journey of happiness - aska.

25 5 0
                                    

"Mah, aku mau ini ya!" ucap seorang gadis, menunjukkan sebuah boneka yang lucu. Mamahnya megangguk, "boleh." Gadis itupun langsung tersenyum kesenangan. Namanya Aska, dia seorang gadis yang terkadang masih seperti anak kecil. Aska benar-benar di manja oleh mamahnya, karena itu dia seperti itu. Setelah selesai berbelanja, dia pun segera pulang ke rumah. Karena tidak membawa kendaraan jadi dia memesan taksi online. Di perjalanan senyumnya tidak pernah luntur dengan boneka yang ia peluk dengan erat, entah kenapa dia merasa benar-benar senang hari ini.

Namun, senyum itu tidak bertahan lama, di perjalanan mobil taksi yang ia kendarai mengalami kecelakaan. Beruntungnya dia baik-baik saja, hanya luka-luka kecil tidak serius pada tubuhnya, tetapi beda halnya dengan mamahnya yang terbaring tak sadarkan diri di dekatnya. "Mamah..., bangun Mah." Aska mencoba membangunkannya, di sekitar terdengar banyak orang yang berlarian mendekat, mamahnya pun langsung di bawa ke rumah sakit. Aska menangis terisak, ia benar-benar takut mamahnya akan pergi meninggalkannya. Cukup lama Aska menunggu kabar baik tentang mamahnya dengan gelisah, akhirnya ia pun mendapatkan kabar. Namun yang ternyata malah sebaliknya, rasa takutnya benar, mamahnya sudah lebih dulu pergi meninggalkan dirinya. Aska terdiam mematung saat tau kabar itu, ia tidak percaya bahwa ini semua sebuah kenyataan. Engga, engga mungkin mamah udah meninggal, engga! Ucap Aska dalam hatinya tidak percaya. "MAMAH!!" teriak dirinya di depan jasad yang sudah membeku, ia menangis sejadi-jadinya, berusaha membangunkan mamahnya. "Yang sabar ya, Nak," kata orang-orang yang sudah memenuhi ruangan rumah sakit. "Mamah jangan pergi!" Dirinya hiraukan semua perkataan orang-orang di sekitarnya, ia terus berusaha membangunkan mamahnya itu, sambil menangis.

Satu bulan berlalu, tetapi Aska masih tidak bisa merelakan mamahnya pergi. Setiap waktu dirinya selalu teringat kepada mamahnya, ini benar-benar tidak adil baginya, ia tidak ingin hanya tinggal bersama papahnya di rumah. Papahnya sangat jauh berbeda dengan mamahnya, papahnya tidak pernah memberikan kasih sayang kepada dirinya, yang ada sang papah  hanya memikirkan pekerjaannya saja. "Aska..., sini!" ucap papahnya, saat melihat Aska sedang melintas tidak jauh dari dirinya. "Ada apa pah?" Ia terduduk memandang wajah sang papah dengan  bingung. "Papah mau bilang bahwa papah akan menikah lagi." "HAH..., kenapa secepat ini pah?" Kaget Aska tidak percaya. "Itu tidak penting, yang penting kamu setuju apa tidak?" Aska menggeleng dengan kuat, mana ada seorang anak yang baru saja di tinggal sang ibu ingin langsung mendapatkan penggantinya? Melihat itu sang papah langsung mempertanyakan alasan Aska tidak setuju, tetapi Aska tidak mau memberi tau alasannya, ia terus membekam mulutnya sendiri untuk bicara, papahnya terus memaksanya untuk memberi tau apa alasannya, tetapi tetap saja Aska tidak mau bicara sedikitpun, yang membuat sang papah pun akhirnya geram. "Terserah kamu mau apa, yang jelas papah akan tetap menikah, jika kamu tidak setuju pergi saja dari rumah." Ancam sang papah, yang membuat Aska kebingungan. Dia merasa masih belum bisa hidup sendirian rasanya sangat takut, tetapi ia juga tidak mau memiliki mamah baru. "Bagaimana?!"
"Aku tetap tidak setuju." Itulah keputusannya, dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya yang jelas ia benar-benar tidak mau memiliki mamah baru. "Oke jika itu keputusanmu, pergi dari rumah ini!" Aska pun bangkit dari duduknya, ia langsung melangkah menuju kamarnya dan membereskan pakaiannya. "Pah, aku pamit," ucap Aska mengulurkan tangannya untuk menyalimi sang papah. Namun, sang papah hanya berdehem dengan mata yang sama sekali tidak memandang wajah anaknya itu, dan membiarkan tangan Aska terulur begitu saja. Aska merasa sedih saat melihat itu, ia perlahan membawa tangannya kembali setelah itu pergi meninggalkan rumahnya dengan berat hati.

Sekarang, dia akan mencoba pergi ke rumah sang nenek yang berada di desa jauh dari perkotaan. Cukup lama perjalanan melewati jalan yang panjang, akhirnya Aska sampai pada tujuannya, kampung terpencil. Namun rumah paling besar di sana. "Assalamualaikum, nenek." Aska mengetuk pintu rumah yang ada di depannya. Namun, tidak ada yang membukakan pintu untuknya, bahkan menjawab salamnya pun tidak ada. "Ko gak di bukain pintu? Apa jangan-jangan nenek lagi pergi? Tapi ko sepi banget, biasanya rame," bingungnya bicara pada dirinya sendiri. Aska memutuskan untuk menunggu, ia pikir neneknya pasti sedang keluar sebentar. Sekian lama menunggu, tiba-tiba ada satu mobil yang datang, dia pikir itu adalah neneknya, ternyata entahlah itu siapa, dia belum pernah bertemu sebelumnya. "Kamu siapa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari mobil. "Aku Aska, boleh bertanya, mengapa rumah ini sepi sekali?"  "Rumah ini memang sedang kosong, karena kita tadi pergi cukup jauh." "Lalu nenekku mana?" tanyanya  "Nenek? Ohh ibu Dian?" Aska megangguk dengan semangat.
"Ibu Dian sudah tidak tinggal di sini lagi, ia menjual rumah ini dan tinggal di ujung desa sana." Mendengar itu Aska mematung, ia tidak pernah tau neneknya menjual rumah ini, yang ia tau setiap hari neneknya selalu mengirimkan pesan ingin bertemu dirinya.

Tidak lama akhirnya ia memutuskan untuk mencari neneknya saja, ia berjalan ke ujung desa dengan semua barang bawaannya yang cukup berat. "Katanya rumah yang satu satunya Deket Sungai..., Mana ya?" Aska celingukan mencari dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Hingga matanya tidak sengaja melihat rumah yang sepertinya benar itu yang ia cari. Ia melangkah mendekati rumah itu, rumahnya sangat sederhana mungkin hanya muat untuk 3 orang saja. "Assalamualaikum." Ia mengetuk pintu rumah itu. Tidak butuh waktu lama, pintu rumah itupun terbuka dan menampilkan wanita paruh baya yang terlihat lesuh, matanya sangat layu sepertinya wanita itu sangat kelelahan. Aska langsung memeluk wanita itu, "nenek aku kangen." Ucapnya mengeratkan pelukannya. Wanita di depannya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca, sepertinya wanita itupun sama memiliki rasa rindu, tetapi keadaannya saat ini membuatnya sangat sedih. "Nenek ko gak bilang kalau pindah rumah." tanya Aska melepaskan pelukannya. Wanita di depannya itu terdiam dengan air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya. Aska pun langsung panik, "eh ko nenek nangis, nenek kenapa?" Aska langsung mengajak neneknya untuk duduk. "Maafin nenek ya, kehidupan nenek sekarang begini, gak bisa manjain kamu lagi," ucap sang wanita paruh baya, terlihat sangat sedih. Aska memeluk kembali neneknya itu sambil berkata, "gapapa nek, aku ngerti ko." Neneknya pun tersenyum dan memeluk kembali Aska saat itu juga. Setelah itu mereka berdua saling bercerita tentang kebahagiaan dan sedih yang mereka rasakan, cukup lama hingga matahari telah di gantikan oleh bulan dan hembusan angin malam.

Keesokan harinya, Aska bertekad membantu sang nenek yang ternyata berjualan di pasar, ini perta kalinya ia bekerja. "Sini aku bantu, Nek." "Eh gak usah sayang, nanti kamu cape," jawab sang nenek melarangnya. Aska tetap membatu neneknya itu, Awalnya memang benar apa yang di kata sang nenek, ini semua terasa berat, tetapi bagaimana lagi dia sudah terlanjur untuk keluar dari zona nyamannya, lebih tepatnya di paksakan keadaan untuk keluar zona nyaman, tidak apa itu jalan hidupnya bukan? Jika dia tidak seperti ini dan berubah, bagaimana dengan hidupnya?

Hari pertama ia berjualan tidak berjalan dengan mulus sesuai yang ia harapkan, tapi membuatnya bahagia. Hari-hari berikutnya ia mulai terbiasa dan semakin bersemangat. Pagi sampai pagi lagi ia berusaha hingga membuat neneknya terharu, menangis di suatu ketika. Aska yang melintas dan melihat neneknya itu langsung terlihat panik dan mendekat saat itu juga, "nenek kenapa? Ko nangis?" Aska tidak tahu harus apa, pasalnya tidak ada luka di tubuh neneknya itu, ia pun merasa tidak melukai neneknya itu. "Tidak, nenek tidak apa-apa, nenek hanya terharu melihat cucu kesayangan nenek sekarang sudah sangat dewasa dan semangat untuk berjuang. " Aska tersenyum mendengar itu, dengan tangan yang mengelus punggung sang nenek menenangkan. "Siap untuk berjuang bersama?" tanya Aska yang di balas anggukan oleh neneknya itu. Aska pun langsung berdiri dari duduknya, "and let's go," ucap Aska sambil tertawa, dan langsung membantu neneknya untuk berjalan.
Dari situ sepertinya Aska mulai menyadari bahwa kebahagiaan sesungguhnya bukanlah soal uang dan di manjakan. Namun soal kerja keras dan kebersamaan. Mungkin ini lah jalan menuju kedewasaannya, walaupun menyakitkan, tetapi sungguh sangat menjadi kekuatan.

Tamat

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang