9. KUA

6.6K 560 5
                                    

  "Senyum dong neng, masa cemberut terus."

  Nismara memberengut namun tak ayal tetap mengulas senyum amat tipis. Bagaimana pun dia sedang tidak dalam mood untuk tersenyum konyol di depan kamera. Terutama alasan pengambilan fotonya adalah untuk buku pernikahan. Rasanya tuh dalam dada kayak ada sepat-sepatnya. Cakka memang memutuskan untuk mengambil foto sendiri, katanya agar hasilnya bagus. Namun tetap saja bahkan setelah berulang kali menjepret kamera hasilnya tidak ada yang memuaskan.

  "Atuh si eneng, senyumnya yang lebar atuh," sekali lagi sang photograper yang katanya orang Garut itu mengeluh. Ini sudah kesekian kali laki-laki itu menyuruhnya untuk tersenyum.

  Nismara mendecakkan lidah. "Apa susahnya sih Bang, tinggal foto aja." Lagian dari tadi Nismara sudah senyum, si abangnya aja yang sewot.

  "Ya gimana mau fotonya kalau wajah eneng malah keliatan lagi kayak nahan boker," celetuk lelaki itu. Mendengarnya Nismara tentu saja tercengang. Nih Abang-abang satu kayaknya sedang cari ribut. Enggak tahu apa ya kalau Nismara sedang dalam mode senggol bacok.

  Jengkel, Nismara menghentakkan kakinya sembari menunjuk-nunjuk si Abang tukang foto tak terima. "Wah, sumpah Abang nyari ribut banget nih. Enggak tau ya, gue emang lagi pengen garukin muka orang?!”

  Tidak terpengaruh, laki-laki itu malah menatap Nismara dengan wajah songong. "Saya enggak nyari ribut neng, cuma lagi nyari duit."

  "Ya udah, kalau gitu tinggal foto aja enggak usah banyak ngeluh bisa 'kan?"

  “Enggak bisa," laki-laki itu menjawab lantang, "saya selaku photograper merasa tertekan melihat wajah eneng yang tidak menggugah selera."

  Apa-apaan! Memangnya Nismara itu makanan sampai mengugah selera segala. Sepertinya si Abang perlu diberi tahu rasanya cocolan tangan Nismara. "Sumpah sini lo Bang!"

Nismara berlari, menerjang sang photograper dengan kalap. Kekesalan yang sejak tadi dia coba bendung akhirnya keluar dengan bebas, Nismara mengulurkan tangan, berdecak saat dia gagal menjitak kepala sang photograper.

  Selama beberapa saat kedua orang itu berlarian di sekitaran studio. Cakka yang sejak tadi hanya memperhatikan keributan itu menghela nafas lelah. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kecenderungan Nismara yang suka sekali mencari ribut di manapun dia berada. Tak ingin berlama-lama, Cakka langsung mencekal tubuh Nismara saat gadis itu berlari melewatinya.

  Nismara menyentak jengkel, berusaha melepaskan diri. “Lepasin gue!” Dia masih belum puas menghajar orang.

  Cakka menatap istrinya dengan raut datar. “Bisa kamu diam, Isma? Kita hanya akan mengambil foto, sekarang kamu diam dan senyum ke kamera!” Cakka menuntut tubuh Nismara menghadap kamera kemudian memberi sinyal agar sang photografer segera memotret mereka.

***

  Nismara memangku tangannya jengkel. Setelah acara foto memfoto itu mood-nya benar-benar hancur berantakan. Nismara menyandarkan kepalanya, menatap jalanan.

  Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Nismara meliriknya sepintas namun kembali berbalik saat ternyata ponsel milik Cakka yang menyala.

  "Bisa kamu angkat?!” Cakka bertanya tanpa mengalihkan atensinya dari jalanan.

  Nismara melirik laki-laki itu lalu berdecih tidak sudi. Itu ponsel cakka kenapa harus Nismara yang mengurusnya? "Angkat aja sendiri."

  "Isma, aku lagi nyetir,” tekan Cakka.

  Nismara berdecak, dibandingkan menanggung resiko mengalami kecelakaan lalu lintas Nismara mau tak mau akhirnya meraih ponsel Cakka. Nismara sedikit tersentak saat nama Mama tertera di sana. "Mama lo,” adunya dengan panik.

Cakka dan Kata MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang