wajah tanpa lukisan - farah.

103 11 0
                                    

"Bisa ’kan, Bu? Ivan menjadi berbeda sekali semenjak ... itu terjadi. Bahkan sekarang dia sering pulang lewat tengah malam, padahal dulu ...." Seseorang yang meminta pertolongan padaku itu memotong ucapannya sendiri, ia kembali mengeluarkan sesak yang entah cukup aku tahu rasanya atau tidak. Aku paham sekali apa maksud 'itu' yang diucapkan oleh ibu dari bocah manis bernama Ivan—yah, setidaknya dahulu ia sangat manis, berbeda dengan dirinya yang sekarang. Dia lebih ... pendiam dan tidak peduli. Sebenarnya aku pun penasaran apa yang terjadi padanya setelah kejadian itu terjadi. Dia terlihat tegar—tidak, terlihat tidak merasakan apa pun. Namun, sayangnya aku hanya guru yang tentunya tidak ada hak untuk mempertanyakan hal yang menurutku melewati batas (dari seorang guru).

Aduh, dasar Farah bodoh. Ibu Ivan sedang menangis di depanmu! Mengapa kau hanya menatapnya diam?!

Seakan ada yang mengangkat bahunya untuk kembali tegar, ibu Ivan kembali menegakkan kepalanya, berusaha mengendalikan air-air yang kini tertahan di matanya. Lalu, ia berkata, "Tolong saya, Bu. Saya takut, saya takut akan anak saya. Dia bahkan belum genap sebelas tahun, tetapi dia ... dia melihat ayahnya sendiri mati. Saya ... saya takut."

"Bu, ada fase-fase yang pastinya dilewati oleh manusia yang sedang mengalami kehilangan; penolakan, amarah, menawar, depresi, dan penerimaan. Saya yakin bahwa Ibu dan Ivan pun sedang melewati fase demi fase emosi tersebut. Saya belum bisa yakin bahwa Ivan telah melewati fase dalam berduka sampai akhirnya ia menerima semua kesedihannya. Oleh karena itu, saya takut untuk menanyakan bagaimana ia melewatinya, Bu, karena Ibu pun pasti tahu bahwa itu sangat menyakitkan. Saya belum bisa, Bu. Maaf."

Apa aku salah berbicara? Lawan bicaraku terlihat mengepalkan tangannya erat-erat, berbeda dengan tadi yang tangannya sangat lemas seolah tak ada tenaga yang dibawanya. Air mata yang sejak tadi ia tahan pun kembali dengan lancang meluncur di kulit wajahnya yang mulai menua. Lalu, menangis pun ia sangat berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya ... ia menangis dengan terisak-isak dan bahu yang bergetar. Kini ... ia hanya meluncurkan air mata dengan matanya yang menatap lurus—dan tajam—padaku.

"Saya melihat darah di bajunya, Bu! Saya takut! Saya takut dia menyakiti dirinya sendiri! Saya takut kehilangan lagi! Saya takut! Apa salah saya hingga memohon seperti ini padamu?!" Teriakannya berhenti pada kalimat tersebut. Kini semua di sekitarku menjadi hening, hanya isak kecil yang menjadi bising. Aku berusaha meraih raganya yang masih menggetarkan bahu. Memeluknya erat hingga membuatku ikut menangis.

"Maaf, maafkan saya. Maaf. Saya akan mengusahakannya. Saya akan mengusahakannya."

Sebenarnya, apa maksud dunia hingga membuat manusia terus-menerus berduka? Belum purna satu duka, muncul duka lainnya. Apa maksudnya? Sebenarnya, Dia memberi cobaan untuk terus bertahan, atau memberi satu per satu ide untuk mematikan diri sendiri yang menyakitkan? Aku belum bisa paham atas apa yang terjadi pada sistem kehidupan. Aku belum paham tentang cara bertahan dari cobaan. Apa maksud-Nya adalah untuk memusnahkan apa yang lemah? Apa dunia ini hanya untuk manusia tegar yang tak kenal lemah? Aku belum paham. Selama ini, aku mencoba untuk menjadi manusia, apakah aku sudah bisa dikatakan sebagai manusia?

Memangnya, menjadi manusia itu seperti apa?

Apakah seseorang yang terlihat melakukan banyak kebaikan daripada keburukan adalah manusia yang benar-benar manusia? Apakah menjadi baik sudah cukup menjadi manusia? Apakah menjadi jenius sudah cukup menjadi manusia? Apakah mempunyai harta yang gemilang sudah cukup untuk menjadi manusia? Apakah menjadi sempurna sudah bisa dikatakan menjadi manusia?

Apakah sudah cukup?

Namun, apakah kamu tahu apa hal yang paling sulit dalam menjadi manusia? Ya, menjadi manusia dewasa. Menurutku, dewasa bukan hanya tentang menua, tetapi juga bagaimana jiwanya yang meningkat luar biasa. Tentang manusia yang dengan perbedaannya dalam memandang dunia, itu dewasa dalam kamusku. Merumitkan memang. Namun, nyatanya, menjadi dewasa adalah hal yang sulit dilakukan—ketika dilakukan pun rasanya melelahkan. Sangat menyulitkan. Aku heran mengapa anak-anak kecil menginginkan cepat bertambah dewasa. Lebih bebas, katanya. Mereka tidak tahu saja bahwa jika makhluk dewasa diam di rumah, pastinya akan diberi rentetan-rentetan nasihat yang memekakkan telinga. Lebih banyak uang, katanya. Apa mereka tidak tahu bahwa dirinya adalah tanggungan orang dewasa? Kami—orang dewasa—bukan banyak uang, melainkan banyak tunggakan. Rasanya melelahkan jika mendengar para anak kecil ingin menjadi dewasa, sementara aku ingin kembali menjadi anak kecil.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang