Sinar milik sabit bulan menjadi terang malam, sementara gemintang tak menemani. Langit penuh oleh awan gelap, sementara sentuh angin membawa bulu kulit untuk berdiri. Dingin. Helai lembut rajutan wol yang menghinggapi daksa belum cukup untuk menghangatkan pemiliknya. Langit baru saja berhenti menangis. Membasahi kehidupan yang masih berlanjut, menggebu-gebu. Tadi itu pukul sebelas. Entahlah apa yang tengah menjadi kesibukan insan lain, aku hampir tak berhenti mengeluarkan keluh.
Berkeliaran pada malam yang kian gulita tak sepenuhnya sebab ingin yang menggerakkan hati. Namun, bunyi perut cukup menganggu untuk diabaikan, menjadikan nekat yang menguatkan langkah kaki. Memangnya apa yang daksa malas ini dapatkan? Aku hanya memperoleh sesal yang membuat kusut isi kepala. Menggerutu tiada henti, lelah rasanya. Mungkin, kesal yang menggunung tak dapat hilang meski dengan rasa manis susu stroberi yang disesap lidah secara cuma-cuma selama tujuh hari. Oh, ayolah. Aku tak pernah punya cukup alasan untuk memaki tetes air yang mengguyur bumi dengan semangat. Ia selalu dapat memperbaiki perasaan buruk yang bersemayam dalam batin. Biasanya, hujan juga menenangkan lelah otak yang dipaksa bak kerja rodi. Namun, kesialan menyapa terlalu mendadak untuk mengolok-olok begitu banyak.
Astalra pulang. Berat sekali melepaskannya meninggalkan kota tempo hari. Jarak selalu menjadi masalah yang merepotkan hati. Manakala diri ingin berbincang kecil perihal hari yang lebih banyak memberi penat batin, suara tawanya tak langsung dapat dinikmati rungu. Melalui teknologi yang mempermudah, tidak pernah cukup. Senyumnya selalu terasa lebih hangat kala kudapati hanya dengan toleh kepala. Terpisah raga dengan insan yang terbiasa mengisi keseharian, aku tak merasa lebih senang daripada ketika menyelesaikan tiap-tiap permasalahan sekolah dengan bantuannya. Namun, aku tak dapat berbuat apa-apa. Memang begitu kala takdir yang mengambil alih, aku selalu disapa kesadaran yang menertawakan, berkata apabila manusia tak ada apa-apanya.
Namun, sejemang diri dilanda kaget. Suara yang terdengar manakala benda pipih disentuhkan dengan telinga bukanlah milik suara yang biasa aku tunggui. Bukan lagi suara yang spontan menggerakkan labium, menjadikan senyum. Aku menjadi ketakutan. Setelah telepon mati, suara dari ujung sana berhenti, aku terkesiap. Tubuhku enggan menciptakan gerakan. Hujan masih deras sekali. Ibu Astalra yang berbicara, bilang kalau ia tidak baik-baik saja. Astalra tidak pulang dengan tawa bahagia sebab merindukan rumah, memeluk kehangatan tempat yang telah ia tinggalkan. Astalra justru sakit parah. Ketakutan yang disusul rasa gelisah membuatku nyaris menangis. Aku hanyalah gadis yang tengah bertumbuh. Terlahir menjadi yang termuda menyebabkan diri juga menjadi yang paling cengeng. Kelemahan ini tak dapat kusembunyikan. Di hadapan umum yang menjadi tempatku melindungi daksa dari air mata langit, aku nyaris mengikuti hujan dengan menumpahkan air mata. Namun, aku tahu aku tak bisa. Menerobos hujan justru lebih bodoh lagi. Daksa lemah ini bahkan tak dapat berlama-lama di bawa guyuran air. Menunggu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Dengan setiap perasaan takut menghinggapi sudut hati, aku berdiam sampai salah satu dari kumpulan manusia meninggalkan tempat ini. Menyisakan gadis yang menelan rasa gelisahnya bulat-bulat, sendirian.
Aku beranjak, membawa langkah tungkai cepat-cepat. Sedikit berlari, tetapi jalan setapak menjadi licin setelah diguyur air mata langit. Tanah berbasahan, petrikor selalu menyenangkan untuk dinikmati berlama-lama. Namun, semuanya tak lagi seperti biasanya. Aku ingin melihat Astalra, aku ingin memastikan keadaannya. Aku ingin melakukan tiap-tiap hal yang tak lagi kami dapat perbuat setelah ia meninggalkan kota. Apa pun itu, aku ingin bertemu Astalra terlebih dahulu. Jalan tempat berpijak terasa begitu jauh jaraknya. Aku ingin menumpang pada kereta waktu yang selalu bergerak seperti berlari. Perutku sudah tak terasa lapar setelah diisi. Aku menghabiskan semua uang yang kubawa demi mengisi perut yang berisik. Menaiki angkutan umum seharusnya lebih membantu daripada sekadar mengandalkan kedua tungkai, tetapi waktu telah melewati tengah malam. Sebenarnya, keadaan ini terlalu mengerikan. Terlampau berbahaya untuk gadis yang tengah dalam usia bertumbuh berkeliaran di tengah malam tanpa ditemani siapa-siapa. Aku hanya tak acuh pada apa saja. Namun, perbuatan takdir malam ini terlalu tak dapat disangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin