Aku terlahir dari keluarga yang cukup sederhana namun lebih sering kekurangan sih. Panggil aku Dedei, gadis yang lahir pada bulan akhir menuju tahun baru. Aku masih bersekolah dengan seragam putih-biru dongker kelas akhir. Aku paling tidak suka makanan manis, tidak suka coklat batang, hanya beberapa makanan atau minuman manis yang aku suka.
Tahun lalu kedua orang tuaku bercerai, aku tinggal bersama Ayah. Tidak banyak waktu yang kita lalui, karena beliau sibuk bekerja. Belajar di rumah tanpa ada orang yang membimbing, bukanlah perkara yang mudah namun itu yang harus aku lalui.
Mataku sudah sangat lelah ingin beristirahat, namun tugas-tugasku belum juga selesai sedangkan ini sudah lewat tengah malam. Ponselku berdering nyaring, cepat-cepat aku mengangkatnya karena takut Ayahku terbangun. "Halo, ada apa?"
"Minta jawaban dari nomor satu sampai sepuluh dong, aku bingung." Itu suara Mila, teman sekelasku. Aku tidak begitu dekat dengannya namun aku selalu membantu jika ia membutuhkan.
Kutarik nafasku dalam-dalam. "Besok aja ya, Mil. Besok kan sekolah jadi bisa lebih jelas penjelasannya."
"Ih kamu tuh ya! Aku mintain tolong malah gak dibantu."
Tak lama sambunganpun terputus, dengan terpaksa aku memperlihatkan jawabanku padanya. Tak berselang lama, Mila menjawab terima kasih.
Kubanting tubuhku ke atas kasur, ini sangatlah waktu yang aku tunggu untuk tidur. Walaupun nanti pagi aku akan masih sedikit terasa mengantuk.
Esok harinya aku mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Menyiapkan buku-buku dan keperluan lainnya, kebetulan hari ini ada upacara bendera jadi aku harus datang lebih awal agar tidak terlambat.
"Ayah aku pergi dulu ya," pamitku.
"Nanti langsung pulang, jangan keluyuran mulu," pesan Ayah.
Aku segera pergi menuju sekolah, berjalan kaki menuju halte lalu menaiki kendaraan umum. Terkadang aku harus berdesak-desakan dengan orang-orang yang akan berbelanja ke pasar. Karena sekolahku di dalam lingkungan pasar, tapi baunya sayuran busuk atau amisnya bau ikan tidak sampai tercium ke dalam lingkungan sekolah.
"Hai, Dei. Gimana liburannya?" Rey, cowok itu memang selalu mengganggu aku di pagi buta seperti ini.
"Libur dua hari bukan libur dua minggu, jadi rasanya biasa saja."
"Oh iya, ini tugas aku yang kemaren udah selesai. Penawaran aku untuk kasih contekan ini ke kamu tetep berlaku kan?" Rey memandangku dengan senyum manisnya.
"Gak usah Rey, aku udah ngerjain. Kalau gitu aku duluan." Aku segera pergi meninggalkan Rey yang masih berdiri.
Aku menarik nafasku dalam-dalam ketika melihat benda tipis di atas pintu sebelah tembok bertulisan XII-3 . Ya aku masih duduk di kelas dua belas dimana tepat beberapa minggu lagi aku hanya perlu tenang menanti hari kelulusan.
Dilihatnya kelas sudah mulai ramai, banyak anak-anak yang berlarian di koridor sekolah. Aku duduk di kursi belakang barisan paling ujung, duduk bersama Aber.
Aber tersenyum menyambutku. "Tadi Mila cari kamu."
aku tersenyum, "iya tau kok."
Tak berselang lama Mila datang. "Mana tugasnya, Dei? Gue mau cepet-cepet ngerjain."
Aku memberikan buku itu, entah dia akan mengerti atau tidak. Kuhiraukan omongan yang keluar dari mulutnya lalu segera menarik Amber untuk kumpul di lapang.
Kami menuruni tangga, harus sedikit waspada karena sudah mulai ramai jadi aktivitas dorong-mendorong sudah pasti terjadi.
"Tadi juga aku liat Rey di depan kelas. Lucu ya dia, ngejar kamu tapi kamu gak jatuh di pelukan dia."
Aku berdehem pelan menanggapinya.
"Lagian kenapa kamu gak terima dia aja? Maksud aku gini lho, kalau kamu gak bisa terima dia sebagai pacar. Ya kalian kan bisa buat saling mengenal dulu," jelas Aber. Aku menatapnya tak suka, seolah tahu arti tatapanku ia kembali menjelaskan. "Gak ada salahnya kan?"
Aku menggangguk setuju, tapi rasanya aku masih belum bisa untuk membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupku terlalu jauh. Aku tidak ingin orang asing tahu tentang kehidupanku yang begitu sunyi dan tragis.
Aber memegang pundakku, otomatis aku tersadar dari lamunanku. Aku baris di paling belakang bersama Aber, di barisan ujung sana ada Rey yang senantiasa memandangku ketika aku melihatnya. Bagaimana agar anak itu berhenti mengganggu? Berhenti untuk mencari tahu tentangku karena semua tidak akan ada artinya.
****
Dua minggu berlalu, semua kegiatan sekolah sudah benar-benar selesai. Aku tidak lagi harus memikirkan bagaimana menyelesaikan tugas tepat waktu, atau ditelpon berkali-kali oleh Mila hanya untuk menanyakan jawaban.
Namun satu yang masih berurusan denganku, yakni lelaki yang kini ada di depanku.
"Kenapa kamu minta aku temuin di sini?" Rey, iya dia Rey.
"Kamu masih suka sama aku?" tanyaku.
Rautnya sedikit bingung namun ia tetap menjawab. "Apa ada alasan yang buat aku berhenti suka sama kamu dan berhenti untuk mencintai kamu?"
"Rey apa sih yang mau kamu tau tentang aku? Kamu cuma penasaran kan sama aku? Apa yang mau kamu tau?" Aku menatapnya dengan kesal.
Rey memegang pundakku, tatapannya seolah membuatku terhipnotis. "Aku mau jadi salah satu orang yang selalu ada buat kamu, selalu jadi rumah tempat kamu berlindung."
"Mimpi!" desisku.
Rey tersenyum. "Buat dapetin kamu itu susah, Dei. Aku aja belum bisa luluhin hati kamu, masa aku harus berhenti sia-sia gini?"
"Rey, kamu tuh orang asing. Kamu orang yang perlu tau tentang aku. Semakin kamu cari tau tentang aku, itu bakal jadi penyesalan buat kamu."
"Aku gak akan pernah nyesel, aku mau terima apapun hal baik dan buruk tentang kamu. Kamu percaya itu? Sekarang keluarin keluh kesah kamu."
Aku menarik nafasku pelan-pelan. Memoriku berputar pada beberapa tahun yang lalu, banyak kejadian-kejadian tak terduga yang pernah aku lalui.
Semasa kecil aku hidup bersama nenek, ya betul bersama nenekku. Namun ketika beliau pergi untuk selama-lamanya, semua mulai berubah.
Keluarga yang dulunya begitu harmonis, kini berubah me jadi keluarga yang terpecah belah dan hidup masing-masing. Keliarga yang masih utuh, hanyalah mereka orang-orang yang memiliki harta dan kedudukan yang tinggi. Untuk kami yang hanya kelas bawah, begitu sulit untuk mengikuti mereka.
Ibuku, dia berselingkuh bersama lelaki lain hingga bertengkar hebar bersama Ayah. Pada saat itu aku berumur 9 tahun. Rasanya sangat bingung, aku tidak mempunyai tempat mengadu. Yang biasanya aku mengadu pada Nenek, namun sekarang sudah tidak bisa.
Ibu dan Ayah memutuskan untuk tidak mengakhiri rumah tangga mereka. Ayah beralasan karena dia memiliki aku, anak yang masih harus mendapatkan kasih sayang dan bimbingan.
Jika Ayah tahu Ibu berhubungan lagi bersama selingkuhannya, maka ia akan membiarkannya. Sampai tahun lalu ketika aku beranjak remaja berusia 15 tahun, mereka memutuskan untuk berpisah.
Ayah membawaku dan Ibu pergi membuat keluarga baru bersama suaminya saat ini. Selama aku berusia 10 tahun sampai saat ini, aku benar-benar memutuskan untuk tidak memiliki teman terutama di daerah rumah. Aku malu, aku juga takut kalau sampai mereka tahu tentang keluargaku.
Aku tersenyum menatap Rey, lelaki itu tak bisa berkata-kata. Ia menatapku lalu memelukku dengan sungguh erat. "Aku pikir, dunia kamu gak segelap itu. Kasih aku kesempatan untuk bisa jadi rembulan yang bisa sinarin kamu. Izinin aku buat jadi rumah, tempat kamu cerita. Oke?"
Aku tersenyum, lalu aku mengangguk.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Nouvelles❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin