Bagaimana tak sinting? Manusia semakin liar menarik hak, uang, dan kekayaan diri untuk hidup pribadi. Sebentar lagi para pemikir dan manusia intelektual mendominasi dunia. Sayangnya, bukan sebentar lagi, dirasa memang sudah menguasai. Mereka yang bodoh dijatuhkan. Diinjak. Disingkirkan. Diabaikan. Dibuang. Kehidupan bahagia dipertaruhkan. Dicari. Diteliti. Manusia yang tak memiliki pegangan kasih sayang dikuliti. Orang tua yang layu terkikis pemikiran baru. Pendapat diabaikan. Keluhan dianggap tak mampu. Lelah menyebutkan. Panggil saja ia sekarang.
Kepada yang terhormat, Nihilisme, selamat datang. Semenjak racun tuntutan hidup masuk di telinganya, ia mulai tuli pada empati. Netra cemerlang mulai meredup, tertutup debu egois dua jiwa yang berjasa padanya. Menjunjung tinggi ras cerdas agar dapat hidup layak. Tidak salah. Mereka memikirkan masa depan dunia dan kehidupan si laki-laki. Namun, berlebihan. Tidak dapat diterima.
Sangkarnya sudah kotor. Tidak adakah yang bersedia membersihkan sangkar ini?
Berjalan gontai, laki-laki bernapas hampa ini berpegang pada hawa sesak yang menyatu di dada. Pikirannya tak pernah berhenti untuk bergumam. Otaknya enggan beristirahat untuk terlelap dalam kasur empuk di pulau kapuk. Kata di mulut terucap bohong. Alibi untuk bertahan hidup. Itulah kenyataannya. Kehidupan suci membuat gatal, peringkat terendah membuat sakit kepala, sebab menunduk, nama di paling atas terjajar anggun bak dipuja. Seulas senyum hati tersulut di dada, ia membalikkan tubuh untuk kembali ke kelas. Kerja bagus, Ray, batinnya menepuk kepala sendiri.
Jika manusia bisa berevolusi, maka sudah dipastikan bahwa mereka tidak akan menjadi lebih baik, tetapi lebih buruk dari sebelumnya. Egoisme yang meningkat, rasa dengki yang mencuat, dan empati yang semakin menciut menutup diri. Hebat sekali makhluk bernama manusia ini, kehebatan mereka bukan sihir, atau kekuatan fantasi seperti milik dewa-dewa Yunani. Kekuatan mereka tercampur dari api ingin lebih dan lebih. Yah, sudah mendarah daging sejak nenek moyang hidup. Tak salah jika manusia berlagak demikian dibanding tumbuhan atau hewan. Walau terlihat seperti benalu bagi bumi.
“Dia ranking satu seangkatan lagi? Ini sudah tahun terakhir, dia selalu di posisi itu selama tiga tahun berturut-turut, gila!”
“Jangan berisik, nanti dia dengar. Sikapnya yang tak peduli itu membuat takut tahu.”
“Kudengar anak baru yang masuk semester satu menduduki posisi dua dengan selisih beda tipis dengan Ray. Duh, deg-degan sekali jika jadi mereka berdua. Sayangnya ini ujian terakhir kita, jadi persaingan mereka berhenti sampai sini.”
Manusia ini berisik sekali, batinnya. Ray bangkit, kemudian berjalan tanpa peduli dengan banyak mata yang menatapnya dengan ragam ekspresi. Mereka hanya mampu menilai, tanpa bisa merasakan. Saingan apanya, Ray dan Ivan adalah teman saing damai. Mereka memang beradu otak tanpa pedang, tetapi mereka tak mempermasalahkan kekalahan. Toh di dalam persaingan, menang kalah adalah hal lumrah yang membosankan jika diperhitungkan dengan perkelahian atas rasa tidak terima. Langkah kakinya berhenti di depan pintu besar, ruang kepala sekolah. Ia baru saja dipanggil untuk datang, sudah diperkirakan bahwa para dewan guru akan memberitahunya tentang beasiswa yang akan ia terima. Dengan satu tarikan napas, ia melangkah masuk setelah salam. Namun, di sana sudah ada Ivan dengan senyum lebar di wajahnya. “Apa kau juga mendapatkan beasiswa?”
Ivan mengangguk. “Iya. Senangnya bisa bersamamu lagi. Kita lanjutkan persaingannya?”
“Melelahkan,” jawabnya.
Isi kepala manusia memang tak dapat dibaca, guru di depan yang tengah menjelaskan ini hanya mampu membaca tulisan saja, lalu menyandingkan kedua murid yang bersangkutan. Ia tidak berpikir bahwa dampak dari menyandingkan dua individu yang berbeda memiliki pengaruh tersendiri. Jika ia berpikir positif, ia akan baik-baik saja. Namun, jika ia tidak mampu memikirkan hal positif, ia akan terbelenggu pada alur negatif yang menyesatkannya. Sudah terjadi pada pemikiran Ray.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Nouvelles❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin