Awan di malam hari tidak ada, kata nenek ketika laki-laki mungil ini berdecak ingin memandang gumpalan awan. Tidak ada hari libur, kata ibu saat laki-laki mungil ini menggerutu ingin pergi ke bukit seribu langkah. “Duh, orang tua itu kenapa, sih? Selalu berkata tidak, tidak, tidak. Bosan. Aku bosan dengan larangan yang nyatanya terdengar mutlak di telinga.” Berbicara dengan angin malam itu tidak berguna, wahai anak muda, kata angin dalam sunyi bulan. Sayangnya anak muda ini tidak bisa mendengar teriakan angin yang mengkhawatirkannya. Daun mulai melambai, memerintahkan si bocah untuk segera masuk ke dalam rumah kayu dan terlelap di atas selimut daun yang tebal. Akan tetapi, tahu-tahu tanpa perintah, kaki kecilnya melangkah, memanjat dahan tertinggi untuk mencapai sesuatu yang tak berupa. Sungguh, ingin sekali daun yang mati menarik surai laki-laki ini agar segera mendaratkan kaki di atas tanah. Pulang, lalu terlelap. “Wah! Indahnya!” katanya mengabaikan kekhawatiran alam. Merenggangkan tangan, ia mendaratkan bokong dengan santai di ranting besar. Nyaman. Ingin membangun rumah di atas sini, pikirnya sekilas.
Bayangan bulan pada muka sungai memang tampak indah, bila mana ia tidak sanggup menghindari dorongan angin, tubuh laki-laki kurus ini pasti tertiup dengan segera. Namun, malam ini angin cukup manis. Sepertinya tengah berada dalam kondisi damai. “Sean! Lagi-lagi di sana. Kau bisa jatuh jika duduk di atas pohon!” Suara wanita terdengar membuat laki-laki ini terkejut hingga hampir terguling. Ia segera membuang muka untuk menghindari tatapan tajam dari wanita tersebut. Berlagak merajuk, mungkin benar merajuk. “Anak nakal ini! Cepat turun dan tidur! Besok kau akan terlambat sekolah jika tidak segera tidur!” Sebuah sapu sudah siap di ketiak kanan. Siap untuk memukul bokongnya agar tidak membantah kembali.
“Aku tidak ingin tidur!” teriaknya lantang. Desa sudah sunyi, suara jangkrik mendominasi mimpi para penduduk. Sean tetap kokoh pada sikap egois yang menyusut kepalanya untuk bertindak lebih tidak acuh. Jika satu dua warga desa bangun, mungkin ia akan segara menjadi hiburan malam di desanya. Sebelum itu terjadi, laki-laki ini bangkit, berjalan pelan menuju ranting yang lebih tinggi. “Ibu tidur saja, aku akan segera—” Lalu terdengar teriakan dari bibirnya.
Sesaat sebelum bokongnya bercumbu dengan tanah, sang Ibu sudah lebih dahulu menangkap tubuhnya. Sean paham bahwa situasi saat ini bukan hal baik, tetapi ia tidak peduli. Menatap mata ibunya, ia tersenyum lebar. “Kau ingin makan ulat?” Sebuah ancaman yang membuat jiwa sok kerennya menciut. “Atau ingin dau—”
Serta-merta Sean turun dari gendongan ibunya. “Tidak!” Ia berlari menuju rumah, teriak sesaat, “Ibu jahat!”
Lantas demikian, waktu membuka lembaran baru.
Kata siapa hanya anak laki-laki yang tidak bisa diatur? Anak perempuan sama saja. Beruntungnya, hari pertama sekolah, Sean pergi bersama Vibi. Jadi, tidak perlu risau untuk mencari teman baru, karena pastinya ia akan dapat banyak teman. Sudah membawa korek dari bukit hijau, batu dari sungai kendi, dan tembakan burung hadiah dari ibu, dibeli di pasar. Sepertinya semua benda itu sudah cukup untuk menjadi terkenal di kalangan murid lain.“Hei, siapa perempuan yang tidak bisa terbang itu?”
Menghentikan langkahnya, Sean menoleh ke arah suara. “Vibi? Dia bisa terbang, tetapi sedang terluka.”
“Apanya?” tanya laki-laki kecil itu.
Memang, sih, Sean tidak tahu nama siapa, kenal saja tidak, tetapi tanggapan laki-laki seumurannya ini menjengkelkan. “Sayapnya luka.” Sekilas ujung matanya mendapati Vibi yang tengah menunduk. Sejemang Sean berpikir, kemudian berkata, “Namamu?”
“Dibo.”
Ia menyilangkan tangan cepat, lalu menghadap ke arah Vibu. “Minta maaf pada Vibi.”
Tentu saja Dibo terkejut. “Hah? Kenapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin