yang memberikan THR. Kita yang biasanya menjadi orang yang mencium tangan saat salam, sekarang malah jadi kita yang tangannya dicium saat salam. Biasanya kita yang dijaga saudara saudara dan ditemani kemanapun saat kumpul keluarga, sekarang jadi orang yang menjaga dan menemani saudara. Rasanya aneh. Benar benar aneh. Tapi semakin lama, kita semakin terbiasa. Mungkin banyak kesalahan yang kita buat saat mencoba membiasakan diri. Tapi justru itu bagian pentingnya. Bagian pembelajaran ke jenjang 'dewasa'.

Eh, ternyata saking fokusnya aku dalam pikiranku, rumahku sampai terlewat. Aku segera turun, membayar ongkos, dan berjalan ke arah rumahku tersayang. Sebenarnya, yang dari tadi aku sebut sebagai rumah itu adalah kos kos-an. Tapi Ibu kos kos-an nya memang baik banget, jadi membuat aku nyaman tinggal disini walaupun lumayan jauh dari kantor. Ceklek ... suara kunci pintu kamarku dibuka. Aku masuk, menyimpan sepatu dan segera melemparkan tubuku ke atas ranjang dengan earphone masih terpasang di telingaku, dan baju kotor masih kupakai. Tidak, aku tidak peduli. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah tidur, tidur, dan tidur sepuasnya.

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang