Bertambah dewasa mengajarkan bahwa orang-orang datang dan pergi. Kehilangan akan menjadi bagian dari sehari-hari dan tak akan berhenti. Tidak perlu jauh-jauh. Tumbuh dewasa terkadang membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Ketidaktahuanmu akan seseorang yang disebut sebagai “aku” di kehidupan setiap waktunya. Memangnya apa yang “aku” tahu?
°°°
Ada teman yang kukenal adalah sesosok yang menganggap dirinya lemah. Sosok yang tidak terbiasa dengan yang namanya kehilangan. Mau seberapa sering ia bertemu sapa dengan perpisahan. Hatinya berdenyut sakit tiap kali kata-kata itu terucap dari mulut seseorang. Membayangkan bahwa semakin waktu akan ada semakin banyak lagi yang harus ia relakan untuk pergi, membuatnya menjadi terpuruk. Jatuh. Runtuh. Hancur berkeping-keping.
Perpisahan itu yang mempertemukannya dengan kematian.
Bagian dari kehilangan yang ia ketahui hanyalah sebatas kematian. Sang pemikat kegelapan itu dipandangnya sebagai area yang tidak pernah bisa ia jangkau. Sedikit ia mencoba meraih batasan tersebut, retakan kecil akan tumbuh pada jari-jemarinya. Namun, kematian hanyalah suatu kejujuran yang pahit. Ketika ia mencoba berbalik dan berlari menuju arah sebaliknya, terdapat dinding besar menjulang yang selalu menghentikannya. Langkahnya berbelok, kiri dan kanan, dan dinding itu selalu berada di sana seolah menghadang semua rute pelariannya. Pada akhirnya ia terjebak dalam suatu labirin. Labirin kehidupan.
Jalan yang ia tempuh juga tidaklah semudah yang dilihat dengan sepasang indra penglihatan. Orang-orang memonitorinya dari kejauhan, sementara ialah satu-satunya yang memandang betapa tajamnya jeruji besi jebakan yang menjulang tiba-tiba di depan matanya. Sedikit banyaknya ia terlihat seperti tikus percobaan. Namun, bukankah semua kehidupan begitu?
Semua insan diuji, apakah mereka layak untuk menaiki tahap berikutnya. Ketangkasannya, ketepatan naluri, kepekaannya pada lingkungan. Itu semua untuk membuktikan apakah ia layak untuk dianggap seorang manusia dewasa.
Suatu persoalan menghadang di depan netra kecoklatannya. Bola memori yang datang menyajikan ingatan tidak mengenakkan. Kaset yang berisikan peristiwa-peristiwa pahit yang tidak ingin gadis itu rasakan untuk yang kedua kalinya. Sepanjang memori diputar, ada satu hal yang mendominasi menit-menit memilukan tersebut. Sosok dengan rambut sehitam malam, garis rahang yang tegas dan tatapan dingin. Senyum mengejek yang seolah mengatakan “tidak ada satupun yang dapat menantangku barang sedikit.”
Dialah sang kematian. Sosok yang juga identik dengan bulu burung gagak, nuansa kelam dan darah yang telah menghitam.
“Bagaimana? Apa kamu sudah menyerah hari ini?” tanyanya dengan intonasi lembut.
Pertanyaan tersebut lantas membuat Alin menatap tidak suka. Raji adalah pemuda yang sangat ingin ia hindari. Gadis itu geram, Raji selalu datang untuk membawanya menuju liang keputusasaan. Netra kecokelatannya pergi mengabaikan sosok Raji yang berdiri menghadangnya, Alin berlalu seolah Raji adalah hantu.
“Dia mengabaikanku.” Raji memasang ekspresi polos. Detik kemudian yang datang membangkitkan senyum bulan sabitnya yang menawan. “Kira-kira sampai kapan kamu bisa mengabaikanku?”
°°°
Beberapa putaran berlalu, Alin telah menempuh jalan baru, pintu masuk labirin berjudulkan “Mei” kini telah berada di depannya. Berbeda dengan labirin sebelumnya yang dipenuhi jebakan, kali ini ia tidak dapat menghindar semudah itu.
Makhluk berlendir yang setinggi dua belas galah disusun menjadi satu itu mengejarnya. Memburunya seperti makanan lezat yang ingin ia santap.
Monster itu disebut dengan _phobia._
Untuk kasus Alin. Ketakutannya tidak berada pada ketinggian, lautan, maupun alam semesta.
Manusia.
Manusia itu adalah definisi dari petaka. Mimpi buruk. Kesialan. Hal yang sangat buruk dimata Alin. Ia kesulitan menebak apa yang orang lain pikirkan. Ia menarik kesimpulan dari apa saja yang gadis itu biasa pikirkan tentang orang lain. Ketidaktahuan itu menjelma menjadi suatu ketakutan besar.
_Phobia_ selalu dapat mengikuti gerakan Alin. Dimana pun gadis itu mencoba bersembunyi, _phobia_ muncul seperti kejutan. Kejutan yang tidak diharapkan oleh Alin untuk ada. Akibat phobia, jarum-jarum jebakan tersebut beberapa kali berhasil menembus kakinya. Pijakannya tidak seimbang dan jarum itu kembali menggores di lain tempat. Menorehkan luka.
Pada awalnya Alin merasa kesakitan. Luka yang menganga itu memang sangat menyakitkan untuk dipandang atau bahkan dirasakan. Hanya saja lambat laun semuanya sirna. Bagian yang terluka itu kehilangan indra perasanya. Namun, karena luka-luka itu, Alin berharap ia tidak perlu berjalan menghindari jebakan dan monster. Ia hanya ingin waktu berhenti sementara waktu untuk dia beristirahat. Akan tetapi, malaikat penjaga waktu tidak akan melalaikan tugasnya barang sedetik saja.
_Phobia_ itu datang lagi.
Alin tidak menemukan tempat untuk bersembunyi. Kecepatannya berkurang sejak luka-luka tersebut ada. Walaupun tidak terasa, tetapi semuanya berdampak pada energi dan darahnya yang terkuras.
Gadis itu memutuskan untuk melawan rasa takutnya. Berlari dan berlari hanya membuat kelelahannya semakin menjadi-jadi.
“Aku sama sekali tidak pernah meminta kamu ada, sialan.”
Entah berapa kali kata-kata berisikan umpatan keluar dari lisan. Tertera bagaikan untaian puisi penuh kesengsaraan. Jenis bacaan yang Raji sukai. Adanya ketakutan itu membuat Alin marah. Proses kedewasaan ini membuatnya lelah fisik maupun mental. Namun, ia tidak bisa kabur, karena tiap manusia pada akhirnya juga akan menjadi dewasa. Cepat atau lambat. Ini jelas pemaksaan.
Makhluk itu memang terlihat sangat menakutkan. Alin tidak memiliki pilihan lain. Sejak awal pun ia tidak disediakan opsi kedua. Hanya ada satu cara.
“Kamu yakin tidak ingin meminta bantuanku saja?”
Raji’ muncul kembali. Ia berbisik ditelinga Alin, mengeluarkan bujukan rayu yang semenarik uang ratusan ribu.
“Katakan menyerah kepadaku, aku akan membuat waktu berhenti saat ini juga untukmu. Bukankah itu penawaran yang bagus?”
Alin bergidik, waktu berhenti saat ini juga. _Phobia_ yang ia lawan kini bergeming tak bergerak barang sejengkal. Ucapan manis sang kematian ini menyeretnya perlahan dari tekad kokohnya untuk meneruskan labirin.
Kematian juga licik. Luka-lukanya terasa sakit kembali seolah ia baru saja tersadar. Alin kehilangan pijakannya. Tenaganya habis. Tak bersisa.
“Jika sudah begini, apa yang bisa kamu lakukan kecuali berserah kepadaku?”
Jemari lentik nan panjang itu mencengkeram dagu Alin. Memaksa gadis itu menjawab pertanyaannya.
Sesuai yang diminta, Alin membuka mulutnya perlahan. “Aku memang menginginkan kematian. Bukan kematian sepertimh yang memaksaku untuk mengakhiri perjalananku yang bahkan belum sampai ke ujungnya. Bukan kematian yang memintaku untuk menyerah terus-menerus.”
“Memangnya siapa lagi yang akan datang kepadamu kecuali aku?” Raji berbisik menggumamkan pertanyaan. “Kamu sendiri bahkan sudah mati sejak lama, bahkan sebelum aku datang.”
Raji’ melepaskan cengkeramannya. “Kamu tidak pernah menyadarinya?”
“Apa kamu tidak mengingatnya?”
Alin mengernyit, ia sebenarnya tidak lupa. Ia bisa saja memilih Raji’ jika tidak ada peraturan bahwa memilih pemuda tersebut merupakan suatu dosa besar. Dosa yang tidak terampuni. Dosa yang membuatnya kehilangan kesempatannya sekali lagi.
“Kamu yang menginginkanku sejak lama. Ketika aku datang menawarkan bantuan, kamu mendorongku pergi.”
Alin bungkam, lisannya terjahit rapat.
“Aha? Sepertinya kamu sudah cukup dewasa untuk mengemban rasa sakit yang berada di lain tingkat.”
“Apa kamu hanya sebatas berubah pikiran?”
Alin menggeleng, “Labirin ini memang memberikanku banyak rasa sakit. Namun juga banyak pelajaran.”
“Aku akan melihat, seberapa jauh aku dapat bertahan. Jarum-jarum jebakan ibarat dari rasa sakit yang ditimbulkan ketika kamu kehilangan bagian dari diri. “
Alin menunjuk kakinya yang berlubang, tangannya yang terkoyak, hatinya yang pecah berkeping dan jemarinya yang retak kehitaman.
“Kematian orang lain menyebabkan iniー” Alin mengangkat benda bersinar yang sudah menjadi pecahan-pecahan kecil. “ーhancur.”
“Akan tetapi, hati ini masih dapat disusun ulang dari poin-poin kebahagiaan yang kudapat dari perjalanan labirin yang kutempuh. Sementara, jika itu tubuhku. Jika itu aku. Kakiku tidak akan kembali semudah itu. Jemariku tidak akan utuh dalam waktu yang singkat. Masih ada banyak poin kebahagiaan yang bisa kudapatkan selagi aku bisa berjalan. Aku memang memintamu datang dahulu. Masa lalu itu memang menyebalkan kala kamu terlambat menjemputku. Saat ini kondisi sudah berbeda, aku berterima kasih kepadamu. Jika aku memilihmu saat ini, apakah aku mendapatkan manfaat yang serupa?”Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin