Chapter 7 : Antidote

98 13 2
                                    

Gadis itu berada di kamarnya di lantai atas. Dia duduk dekat jendela, sehingga siapa pun yang sedang melewati taman mawar di bawah, jika melihat ke atas dapat melihat rambut merahnya yang panjang yang sedang disisiri oleh para dayangnya. Sinar matahari musim semi menyinarinya, sehingga terlihat seolah rambutnya terbuat dari kobaran api. Namun matanya, yang bersinar cerah layaknya mentari, seperti sedang menatap lurus ke dalam jiwanya. Gadis itu tersenyum, entah pada siapa, tapi saat itu Xavier tahu bahwa gadis itu nyata.

Xavier terbangun lagi tengah malam itu. Lagi-lagi dia memimpikan sesuatu yang tak dimengertinya. Dia ingin membunyikan bel, untuk memanggil siapa saja untuk diajak membicarakan tentang mimpi-mimpinya. Tapi dia bukan anak kecil. Usianya kini sudah enam tahun. Dia takkan bertingkah seperti anak kecil lagi dan akan mengabaikan mimpi aneh itu dan kembali tidur seperti biasa.

Meski begitu, punggungnya masih terasa sangat sakit. Lukanya masih berdenyut. Kejadian siang tadi saat Selena yang mabuk dan kesal akibat pertengkaran dengan ayahnya membuat Xavier menjadi sasaran kemarahannya. Selena hampir saja membunuhnya jika Xavier tidak cukup cepat untuk menghindar saat Selena menggunakan pedang Jenderal Orthion untuk melukainya.

Tapi lukanya itu tidak bertahan lama. Sakit, memang, tapi kini lukanya sudah sembuh dan hanya menyisakan bekas luka, yang Xavier yakini akan bertahan selamanya. Kini semua orang di sekitarnya akan melihatnya dan mengetahui bahwa pangeran kecil mereka memiliki bekas luka yang mengerikan. Tapi semua kecemasan itu, rasa sakit itu, entah bagaimana menghilang saat dia teringat pada gadis dalam mimpinya.

***

Saat Xavier membuka matanya, sepasang mata cokelat keemasan yang bersinar cerah sedang menatapnya. Mata yang sama seperti yang pernah dia impikan sewaktu masih kecil dulu. Tapi kali ini mata itu tampak sembab seperti habis menangis.

"Halo..." Kata Xavier, suaranya serak dan seluruh tubuhnya masih terasa kaku, tapi dia merasa jauh lebih sehat dari sebelumnya. "Aku sepertinya pernah melihatmu."

"Jangan bilang kau lupa ingatan atau semacamnya."

"Siapa wanita yang sangat cantik ini? Apa aku sudah berada di surga? Apa kau... malaikat?"

Anna menunduk dan menciumnya lagi lebih lama. "Sekarang sudah ingat?"

Xavier menahan senyumannya, "Hampir. Mungkin satu kali lagi. Atau dua, jika kau berkenan tentu saja."

Anna memukulnya pelan. Saat Xavier meringis pura-pura sakit, dia justru memukulnya lagi lebih keras. "Jangan pernah lagi menakutiku seperti tadi!" Katanya sambil meneteskan air mata dan terus memukulinya.

Xavier menghentikan tangan Anna dan mencium tangan itu, membuat wajah Anna merona. Dia kemudian berusaha untuk duduk dan merasakan saat tulang-tulangnya seperti dibentuk kembali setelah sebelumnya dihancurkan oleh Morta. Anna membantunya untuk duduk dan bersandar. "Maafkan aku." katanya pada Anna sambil memeluknya, "Dan terima kasih sudah menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padamu."

"Tadi kau benar-benar hampir mati! Seharusnya kau bilang kalau mulai merasa sakit. Jadi aku bisa segera datang untukmu."

"Maaf aku tidak bisa datang ke pemakaman Alexis. Aku turut berduka cita atas kehilanganmu. Meski kami tak pernah memiliki kenangan yang baik, aku turut sedih karena dia adikmu satu-satunya." Xavier kemudian melepas pelukannya, dan menghapus air mata di wajah Anna. "Kau baik-baik saja? Apa yang bisa kulakukan untuk membuat perasaanmu lebih baik?"

"Aku hampir berduka dua kali hari ini! Jadi berhenti mengkhawatirkan orang lain. Aku akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Tapi kau tidak."

"Aku juga akan baik-baik saja, Anna. Tidak sesakit itu, kok. Tenang lah." Dustanya.

Tepat saat itu, pintu kamar tersebut terbuka lebar, memperlihatkan Irene yang tampak berantakan karena habis menangisi putranya. Rambut hitamnya yang awalnya digulung rapih tampak berantakan. Dia berjalan sangat cepat menuju Xavier yang masih duduk di ranjangnya.

The Flower of EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang