rasa - febby.

21 3 0
                                    

Gadis itu menatap lamat-lamat lereng rumput biru yang ada di depannya. Pertanyaannya kembali berputar. Ah, sulit sekali tidak memikirkannya. Burung-burung berterbangan, saling berkicau dan mengepakkan sayapnya yang indah. Di lereng ini, terdapat bunga matahari yang akan mekar. Penduduk U-no berlomba-lomba untuk mencabut bunga matahari yang akan mekar setiap seratus tahun sekali, yang dapat mengabulkan satu permintaan apa pun. konon, warna bunga matahari itu akan berbeda dari yang lain, maka siapa yang dapat melihat dengan jeli, ia akan mendapatkannya.

"Eb? Apa yang kau lakukan, hari akan semakin gelap. Kita harus berjaga," ujar Az.

"Baiklah."

Mereka berdua mengepakkan sayap, menuju pemukiman penduduk U-no. Rumah pohon penduduk sudah gelap gulita, tidak ada satu pun cahaya yang terlihat. Eb dan Az segera terbang menuju menara batu. Ini adalah jadwal-jadwal yang dilakukan para penjaga keamanan tingkat satu, berjaga malam. Di pemukiman ini, sangat sering terjadi perperangan secara tiba-tiba, baik karena bangsa lain yang tidak terima bahwa bangsa peri menjadi mahkota utama, atau pun karena hewan liar mengamuk. Azta berdeham, menghilangkan keheningan di antara mereka. Di menara tersebut, terdapat senjata lengkap untuk perlawanan jika terjadi hal genting. Az duduk dengan kaku, jantungnya berdebar kencang saat ia berjaga dengan Eb.

Az membenarkan posisi duduknya, "Eb, apakah kau akan ikut berjaga lusa nanti? Tanggal di kalender sudah berwarna emas, mereka dari sekarang mempersiapkan untuk mencari bunga matahari tersebut, dan pastinya lembah tersebut akan ramai."

"Aku akan ikut, tapi hanya mengamati dari kejauhan. Lembah rumput biru sangat luas jika dibandingkan dengan penduduk U-no yang jumlahnya ratusan. Kemungkinan kecil masalah akan terjadi jika mereka mengikuti peraturan dengan memilih satu bunga," jawab Eb.

"Eb? Aku ingin bertanya ... siapa nama lengkapmu?" tanya Az.

Eb menatap tajam Az ... lantas menghela napas panjang. "Aku tidak mengetahui itu, Azta."

Kini, hanya terdengar suara serangga. Mereka sama-sama bungkam.

Esok harinya, Eb terbangun, sinar matahari menerpa wajahnya dengan lembut. Di rumah tersebut, Eb hanya tinggal seorang diri. Ia menatap jendela dengan tatapan kosong. Pertanyaan dalam mimpi-mimpinya saat tertidur kembali teringat. Pagi yang cerah dan sibuk, Eb segera bangkit dari tempat tidurnya, hari ini ia sengaja mengambil libur, karena ada hal penting yang harus ia lakukan. Eb segera membersihkan diri dan memilih pakaian yang ia kenakan bersama beberapa manik-manik untuk hiasan sayapnya, lantas mengambil buku dan sebuah pena.

Ketika sudah siap, ia lantas mengepakkan sayapnya dan menuju tempat favoritnya. Danau. Mungkin sedikit yang mengetahui tempat ini. Danau tersebut berada di belakang gunung, dan tidak terlalu luas. Eb tersenyum lebar saat ia sampai, lantas menuju salah satu rumah pohon yang paling dekat dengan danau tersebut. Dengan semangat, Eb membuka pintu rumah tersebut. Semuanya masih sama, hanya ada beberapa debu yang bermunculan. Eb segera duduk dan mengeluarkan sebuah buku dan pena yang ia bawa. Satu menit, dua, hingga lima menit, Eb tetap melihat buku tersebut. Tanpa ia sadari, bulir demi bulir membasahi bukunya.

Ia tahu akan terjadi seperti ini. Eb hanya akan menangis jika ia berada di rumah pohon ini. Pada halaman pertama di buku tersebut, saat ia berumur tujuh tahun, ia hidup dengan lingkungan yang keras. Tanpa kasih sayang siapa pun, termasuk orang tua. Di panti asuhan tersebut, ia dilatih terus-menerus, dari segi fisik dan mental,begitu juga dengan kecerdasan. Selama delapan tahun, Eb hanya mempelajari itu saja. Saat pelatihan, mereka hanya memperkenalkan diri satu sama lain, tanpa ada hubungan apa pun termasuk teman. Peraturan tetap peraturan, mereka diajarkan untuk tidak terlalu dekat satu sama lain daan hanya memfokuskan diri pada pelatihan. Maka dari itu, bangsa peri dikenal dengan bangsa yang keras.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang