"Nadia!"Nadia tersentak, ia membalikkan badan segera mencari sumber suara yang tadi memanggil namanya dengan keras.
Rupanya yang memanggilnya tadi adalah Arabella, teman sebangkunya yang sudah 2 tahun ini menemaninya. Rasanya sangat menyenangkan memiliki teman sebangku yang selalu ada untuknya, mau mendengarkan segala ceritanya, mau menjadi tempat untuk dirinya berkeluh kesah.
"Kenapa?"
"Kamu, nangis?"
Nadia tersentak kecil, ia meraba pipinya yang ternyata sudah basah karena air matanya yang mengalir tanpa sadar. Nadia menunduk, dadanya terasa sangat sesak.
"Kamu mau cerita? Sini aku dengerin?"
Tangis Nadia semakin tumpah, ia memeluk sahabatnya itu sembari menangis sesenggukan. Arabella memilih mengusap punggung Nadia, ia hanya diam mendengarkan suara pilu yang terdengar sangat menyedihkan itu.
"Dunia jahat ya sama aku? Kenapa aku gak pernah rasain kebahagiaan?"
Arabella tersentak, tubuhnya menegang sesaat. Ini pertama kalinya Nadia mau berbicara tentang masalahnya, biasanya gadis itu sering menangis dan memeluknya saja tanpa bercerita apapun. Seolah-olah ia tak ingin membagi masalahnya, dan ingin memendamnya sendiri saja.
"Orang tua aku, kenapa mereka gak pernah perduli sama aku?"
Arabella memilih diam, jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah tau masalah apa yang menimpa sahabatnya ini, gadis itu terkadang sangat lihai memainkan kalimat dan mampu membuatnya terkecoh. Nadia sering melakukan pengandaian, sehingga ia berpikir kalau gadis itu hanya bercerita biasa. Namun ia terlambat menyadari kalau gadis itu memilih melakukan pengandaian, agar masalahnya yang tengah menimpanya tak terendus oleh orang terdekatnya.
"Aku liat semua orang tua temen-temen aku, mereka sayang banget sama anaknya. Kenapa orang tua aku, acuh sama aku?"
Nadia menangis dengan pilunya, ia memeluk erat Arabella seolah-olah tak ingin ditinggal oleh gadis itu.
Arabella paham, rupanya sifat Nadia yang selama ini selalu haha-hehe kesana kemari hanya sebuah topeng demi menutupi kesedihannya. Betapa bodohnya dirinya sehingga tak menyadari bagaimana menyedihkannya hidup sahabatnya sendiri, sahabat macam apa dirinya?
"Nangis aja, Nad. Tumpahin semuanya, setelah itu kamu bisa cerita ke aku."
Nadia terus menangis, seolah tak ada kata henti untuk ia mengeluarkan segala sesuatu yang sudah lama dipendamnya. Memiliki kedua orang tua yang lengkap nyatanya tak membuatnya mendapatkan kebahagiaan yang utuh, ia merasakan sepi yang teramat besar. Bahkan ia merasa dirinya adalah anak yatim piatu, manakala kedua orang tuanya hanya terfokus pada kesibukan masing-masing.
Dan sekalinya ada waktu hanya ada pertengkaran, telinganya sejak kecil sudah dilatih mendengarkan kata-kata umpatan yang tak seharusnya ia dengar. Jika diibaratkan sebuah kalimat, ia sudah rusak sejak dirinya kecil dan sumber utamanya adalah kedua orang tuanya sendiri.
Benar-benar menyedihkan, disaat dirinya memerlukan sebuah pelukan namun yang ia dapatkan malah penolakan. Dimana salah dirinya, kasih tau padanya apa kesalahannya agar ia bisa memperbaiki. Bukan malah dijauhi, apakah ia pernah melakukan kesalahan yang teramat fatal?
Kalau iya, tolong beritahu.
"Tapi kamu masih punya aku, Nad. Temen, sahabat kamu, dan juga Arka."
Mendengar nama itu disebut, Nadia semakin menangis sesenggukan. Ia berteriak histeris, sesekali memukul dadanya dengan keras.
"Kamu kenapa nanya dia, Bel?! Apa harus nama sialan itu disebut, dan didengar oleh telingaku sendiri?!"
Nadia terduduk lemas, tangisnya kembali pecah. Tak peduli bagaimana menyedihkannya dirinya saat ini, yang terpenting semua beban yang selama ini ia tahan bisa ia tumpahkan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin