Stay Here ( 51 End )

648 26 9
                                    

Happy Reading.........

Terimakasih sudah mau membaca

Fateh tersenyum manis melihat raut bahagia yang tercetak di keluarganya saat ini. Hadirnya keponakan pertama menambah kebahagiaan mereka dengan selesainya juga sebuah acara selamatan yang di lakukan keluarganya secara pribadi dan tidak menimbulkan banyak orang dan acara pun di lakukan di kediaman Gen Halilintar bukan di kediaman Atta. Ini semua adalah permintaan Fateh, dan ternyata semua menyetujuinya. Menurut Fateh, tidak ada kata bahagia lagi selain tertidur, semua yang di inginkan sudah terpenuhi, apa yang ingin ia berikan sudah diserahkan, semuanya telah usai, bagi Fateh perjalanan panjang hidupnya telah mencapai akhir yang bahagia. Di saat ia yang akan pergi, Tuhan sudah memberikan pengganti kekosongan hati yang mungkin nanti akan mereka rasakan, tapi Fateh berdoa, keponakan barunya bisa menjadi pengisi kekosongan itu

Tidak ada yang menyadari, saat kedua kaki itu mulai lemas, di iringi dengan degup jantung yang berdetak samar. Fateh, pandangannya memburam, dan secara perlahan, Fateh merasakan kehilangan seluruh tenaga nya untuk menopang tubuhnya. Pada akhirnya, tubuh ringkih itu terkulai lemas menghantam dinginnya lantai rumah hingga menciptakan suara yang cukup keras.

Brukk..

Seketika, senyum yang terkembang saat ini berubah begitu saja menjadi rasa terkejut dan teriakan yang cukup keras.

"FATEEEEEHH!" Fateh masih mendengar.

"Fateeeh, Fateh, tidak... TIDAKK..." Jerit pilu dan teriakan mereka kini saling bersahabat di rumah yang kini menjadi sebuah tangis.

"BANGUN TEEEH... BANGUN,,, Abang mohon,, BAAANGUUN..."

"FATEEEEHHH..!" Seluruh keluarganya terus bersahutan menyebut namanya untuk tetap bertahan, tapi Fateh seolah-olah menulikan pendengarannya dengan bola mata indah yang tetap menutup. Abi yang berada paling dekat dengan Fateh langsung histeris, saat ia mengetahui Fateh, anaknya tidak lagi bernafas, denyut nadi di leher dan pergelangan tangan Fateh pun sudah tidak bisa dirasakannya lagi. Masih belum menerima sebuah kenyataan, Abi menekan dada kiri Fateh, tempat dimana jantung itu berada, tidak ada reaksi apapun, semua tetap sama jantung itu tidak lagi berdetak, memberikan kehidupannya pada Fateh. Abi menggeleng, menatap keluarganya.

"Innalilahi wainnailaihi rojiun." Tangis itu semakin pecah,

"ABIIIIIII...  Tidak mungkin anakku pergi secepat ini, anakku masih muda, cepat bawa ke Rumah sakit." Teriak Uminya histeris sambil mengangkat Fateh dalam dekapannya. Sohwa memeluk Uminya dari arah belakang, dengan tangis yang tidak kalah kencang.

"Umi, jangan seperti ini, kita harus ikhlas.. hhhaaa..asas... Fateh sudah tiada Umi..." Sohwa semakin erat memeluk Uminya, tapi Umi malah semakin berontak dan mencoba melepaskan pelukannya.

"JANGAN BICARA SEPERTI ITU! APA KAU TIDAK MAU MELIHAT ADIKMU HIDUP.. FATEH HANYA SEDANG PINGSAN, BYKAN MENINGGAL!" Umi semakin histeris

"Umiiii.. Fateh sudah meninggal Umi, Atta juga ingin menolaknya, tapi Fateh memang sudah benar-benar pergi, tolong Umi, jangan seperti ini, kasihan Fateh, kasihan Umi." Atta datang dengan terisak, ikut memeluk Uminya dan juga Sohwa, sambil menatap adiknya yang sudah tertidur damai di dekapan Uminya.

"TUDAK ATTA, FATEH BELUM PERGI, FATEH MASIH ADA DISINI, DI DEKAPAN UMI ATTA..." Dengan penuh air mata, Umi menatap Fateh, membelai  wajah Fateh dari atas kepala sampai dagunya

Sajidah dan Sohwa mencoba mengangkat Umi untuk menjauhnya. Muntaz dibawa Aurel masuk ke kamar, bersama Qahtan, Soleha dan Fatim. Iyyah secara perlahan mendekati Fateh yang sedang di angkat, oleh Atta, Thariq dan Saaih dengan Abi yang mengikutinya dari belakang.

"Kamu harus kuat Iyyah, kepergiannya memang buat kita terluka, tapi kepergiannya juga, membuatnya bahagia, karena sekarang Fateh sudah tidak merasakan sakit lagi." Iyyah mengangguk menyetujui, ucapan Thariq memang benar.

Fateh telah pergi, bukan karena Fateh tidak menyayangi keluarganya, karena ini memang sudah menjadi takdirnya dan garis Tuhan yang di berikan untuknya.

'Ateh sayang Umi dan Abi, terimakasih sudah melahirkan Ateh, dan maafin Ateh belum bisa membanggakan Umi dan Abi.'

'Kakak dan Abang harus selalu akur, harus saling sayang satu sama lain, terimakasih sudah merawat Ateh selama ini, maaf Ateh masih banyak yang tidak nurutnya.'

'Adik-adik Abang ini tidak perlu menangis ya, Abang tidak apa-apa, Abang baik-baik saja, maafin Bang Fateh belum bisa mendidik kalian'

'Ponakan Ateh benar-benar cantik, nanti kalau sudah besar, kamu bisa menayangkan bagaimana hidup Om ini sama Mamah dan Papahnya ya, Om sayang kamu.'

Sebait kalimat yang acap kali diucapkan Fateh dengan senyum lebarnya, kemudian setelahnya ia akan tertawa sendiri menyadari kelakuan narsisnya itu. Ya.. tawa manisnya, ku rasa keluarga Gen Halilintar akan sangat merindukan senyum jahil dari bocah manis itu.

"Kami semua menyayangumu, Abi, Umi, Abang, Kakak dan Adik-adik kamu, sangat menyayangimu. Maaf, masih banyak kurangnya Abi untuk merawat kamu dan membereskan kamu, bahkan belum bisa memberikan kebahagiaan yang benar-benar bisa kamu rasakan, Abi ikhlas, karena kamu sekarang sudah bahagia, sudah lepas dari rasa sakit, Abi merelakan kamu sayang." Abi mencium kening Fateh lama, kemudian memeluk erat tubuh yang kini sudah tidak bernyawa. Tangisnya pun kembali pecah, saat anak-anaknya kini ikut memeluk Fateh yang berada dalam pelukkannya.

-------

Kematian itu sudah tersebar luas, media-media terus memberitakannya, sampai menjadi topik pembicaraan. Rangkaian-rangkaian turut berdukacita memenuhi pekarangan Rumah Gen Halilintar, dari kerabat, rekan kerja ataupun yang lainnya.

Pagi itu langit begitu suram. Awan kelabu membentang di angkasa yang diiringi oleh tetesan air hujan. Tak begitu deras, namun mampu membuat tanah tempat mereka berpijak itu basah. Gundukan tanah merah itu pun ikut basah. Di atasnya terlihat bunga-bunga segar yang baru saja ditebarkan. Sebuah figura terpajang bersandar di batu nisan itu, menampilkan wajah manis Fateh Halilintar. Setelah memberikan penghormatan terakhir, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan pusara tersebut. Dokter Dea adalah orang pertama yang berpamitan untuk pulang, di ikuti dengan team, yang membawa Muntaz, Soleha, dan Qahtan yang tidak berhenti di sepanjang pemakaman. Fatim, Iyyah, Sajidah dan Sohwa masih menemani Uminya yang benar-benar paling terguncang, bahkan Umi terlihat meratapi pemakaman ini. Abi mencoba untuk kuat, dengan merangkul Saaih yang berada di sampingnya. Aurel ikut menguatkan suaminya yang masih menangis, begitupun dengan Fuji yang menenangkan Thariq.

Dalam pemakaman ini, Ayusa turut hadir, matanya benar-benar sembab, saat malam kemarin bahwa kematian Fateh di umumkan di televisi, sungguh Ayusa menangis keras, dan terus memanggil nama Fateh. Ayusa yang semula berdiri di belakang, kini mulai berjalan mendekat kedepan, kembali menaburkan bunga, yang di tatap oleh keluarganya.

"Terimakasih Teh, sudah menjawab perasaan ku." Gumam Ayusa, ia kuat untuk Fateh, karena ia juga sudah berjanji pada Fateh, bahwa ia tidak akan menangis terlalu lama.

Perpisahan terakhir adalah kematian, pertemuan pertama adalah kelahiran, satu cerita yang bisa menggambarkan dan menyimpan sebuah kenangan adalah perbuatan. Fateh terkenang di hati para penggemarnya sebagai sosok orang yang ceria, humoris dan yang suka bertingkah paling lucu. Dan saat kini Fateh telah pergi, mungkin mereka yang mengetahui Fateh akan selalu ingat satu hal yaitu tersenyum dengan tingkahnya.

Perjalanan hidup tiap manusia adalah rahasia Tuhan, ada yang datang maka harus ada yang pergi, hanya Ia yang tahu bagaimana perjalanan ini akan bermula dan akan berakhir nantinya.

_THE END_

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STAY HERE I ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang