tekad di dalam lukisan - shofi.

52 4 0
                                    

Gadis berambut pendek sebahu itu berbaring menatap ponselnya. Sedari tadi, ia tak keluar dari kamar. Mungkin, kalau dihitung-hitung, sudah 12 jam lebih ia di dalam. Ia juga belum makan pagi. Astaga, bagaimana bisa ia mengurung diri di kamar tanpa makan sesuatu?

Bundanya pun berkali-kali sudah berteriak dari bawah, mengingatkan gadis itu untuk makan. Yah, percuma. Suasana hati gadis itu sedang tidak bagus.

Gadis yang mengurung diri itu bernama Shofi. Alasannya melakukan itu karena … ia tak lulus seleksi. Seleksi apa? Seleksi karya lukisan yang berhak masuk pameran seni. Padahal lukisannya dipajang di pameran adalah mimpi yang sangat ia inginkan. Namun, kali ini, ia merasa mimpinya hancur begitu saja. Apalagi melihat karya-karya yang lulus seleksi. Sangat jauh di atas tingkatannya. Ia jadi insecure dengan karyanya sendiri dan bergumam … Andaikan aku bisa melukis sehebat dia. Atau Lukisannya jauh banget sama aku.

Sayang sekali, niat Shofi mengurung diri di kamar sehari penuh tergoyahkan. Perutnya bernyanyi minta makan. Tentu saja ia tak lupa kalau ia sudah melewatkan makan paginya, tapi… ia sama sekali tidak mau keluar kamar.

Oke, hanya ada satu cara supaya ia bisa makan tanpa keluar kamar. Mengirim chat pada adiknya untuk minta dibawakan makanan ke kamar.

"Kak, makanannya aku taruh di depan pintu ya. Dadah, kak!" Nah, itu dia. Cepat sekali munculnya. Benar-benar adik yang penurut, ya.

Shofi membuka pintu perlahan. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, oke aman, tidak ada orang lain. Ia pun keluar dan mengambil makanannya.

Sambil makan, ia membuka media sosialnya. Mengecek karya-karyanya. Sekali lagi, ia membandingkan karyanya dengan karya pemenang-pemenang pameran itu. Ada rasa iri yang terbesit di hatinya. Juga rasa kecewa sebab tak lulus seleksi.

"Eh! Vidcall?" Shofi terkejut karena sahabatnya tiba-tiba menelponnya. Ia pun menjawab telepon itu.

"Haii, Copi!" sapa Ayla di seberang telepon.

"Maaf tiba-tiba mengganggu waktumu," ucap Fiya di seberang telepon.

"Nggak mengganggu, kok," jawab Shofi.

"Jadi, gimana seleksinya? Copi pasti lulus, kan? Iya, kan?" tanya Ayla dengan nada cerianya.

Shofi terdiam. Ia tak tahu harus mengatakan bahwa dirinya kalah atau–

"Jangan terlalu sedih. Nanti pasti ada kesempatan lain," sahut Fiya.

Ah, rupanya Fiya bisa langsung menebaknya. Ia benar-benar peka, ya, batin Shofi di dalam hati.

"Tapi, menurut Ayla, karya Copi itu bagus banget loh! Copi ngelukis Gunung Rinjani, kan? Itu mirip banget sama aslinya."

"Karya aku masih belum apa-apa kalau dibandingkan sama mereka," ucap Shofi pelan.

"Jangan membandingkan gitu. Punyamu juga sangat bagus," jawab Fiya. "Sudah, ya, Shof. Aku nggak bisa lama-lama telepon."

"Eh, Fifi mau ke mana?" tanya Ayla sedih. "Kan, kita belum selesai ngobrol."

"Maaf, maaf, aku mau pergi ke rumah saudara."

"Yah, padahal Ayla mau ngobrol lebih banyak."

"Nanti saja, ya? Aku matikan teleponnya." Fiya mematikan teleponnya.

Shofi kembali menaruh ponselnya di tempat tidur. Sekarang moodnya sudah jauh lebih baik. Semua berkat dua sahabatnya yang menghiburnya. Walau begitu, ia masih tidak bisa melupakan kegagalannya.

Mending aku ngelukis aja, pikir Shofi di dalam hati.

Shofi menyiapkan cat air, kuas-kuas dengan ukuran yang berbeda, serta kertas watercolor. Ia mencari foto referensi yang ingin ia lukis, buket bunga. Mulai melukis.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang