3. Pernikahan

9.4K 589 5
                                    

Nismara menunduk saat Abah dan Emak memasuki ruangan dan menatapnya dengan marah. Abah bahkan masih memakai kaus putih belel dan celana pendek biasa sedangkan Emak jauh lebih parah, perempuan itu hanya memakai daster dengan sarung Abah sebagai penutup auratnya.

  "Abah, Isma enggak kayak gitu. Demi Tuhan Isma bukan penzina, Isma cuma korban. Mereka salah paham Bah," jelas Nismara sambil memeluk kaki Abah karena bapak-bapak itu tidak membiarkannya untuk berdiri. Abah menatapnya dengan ekspresi dingin. Rahang lelaki tua itu mengatup tajam.

  "Kita enggak salah paham pak, jelas-jelas kami lihat putrimu itu sedang berzina dengan laki-laki yang bukan muhrimnya."

  "Iya Pak, kalau bukan zina untuk apa gadis yang belum menikah ada di semak-semak pada tengah malam begini bersama seorang laki-laki?"

  Nismara menatap orang-orang itu dengan marah. Dasar kompor. "Enggak Bah, mereka salah! Isma enggak lakuin itu, Isma cuma korban. Laki-laki itu," Nismara menunjuk laki-laki yang hanya bisa duduk tanpa sepatah kata di sampingnya, "dia lecehin Isma. Isma enggak mau, jadi Isma coba minta tolong. Tapi mereka malah salah paham. Tolong percaya sama Isma, Bah."

  "Alah, kalau kamu enggak samperin dia juga enggak bakal ngapa-ngapain. Kamunya aja yang gatel, mau-maunya temuin laki-laki malem-malem."

  Nismara mendesis, rasanya ingin menggeplak mulut Pak Joko. Kompor banget elah jadi orang. "Pak Joko bisa diem enggak? Ini urusan saya sama Abah."

  “Saya salahnya dimana? Saya hanya mengatakan kebenarannya, kamu itu sudah salah tidak mau mengaku. Harusnya kamu itu berpikir panjang, bagaimana kamu bisa berbuat serendah itu dengan reputasi terhormat Abahmu.”

  Sungguh Nismara benar-benar tidak percaya dengan Pak Joko, bagaimana lelaki paruh baya itu bisa berbicara selancar itu padahal dia belum tahu kebenarannya. “Saya enggak tahu Pak Joko berpendapat apa soal saya, tapi saya enggak seperti yang Pak Joko katakan. Saya enggak serendah itu, harusnya Bapak yang berpikir panjang sebelum memvonis seseorang seenaknya.”

  "Diam, Nismara!" Nismara tersentak hebat, menatap Abah dengan pandangan tidak percaya. Ini pertama kalinya Abah membentaknya. Selama ini jangankan membentak Abah bahkan tidak pernah sekalipun menaikan suara pada anak-anaknya. Abah hanya akan menasihatinya dengan nada yang lembut.

  Mengabaikan putrinya yang masih mematung syok, Abah lalu menghampiri laki-laki yang dimaksud. Menelisik penampilannya yang berantakan. Kening pria baya itu mengerut saat aroma alkohol menguar. "Siapa kamu? Kenapa kamu bisa bersama dengan anak saya?"

  “Kami saling mencintai." Nismara melotot horor. Apa katanya? Saling mencintai, dari mana laki-laki gila itu bisa mendapat pemikiran sekonyol itu? Jangankan cinta, kenal aja enggak.

  "Jangan ngaco lo sialan!!"

  “Nismara, jaga ucapan kamu!" Sekali lagi Abah membentaknya. "Abah tidak pernah mengajarkan kamu kata-kata kotor seperti itu."

  Nismara menunduk takut. Dua kali, dua kali Abah membentaknya dalam kurun waktu yang sangat singkat. "Tapi Bah..."

  Abah kembali mengalihkan pandangan. "Apa kamu bilang?"

  Laki-laki itu mengangkat wajahnya tanpa rasa takut sedikitpun. "Kenyataannya seperti yang kalian lihat, kami saling mencintai. Tapi Nismara terlalu takut untuk mengatakannya pada Anda."

  Rasanya Nismara ingin segera menghantam meja ke arah laki-laki itu. Sudah mabuk, tukang lecehin anak gadis orang sekarang dia malah berbohong. "Enggak, dia bohong Abah!"

  Laki-laki itu menatap Nismara dan demi apapun, tatapan penuh cinta dan haru itu seketika membuat lidah Nismara kelu. Apa-apaan?! "Kamu bisa jujur, Nismara, lagi pula semua orang sudah tahu."

  "Lo gila ya? Gue aja enggak kenal sama lo!!"

  "Nismara!!" Kali ini Nismara memilih mengabaikan bentakan Abah, dia beringsut ke arah laki-laki yang paling dia cintai dalam hidupnya itu. Nismara tidak peduli, dia harus menjelaskan kebenarannya pada Abah. Nismara bukan manusia tercela, sekali lagi dia hanyalah korban dari putaran takdir yang konyol.

  "Dia bohong, percaya sama Isma. Isma mohon Bah, Isma enggak pernah kayak gitu. Bandung, Regi sama Binar, mereka nyulik Isma buat ikut pesugihan. Isma enggak mau, terus Isma lari tapi di tengah jalan laki-laki itu malah narik Isma. Isma enggak salah, Bah. Dia yang berusaha nyentuh Isma."

  "Kamu enggak usah berkutik lagi, Nismara. Jelas-jelas saya lihat kamu sedang berciuman dengan laki-laki ini. Ngaku saja sekarang daripada Abah kamu semakin marah," kata Pak Joko sambil tersenyum culas.

  "Iya Pak Selamet, kalau sudah seperti ini lebih baik kita nikahkan saja mereka berdua Pak. Daripada kejadian ini terus terulang, malah bapak ikut terbawa dosanya. Pamali, Pak."

  Nismara menggeleng panik. "Enggak Bah! Jangan dengerin mereka, Isma mohon percaya sama Isma aja!"

  Abah menghela nafas lelah, dia sudah tidak sanggup mendengar kekacauan ini lebih lanjut. Abah menyentuh pucuk kepala Nismara dengan getir, tidak pernah menyangka kalau putri semata wayangnya akan mengalami takdir sepelik ini. "Pak Joko benar, lebih baik kalian menikah saja. Siap atau tidak, kalian harus menanggung konsekuensinya."

  "Enggak Abah, Isma enggak mau!!" Nismara menangis keras saat Emak memeluknya. "Emak, Isma enggak mau nikah sama dia Mak. Isma enggak mau."

  Emak ikut menangis. "Kamu harus terima, nak..." lirih Emak.

  Nismara menggeleng panik. "Enggak Mak, Isma enggak mau..."

***

  Nismara tersengguk nanar. Pada akhirnya dia harus berakhir menikahi seorang lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Pernikahannya diadakan dengan sistem dadakan, penghulu yang didatangkan dadakan, persiapan dadakan dan mas kawin yang juga tak kalah dadakan. Uang receh sebesar lima puluh dua ribu rupiah. Benar-benar membuat hati serasa teriris sembilu.

  Di sampingnya Cakka, calon suami yang tak kalah dadakannya duduk dan menyambut ucapan sang penghulu tanpa ragu. "Saya terima nikahnya Nismara Dian Kartini binti Selamet dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

  "Sah?"

  "Sah!" Teriakan bapak-bapak menggema antusias di dalam kantor desa pukul dua dini hari menjadi saksi hidup pernikahan kelamnya.

  TIDAKKKKK!!

Cakka dan Kata MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang