14. PMS

6.3K 547 10
                                        

  Selama dua minggu ini kehidupan pernikahan Nismara dan Cakka berjalan dengan baik-baik saja. Maksudnya tidak pernah terjadi peningkatan ataupun penurunan. Datar aja gitu. Mereka masih seperti dua orang asing yang mencoba menjalin hubungan formal selayaknya teman satu kosan.

  Cakka masih memperlakukannya dengan ramah dan senantiasa berusaha mengerti posisi Nismara. Bahkan sampai sekarang Cakka masih tidur di sofa yang ada di ruang tengah. Nismara tidak enak hati sebenarnya tapi mau bagaimana lagi hanya ada satu kamar tidur di apartemen ini dan dia tidak mungkin membiarkan Cakka terlelap di sampingnya.

  Tapi terkadang Cakka bisa juga sangat menyebalkan.

  Contohnya saja pagi ini, begitu tahu kalau Nismara sedang kedatangan tamu bulanannya yang memang selalu menyakitkan lelaki itu langsung berubah bagai wartawan. Bertanya ini-itu dan bahkan mencoba mencari tahu merk pembalut yang sering Nismara pakai. Bersayap atau tidak. Berapa besar daya serapnya. Katanya sih untuk memastikan apakah Nismara punya stok yang cukup atau tidak sehingga Cakka bisa menyewa jasa ojek online untuk membeli. Dan dengan senang hati Nismara langsung membanting pintu di depan hidungnya.

  Sumpah, malu banget gila!

  Ini pertama kalinya Nismara menemui laki-laki yang secara terang-terangan menanyai hal-hal sepersonal itu pada seorang gadis.

  Nismara menoleh was-was saat Cakka membuka pintu kamar, membiarkan kepalanya menyembul dari celah pintu. "Masih sakit?" Tanyanya dengan nada amat tenang.

  "Pergi sana ahhh, jangan ganggu gue," ketus Nismara.

  Bukannya menurut Cakka malah memasuki kamar dan menyerahkan botol air padanya. "Katanya air hangat bisa meredakan rasa sakitnya, coba deh,” katanya, membuat Nismara spontan menyipitkan mata curiga.

  Cakka berdeham canggung. "Aku baca di internet tadi."

  Nismara masih menatap Cakka dengan penuh selidik membuat laki-laki yang suka sekali memakai piyama di apartemen itu menggaruk belakang kepalanya. Namun sensasi menyakitkan di perut bawahnya masih mengganggu, alhasil Nismara mau tak mau menerima botol air hangat yang Cakka bawakan. Baru setelah beberapa menit rasa sakitnya sedikit mereda.

  "Muka kamu pucat banget," Cakka bertanya sambil mendudukan dirinya di ujung ranjang.

  Nismara membuang pandangan dengan bosan. "Ya lo pikir."

  "Sakit banget ya?"

  "Lo mau coba?"

  Cakka sedikit terkekeh. "Aku laki-laki, Isma enggak bisa datang bulan."

  Nismara pura-pura terkejut seolah berkata 'ahh lo itu laki-laki'. Sampai Cakka tiba-tiba menempatkan tangannya di perut bawah Nismara dengan wajah setenang pasar minggu di hari senin. Kedua mata Nismara langsung melotot lebar tatkala Cakka tak hanya menaruh tangannya tapi juga memberikan sedikit elusan ringan. Nismara bisa merasakan sensasi panas di seluruh wajahnya. Dia lalu melempar botol air ke arah Cakka.

  "LO GILA YA!!"

  "AW, ISMA SAKIT." Cakka mengelus kepalanya. Jangan salahkan dia, sebagai seorang perempuan Nismara memang cukup unggul dalam kekuatan.

  "Mesum." Nismara melompat menuruni ranjang, menatap Cakka dengan horor sambil menunjuk-nunjuk. "Jangan sentuh gue!"

  Cakka menaikkan alis heran, baru kemudian lelaki itu tersenyum menyeringai saat menyadari sesuatu. Nismara bergidik tanpa sadar. 

  "Kenapa enggak boleh? Aku suami kamu loh, Isma." Cakka melangkah dengan gurat menggoda di wajah tampannya.

  "Pokoknya lo jangan maju, hei hei, gue bilang jangan maju."

  "Kenapa?" Cakka maju dan Nismara langsung berlari menjauh. "Isma sebagai suami kenapa aku enggak boleh menyentuh istri aku sendiri?"

  Nismara melompat ke atas ranjang, mencoba melempar apapun yang bisa diraih oleh kedua tangannya. "Gue peringatin lo, jangan mendekat!! Cakka!!"

  Cakka tertawa saat sebuah bantal mendarat tepat di wajahnya. "Apa sayang?"

  "Lo?!!" Mendengar panggilan sayang dari Cakka, Nismara semakin ketakutan. "Akhhhhhh Abahhhh."

  Beberapa saat kedua orang itu saling berlari mengelilingi setiap sudut apartemen. Nismara bahkan harus naik ke atas kitchen counter demi menghindari Cakka yang mengejarnya dengan ekspresi kayak preman lagi goda anak SMP. Sampai Nismara melempar sebuah panci ke wajah Cakka sehingga lelaki yang masih memakai piyama berwarna baby blue itu langsung terjungkal. Nismara mematung ketika kedua lubang hidung Cakka mengalirkan darah.

  "Lo enggak papa?!" Tanyanya panik kemudian menghampiri Cakka yang mengaduh kesakitan. Oh tidak! Bagaimana jika setelah ini Cakka menuntutnya ke pengadilan atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga? Jangan sampai, amit-amit!

  "Aduh gimana nih, lo mimisan. Sakit enggak? Sakit ya, aduh gue harus ngapain? Gue bukan dokter, gue cuma bisa ngelukis. Lo mau gue lukis. Aduh Nismara dodol banget mulut lo."

  Cakka yang masih memegang hidungnya terperangah saat Nismara terus nyerocos.

  "Gimana nih, Emak?? Gue harus buka mbah gugel pasti ada caranya buat hilangin mimisan. Iya pasti ada. Hape gue mana?! Dimana?! Nismara mikir, jangan terus komat-kamit kayak dukunnya si alam!"

  Cakka terkekeh tanpa sadar, Nismara memang selau berhasil membuat selera humornya meningkat tajam. Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, menyentuh sisi wajah Nismara. Nismara menoleh, bibirnya masih mangap-mangap. "Kamu kalau lagi panik gini lucu juga ya bikin orang pengin gigit bibir kamu," ucapnya menggoda.

  Nismara tercekat. Dia tidak pernah menyangka bahwa berdekatan dengan Cakka bisa membawanya pada situasi paling berbahaya seperti ini. Dan jantung, please, jangan kenceng-kenceng jadag-jedugnya.

  "Isma, kamu kenapa?" Cakka semakin mempersempit jarak mereka. Nismara bisa merasakan pahanya yang bersentuhan dengan paha Cakka. Rasanya tuh panas-panas bagai gulali baru mendidih.

  "Isma? Nismara? Mara?" Cakka tiba-tiba tersenyum yang membuat Nismara menelan ludahnya penuh kegugupan. "Aku suka panggilan Mara, gimana kalau mulai sekarang aku panggil kamu Mara? Mara."

  Entah mengapa Nismara semakin terengah sesak saat Cakka memanggil namanya dengan cara paling sensual yang pernah dia dengar. Mara. Tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu. Dan kenapa Cakka semakin maju setiap detiknya? Nismara hampir tidak mampu bertahan saat nafas hangat lelaki itu menyentuh ujung bibirnya. Semakin mendekat dan semakin mendekat.

  Oh Tuhan!

  Tersadar, Nismara sontak menggeplak kepala Cakka kemudian berdiri dengan wajah memerah. "Mampus aja lo!!" Jeritnya lalu berlari memasuki kamarnya, tak memperdulikan Cakka yang terbahak sendirian.

Cakka dan Kata MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang