Mengapa Ayana?
Usai menemui Reva di kantornya, Namiya terlebih dahulu pamit pulang dari kantor. Ia juga menjelaskan pada Reva kalau ada janji makan siang dengan suaminya. Meskipun sebenarnya Namiya sudah meminta Ayana untuk ikut makan siang bersama Nizar. Sekaligus Namiya ingin keduanya bertemu, sembari ia menemui mamanya terlebih dahulu.
Namiya mengendarai mobil pribadinya dengan kecepatan sedang. Ia beberapa kali melihat jam tangannya, berharap ia tidak akan datang terlambat. Ia langsung memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju kafe dimana mereka membuat janji. Namun langkah Namiya seketika melambat saat melihat bunga mawar di samping Ayana.
Buket mawar merah itu membuatnya berpikir bahwa Nizar sengaja membeli bunga itu untuk Ayana. Karena seharusnya Nizar pasti tau bahwa dirinya tidak menyukai bunga mawar merah. Dadanya terasa sesak saat Ayana menyentuh tangan Nizar. Namiya memutuskan untuk mundur dan kembali ke dalam mobil kemudian meninggalkan kafe tersebut.
“Astagfirullah, Namiya,” ucap Namiya sambil mengelus dadanya.
Seharusnya Namiya tidak ada masalah dengan hal itu. Seharusnya ia tidak apa-apa melihat itu semua, dan seharusnya ia bahagia, karena pemandangan seperti yang nantinya akan selalu lihat. Tapi hati juga tidak bisa berbohong, ia merasa cemburu.
“Ya Rabb, aku ikhlas,” ucap Namiya.
Namiya melajukan mobilnya untuk pulang. Ia mengurungkan niat untuk bertemu dan ngobrol dengan Nizar dan Ayana. Ia perlu waktu untuk berusaha baik-baik saja saat nanti bertemu dengan Nizar. Ia juga perlu menyiapkan jawaban saat nanti Nizar akan menanyakan kemana dirinya dan alasan mengapa justru Ayana yang berada di kafe tersebut.
Namiya sampai di apartemennya dengan perasaan tak karuan. Tak hanya karena apa yang ia lihat tadi, ucapan orang-orang yang menanyakan kapan memiliki momongan kembali memenuhi isi kepalanya.
“Kamu mandul, Miya? Terus siapa yang akan meneruskan perusahaan Papa kamu? belum lagi Nizar juga pewaris bisnis Ayahnya, kan? Kamu nggak mikir bagaimana mertua kamu akan kehilangan penerusnya? Kamu nggak kasihan sama Nizar yang harus menanggung malu mempunyai istri mandul seperti kamu?”
Matanya kembali menetesakan buliran rasa sakit. Ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Ia merasa gagal menjadi seorang istri dan menantu. Tapi ia bisa apa, andai ia bisa memutuskan, tak perlu ada pertanyaan itu karena Allah sudah mengizinkan dirinya memiliki keturunan.
Mereka semua tidak pernah tau bagaimana perjuangannya agar tak lagi mendapat pertanyaan itu. Perjalanan panjang yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun. Beberapa kali masuk ruang operasi, puluhan kali ditusuk jarum suntik. Hingga harus gagal berkali-kali karena Allah belum mengizinkan.
Semua seolah menyalahkan dirinya, banyak yang mengira ia tidak menginginkan buah hati karena lebih sibuk dengan pekerjaan. Pertanyaan kapan memiliki momongan yang justru ia dapat dari sesama perempuan. Sosok yang seharusnya saling menguatkan, justru sebaliknya perempuan yang membuatnya tertekan. Kenapa justru perempuan yang tidak bisa menjaga perempuan lain. Kenapa justru perempuan yang seolah seperti tuhan yang bisa mengatur rahim perempuan lain.
Namiya hendak pergi ke kamar, namun ia urungkan karena mendengar pintu depan terbuka. Ia melihat Nizar datang dengan raut wajah marahnya. Ia berusaha bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
“Sebenarnya apa sih mau kamu?” tanya Nizar yang langsung membuat Namiya tersentak kaget.
“Duduk dulu ya, pasti capek kan seharian kerja,” Namiya menghampiri Nizar dan memintanya untuk duduk, namun Nizar justru menolak tangan Namiya.
“Jawab pertanyaan aku,” tegas Nizar.
Namiya terlebih dahulu duduk di sofa. Ia masih terdiam belum menjawab pertanyaan Nizar. Kepalanya terasa pening, namun Namiya masih berusah memberikan senyuman pada Nizar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cintanya ✔ [TAMAT]
Romance[Fiksi Remaja - Romance || Spinoff Separuh Agamaku || On Going] Kesalahanku, pernah menjadikan kamu harapan masa depanku. Harapan yang tak seharusnya ku tanam pada diri seorang hamba. Kamu mengajarkanku bahwa berharap semenyakitkan itu. Mengubahku y...