see you again - nabila.

24 6 0
                                    

Tangga batu pualam keenam belas itu mengkilap, tak ditemukan sekumpulan tanaman perdu ataupun lumut yang tumbuh pada retakannya. Tempat yang mirip terowongan sempit ini hanya bisa memuat satu pejalan kaki. Bagian atap terowongan ambruk di beberapa bagian, menyisakan celah yang memungkinkan sinar matahari masuk meskipun sedikit. Orang-orang telah mendesak pemerintah menutup salah satu bukti keganasan gempa 7 skala Richter 6 tahun silam, namun teracuhkan.

Di tempat itu, sengaja kuluangkan waktu untuk datang. Untuk sekadar duduk membunuh waktu tanpa melakukan apapun, atau sembari bermain-main dengan kicau burung garugiwa yang menyembunyikan wujudnya dalam bayangan. Udara Flores selalu membawa desir yang sama tiap membelai kulit pucatku. Dingin, tetapi aku masih bisa menghirup aroma kamboja putih pada setiap hembusannya. Setelah kusandarkan punggung pada satu anak tangga, sepenggal letihku melambung bersama kelopak lotus merah jambu khas Danau Kelimutu.

Keping memori buruk itu seharusnya sudah kuhapus lama. Ketika sebuah getaran maha dahsyat mengguncang tanah hingga menelan ratusan ribu orang dalam perut Bumi, termasuk bunda. Aku masih ingat rasanya. Juga nada-nada putus asa yang terputar bagai kaset rusak di telinga. Langit marah, pada saat itu, mengirimkan guntur menggelegar. Benar-benar situasi yang kacau. Dalam balutan jas kerjanya yang lusuh, bunda mendekapku. Tatkala punggungnya berbenturan dengan beton keras, kurasakan hangat peluk bunda, yang rupanya menjadi kenangan terakhirku dengannya.

Enbe tak lagi sama. Ditinggalkan, kumuh, dan mengalami kemunduran tanpa adanya niat baik pemerintah melakukan rekonstruksi. Pulau eksotik yang pernah jadi destinasi wisata impian beberapa tahun ke belakang kini hilang. Penduduk bermigrasi, hidup bersama sanak saudaranya di tanah baru. Sementara aku hanya bisa terpaku pada angin Flores lalu memutuskan untuk tetap tinggal. Tidak ada yang membantu. Sekalipun kupandang manik matanya berharap belas kasihan, orang-orang tak ingin menambah beban dengan membawaku ikut serta.

“Ternyata kamu di sini, Nabil.”

Suara itu tidak begitu mengejutkan. Matthew mendekat dengan tertatih. Aku tidak perlu menunggunya naik, mana mungkin pemuda itu nekat hanya bermodalkan 2 kruk bambu yang dibuat oleh penghuni rumah. Anak ini sama sepertiku, terlantung-lantung di tanah kelahiran sendiri menunggu belas kasihan. Di anak tangga paling bawah, ia hanya memandang lurus, menanti diriku turun dan pulang bersamanya. Ke panti sosial yang tak ingin kami sebut dengan nama itu.

“Diam di situ,” pintaku, “aku segera datang.”

Matthew mengangguk perlahan, menyaksikanku melompat melewati bongkahan batu-batu besar ke arahnya. Ia menawarkan bantuan membawa separuh ranting yang kukumpulkan untuk kayu bakar hari ini. Kutepis tangan kasarnya yang terjulur. Ia menghela napas, tetapi tidak banyak protes. Sementara kugendong tumpukan kayu di punggung, pemuda bermanik hazel tersebut mendahului.

“Ibu menyuruhku mencarimu di sini.” Matthew membuka percakapan dengan suara lirih hampir tersapu angin, yang langsung kutahu bahwa itu kebohongan besar. “Karena itu aku langsung kemari setelah memetik cabai.”

Kalimat demi kalimat yang terlontar membuat senyumku mengembang. Sudah 5 tahun aku tinggal dengannya, terhitung semenjak kepindahanku ke panti sosial, dan ia pikir aku masih belum mengenal baik dirinya. Pengurus panti yang Matthew panggil ‘ibu’ kupanggil ‘bibi’, aku hanya tidak ingin ada sosok ibu lain yang menggantikan keberadaan bunda. Wanita berumur setengah abad itu berambut cepak, penuh uban dan botak di beberapa bagian. Kesibukan tak mungkin membuatnya memikirkan satu anak panti yang tak pulang lepas pamit mencari kayu. Pasti keinginan Matthew sendiri, berbohong bukanlah hal yang ia kuasai.

Padang ilalang menjadi pemandangan yang setiap hari kulewati. Reruntuhan bangunan dan fasilitas publik tampak mencekam saat malam tiba. Namun, kami memasang lentera di beberapa tempat. Berkas sinar redupnya cukup mudah dilihat dari kejauhan, meskipun aku harus menyipitkan mata. Terowongan pualam hanya berjarak 700 meter dari panti. Meskipun begitu, aku tetap tidak pulang jika tak ada yang menjemput. Dalam kasus ini, Matthew.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang