_Jangan Lupa_
_Vote_
_Comment_Happy Reading..........
Perlahan pintu ruangan itu terbuka, Abi, Atta dan Thariq, masuk satu persatu dengan pelan. Suasana di dalam ruangan itu begitu sunyi, bahkan derap langkah kaki mereka pun dapat terdengar dengan jelas.
Fateh, anak lelaki masih terbaring di ranjangnya, dengan mata yang sama sekali tak berniat untuk terbuka sedikitpun. Wajah terlihat pucat dan tertutup oleh masker oksigen yang terpasang untuk membatunya bernapas. Hembusan napas yang begitu lemah, seakan bisa berhenti kapan saja. Namun, Tuhan masih mempertahankannya. Sehingga Fateh masih bisa bertahan sampai hari ini.
"Fatah.. anak Abi kenapa bisa sampai seperti ini." Abinya menyentuh jemari Fateh yang terasa dingin. Tangan Fateh begitu kurus sampai Abi pun tak tega untuk menyentuhnya.
Atta dan Thariq pun mendekati Abinya, mereka juga yang selalu melihat Abinya orang yang kuat kini bergetar.
"Fateh!! Lihatlah! Di sini sudah ada Abi yang rela pulang dari jauh hanya untuk Fateh. Kita semua sudah berkumpul seperti dulu lagi, kecuali yang lain, yang mungkin saat ini akan menyusul untuk pulang." Atta mengelus surai lembut milik Fateh. Berharap segala perkataannya mampu di dengar oleh adiknya
"Teh.. kau bisa mendengar Abi, kan? Sekarang Abi ada di sini, sayang.. Maaf, Abi belum bisa menemani dirimu saat Fateh meminta untuk tinggal.. hiks.. Abi menyayangimu, Teh.. hiks.. Jangan tinggalkan Abi.." tangan Abi dan Fateh masih saling bertautan. Tanpa sadar air mata Abi telah mengaliri tangan ringkih Fateh yang masih dalam genggamannya.
"DEAAAAA.. DEAAAA-AH.. APA YANG TERJADI PADA ANAKKU?!" Pekik Abi panik ketika tubuh Fateh tiba-tiba tersentak beberapa kali. Bukan hanya Abi yang terkejut, semua yang berada di ruangan itupun sama halnya seperti Abi
"Kalian semua, tenanglah.. Sebaiknya kalian keluar dulu dari ruangan ini. Aku dan dokter lainnya akan menangani Fateh segera. Ku mohon!" Dengan berat hati Umi, dan semua yang berada di dalam itu, segera menuruti perintah Dokter Dea. Tak perlu menunggu lama, segerombilan dokter dan perawat pun memasuki ruangan tersebut.
"AARGGHH.. BERIKAN SAJA JANTUNGKU PADA ANAKKU.. Sungguh aku sudah tidak kuat lagi melihatnya kesakitan seperti ini, aku mohon.. hiks.. Selamatkan, anakku.." Teriak Abi histeris. Atta pun merengkuh tubuh abinya itu dengan kuat. Abinya terisak kencang di lantai yang dingin, dengan sang istri yang kini memeluknya.
Saaih, anak itu hanya bisa terdiam membatu, seolah di depannya orang-orang yang dalam kepanikan itu tidak ada. Thariq tidak tahu apa yang terjadi pada Fateh saat ini tapi perasaannya sangat Takut.
Sekuat tenaga Thariq berusaha membuang semua pikiran buruknya. Tangannya sampai gemetar karena ketakutan yang amat dirasakan olehnya saat ini. Jika saja tak ada genggaman hangat yang menyentuh tangan itu. Thariq pasti sudah mati rasa saat ini. Uminya terlihat memegang tangannya erat, membuat kecemasan di hatinya berkurang. Dalam keadaan seperti ini, sudah Thariq yakin kan bahwa, Uminya memang sudah terlihat ikhlas dan pasrah.Cklek..
Daun pintu itu terbuka, setelahnya keluarlah Dokter Dea dengan raut lelah di wajahnya. Semua pun memandangnya dengan penuh harap. Ia melepaskan masker yang dikenakannya dan menghapus peluh yang membasahi wajahnya.
"Pak Hali.. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Fateh, dia sudah-" Belum saja Dokter Dea menuntaskan kalimatnya, Abinya sudah memotongnya terlebih dahulu.
"TIDAK! FATEH PASTI BAIK-BAIK SAJA.. BIARKAN AKU BERTEMU DENGANNYA.. FATEH ANAK YANG PENURUT.. FATEH AKAN BANGUN JIKA AKU MEMINTANYA.." Teriak Abinya yang baru saja tiba di tempat itu. Ia langsung menerabas Dokter Dea yang masih berdiri di ambang pintu. Satu yang dipikirkannya, ia harus menemui Fateh.
"Hiks.. Bang, aku harus bagaimana? Hiks.. Lakukan sesuatu Bang! Lakukan apa saja asalkan Fateh mau membuka matanya kembali.." Thariq pun berlari mendekati Atta yang mungkin saat ini terkejut sama seperti dirinya. Thariq mengguncang tubuh Abangnya agar mau melakukan apa yang ia katakan dengan tangis yang sudah tidak terbendung kan lagi di antara keduanya. Saaih langsung histeris dan menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya sebuah mimpi.
Sedangkan, Hali sebagai sosok Ayahnya yang sudah berada di dalam ruangan, terus menangis di samping tubuh anaknya yang sudah tidak bernyawa.
"Fateh.. hiks.. Abi mohon jangan pergi.. Tolonglah? Apa yang harus Abu lakukan agar Ateh mau bangun.. hiks.." Ucap Hali disela tangisnya. Ia pun mempererat dekapannya pada tubuh Fateh.
Sedangkan di luar ruangan, Geni sebagai sosok Ibu masih membatu di tempatnya sambil melihat para dokter dan perawat yang sudah melepaskan alat-alat penunjang hidup untuk anaknya itu. Pemandangan yang sungguh membuat dadanya terasa tercekat. Geni tak memperdulikan orang-orang yang masih berdiri di sekeliling Fateh itu karena yang ia lihat hanya Fateh. Geni pun segera masuk ke dalam juga. Direngkuhnya tubuh Fateh dalam pelukannya. Diletakkannya tangan ringkih itu di wajahnya.
"Fateh.. ini Umi sayang... Jangan tinggalkan Umi... Umi sangat sayang kamu Teh.. Ateh.. hiks.." Dikecupnya kening putranya itu dengan sayang. Berharap Fateh akan mendengar segala perkataan yang di ucapkannya.
Tiba-tiba saja Hali terdiam sejenak. Entah ini hanya halusinasi atau apa? Karena Ia merasakan sesuatu yang bergerak dalam genggaman tangannya. Baik Hali maupun Geni, keduanya saling menatap satu sama lain dan hanya dapat memperhatikan semua itu dalam diam. Sebuah lenguhan terdengar bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mata yang sudah lama terpejam itu.
"A..biiii.. Um..mi.." Setara dengan sebuah bisikan, namun Hali mampu mendengarnya dengan jelas. Manik mata yang sangat dirindukannya itu, kini tengah menatap teduh dirinya. Meskipun terlihat sayu, namun binar-binar kebahagiaan mampu terpancar dari tatapan itu.
"F-Fat..teh?" Hali dan Geni terkejut bukan main. Ia bisa mendengar Fateh memanggil namanya. Apakah ini hanya halusinasi? Tapi bagaimana bisa keduanya merasakan hal yang sama?
Hali dan Geni mungkin akan terus diam sambil menatap Fateh jika saja Dokter Dea tak menyentuh pundak mereka.
"Pak Hali, Bu Geni, ini yang ingin saya katakan sebenarnya, bahwa Fateh, sudah bangun dari komanya, tadi saya belum selesai bicara, tapi Ibu dan Bapak sudah mengambil kesimpulan sendiri?" Ucap Dokter Dea setelah menghadapi Bu Geni dan Pak Hali yang tiba-tiba saja kalap ketika ia hendak memberi kabar mengenai kondisi Fateh.
"B-benarkah? Saya pikir, Fateh-" Hali merancu tidak jelas sambil merutuki dirinya yang mengambil kesimpulan bahwa anaknya telah pergi.
"Fateh, kau membuat Abi takut. Abi bisa gila jika benar-benar harus kehilanganmu, sayang.. Hiks.. Terima kasih, kau mau membuka matamu kembali.." Hali tak dapat membendung rasa syukur dan bahagianya saat ini. Dikecupnya kening dan tangan Fateh berkali-kali. Fateh sendiri masih terkejut melihat kedua orang tuanya yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Fateh hanya mampu tersenyum. Tak peduli bagaimana mereka berdua bisa berada bersamanya sekarang. Fateh tak mampu menahan tangis bahagianya saat dapat melihat wajah kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan ini, padahal mereka baru berpisah tiga bulan.
"Abbi... Ummi..." Gumam Fateh lagi. Ia berusaha mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah sang Ibu yang sangat dirindukannya. Geni pun dengan sigap segera meletakkan tangan Fateh di wajahnya. Menciumi tangan kurus dan dingin itu dengan penuh kasih sayang.
"Maaf.." Itulah kata berikutnya yang meluncur dari seorang Fateh yang masih menatap mereka berdua dengan mata sayunya.
To Be Continue.............
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY HERE I ( End )
FanfictionIni adalah sebuah kisah dari Pertemuan Kesebelasan Gen Halilintar, Antara Atta dan Thoriq dengan Kesebelasan lainnya + orang tua di Turki, namun kembali berpisah karena ada kerjaan yang harus di kerjakan dengan Saaih dan Fateh yang harus ikut dengan...