Perang Dingin
Namiya merasa tidak enak hati setelah melihat sikap Nizar kepadanya. Ia berusah mengingat dan mengoreksi diri, apakah ada kesalahan yang melukai hati suaminya. Apakah ada perlakukan yang tidak menyenangkan hati suaminya. Siang tadi, saat ia mengantarkan makanan ke kantor suaminya, semua baik-baik saja.
“Astagfirullah,” lirih Namiya kembali merapalkan kalimat istighfar.
Namiya masih setia menunggu kepulangan suaminya. Nizar berangkat sebelum maghrib, hingga kini jam dinding di ruang keluarganya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia sampai melewatkan waktu makan malam karena menunggu kepulangan Nizar. Bahkan hidangan makan malam yang sudah dua kali ia hangatkan, kini kembali dingin di meja makan.
Namiya mulai cemas, berulang kali ia menghubungi suaminya, tapi tak kunjung mendapatkan respon. Ia mulai khawatir, apalagi sebelum berangkat Nizar bilang ingin ngobrol dengannya. Pikiran negatif mulai merasuki kepalanya. Ia takut terjadi hal yang tidak-tidak dengan suaminya.
“By, kamu kemana sih,” ucap Namiya yang menatap layar ponselnya sendu, karena panggilannya tak kunjung tersambung.
Terdengar suara pintu terbuka, membuat Namiya langsung berdiri dari duduknya. Ia bergegas menghampiri suaminya yang baru masuk. Namiya bersyukur suaminya pulang dengan keadaan baik-baik saja. Pakaian yang ia gunakan pun masih sama.“Astaghfirullah, By, kamu dari mana aja sih? aku nungguin kamu tau,” ucap Namiya panik.
“Kamu mau tau aku darimana?” tanya Nizar terdengar menakutkan. Namiya hanya menganggukan kepalanya.
“Aku cari tau kebenaran soal keinginan kamu poligami dari orang-orang yang kamu kasih tau soal itu,” jawab Nizar tegas.
Namiya diam mematung mendengar jawaban suaminya. Nizar mengatakan soal poligami yang Namiya sendiri belum sempat menemukan waktu yang tepat untuk mengobrolkan hal itu. Namiya sekarang tau apa sebab suaminya bersikap dingin bahkan marah kepadanya.
“By, aku bisa jelasin,” ucap Namiya.
“Apa? sebenarnya kamu anggap aku disini? soal poligami itu bukan keputusan satu orang aja ya, bukan cuma keputusan kamu. Kamu bisa bilang soal poligami ke teman-teman kamu, tapi sekalipun kamu tidak pernah ngobrolin itu sama aku, dan aku harus tau soal itu dari orang lain,” tegas Nizar, terdengar suaranya sangat marah.
Namiya hanya bisa diam mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh suaminya. Ini kali pertama ia melihat Nizar marah. Pertama kalinya juga suaminya membentak dirinya. Namiya sadar, ia memang sudah salah, tidak mengobrolkan hal itu kepada suaminya, justru ia membahas hal itu dengan teman-temannya.
“Terus siapa lagi yang tau soal ini? Papa sama Mama? Atau jangan-jangan Ayah dan Bunda juga kamu kasih tau soal ini? aku nggak ngerti ya sama kamu,” tanya Nizar kemudian meninggalkan tempatnya.
Namiya sudah mulai meneteskan air matanya. Ia merasa takut dengan kemarahan Nizar. Ia juga merasa sangat bersalah.Namiya mengikuti langkah Nizar yang masuk ke dalam kamar. Ia melihat Nizar mengambil selimut dan bantal kemudian keluar dari kamar. Namiya berusaha untuk menghalangi suaminya, tapi ia tidak bisa.
“By, izinin aku jelasin sebentar,” pinta Namiya yang terus mengikuti suaminya.
“Sudah malam, aku mau istirahat,” balas Nizar yang memilih tidur di sofa ruang tengah.
“By, jangan tidur disini,” pinta Namiya.
“Kamu mau aku keluar?” tanya Nizar membuat Namiya terdiam.
Namiya menghela nafasnya berat seraya mengucap kalimat istighfar. Ia berdiri dari tempatnya sambil menatap suaminya penuh sesal. Air matanya sudah mulai membanjiri pipi bersihnya. Ia kemudian mematikan lampu ruangan kemudian pergi ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cintanya ✔ [TAMAT]
Romance[Fiksi Remaja - Romance || Spinoff Separuh Agamaku || On Going] Kesalahanku, pernah menjadikan kamu harapan masa depanku. Harapan yang tak seharusnya ku tanam pada diri seorang hamba. Kamu mengajarkanku bahwa berharap semenyakitkan itu. Mengubahku y...