Chapter 44 : Ending

92 13 0
                                    

Semenjak kematian Xavier aku sering membayangkan kematianku sendiri. Bagaimana hidupku akan berakhir? Siapa saja yang akan menangisi kepergianku? Apakah aku cukup berarti bagi dunia ini untuk disayangkan kepergiannya? Apa yang akan kurasakan saat aku menghembuskan nafas terakhirku? Apakah kematian akan terasa menyakitkan? Atau kah aku akan merasa tenang karena akhirnya aku akan kembali bersama Xavier? Apakah kematianku adalah akhir bahagiaku? Karena tetap hidup tanpa Xavier jelas bukan merupakan akhir bahagia bagiku. Namun apakah arti sebenarnya dari akhir bahagia itu? Dan bukankah kebahagiaan seharusnya tidak memiliki akhir?

Anna berada langit. Dia cukup yakin atas hal itu karena kakinya tidak menapak pada apa pun dan saat melihat ke bawah dan ke sekitarnya, dia dapat melihat langit dengan awan-awan putih yang berarak. Dia melayang di udara, terbang bersama awan. Dan Xavier ada di hadapannya.

Xavier terlihat persis seperti yang diingatnya, seperti sebuah mimpi indah dan angan-angan belaka. Dia mengenakan pakaian serba putih yang entah bagaimana terlihat bersinar, membuatnya terlihat seperti malaikat tanpa sayap. Tapi mata emerald itu terlihat sedih saat melihatnya.

"Aku... sudah mati ya?" Tanya Anna pada dirinya sendiri karena tak yakin yang dia lihat di hadapannya itu benar-benar Xavier atau hanya halusinasinya saja.

Xavier tersenyum sedih mendengar kata-kata itu. Kemudian dengan suara yang sudah sangat Anna rindukan itu, dia berkata lembut, "Kau pikir aku akan membiarkanmu mati?"

"Kalau begitu... ini mimpi?"

Xavier tidak menjawabnya. Dia hanya memandangi Anna dengan tatapan sendu. Dia kemudian mengulurkan tangannya pada Anna. "Mari kutunjukkan sesuatu."

Anna menerima uluran tangan itu dengan ragu. Selama beberapa saat sebelum dia benar-benar menggenggam tangan Xavier, dia takut bahwa dia hanya akan menggenggam udara kosong. Atau tangan yang dingin tanpa tanda-tanda kehidupan. Tapi setelah tangannya benar-benar menyentuh tangan Xavier, dia tahu bahwa ketakutannya itu tidak perlu. Itu benar-benar tangan Xavier, terasa begitu hidup dan hangat. Dan saat itu, Anna tak peduli dia sudah mati atau masih hidup, dia hanya ingin waktu berhenti berputar. Dia ingin hidup dalam momen itu selamanya.

Tapi tepat saat itu, mereka sudah tidak berada di langit lagi. Mereka ada di sebuah ruangan. Sebuah kamar. Anna melihat tubuhnya sendiri sedang terbaring lemah di atas kasur. Wajahnya terlihat sangat pucat dan pakaiannya basah oleh darah.

Seseorang membuka pakaiannya—Saintess Lucia—memperlihatkan luka tusuk yang cukup dalam dan tak berhenti mengeluarkan darah. Lalu saat Sang Saintess menyentuh lukanya dengan tangannya, Anna dapat merasakan hangat di bagian perutnya. Sesuatu di dalam dirinya sedang dibentuk ulang atau disambungkan kembali.

Leon, yang juga ada di kamar itu, tampak sangat pucat. Dia hanya mematung melihat Saintess berusaha menyembuhkan Anna. Tidak. Dia bahkan tidak benar-benar melihat. Tatapannya kosong. Lalu Anna menyadari bahwa pria itu menangis tanpa suara. Air mata mengaliri wajahnya.

"Pisaunya diberi racun." Saintess menjelaskan pada Leon. "Lukanya sendiri tidak terlalu parah meski cukup dalam, namun tak mengenai organ vitalnya. Pendarahannya dapat kuhentikan. Tapi racunnya..."

Leon berlutut pada Saintess. "Lakukan apa pun. Selamatkan dia. Kau harus berhasil menyelamatkannya." Air matanya bercampur dengan noda darah di wajahnya, "Kumohon... Selamatkan dia..."

Saat itu Anna menoleh ke arah Xavier yang juga sedang memperhatikan kakaknya yang berlutut memohon agar Anna dapat bertahan hidup. Keningnya berkerut seolah menahan sakit, seolah dia yang baru saja ditikam pisau beracun. Matanya memerah menahan air mata. Anna tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Xavier juga berharap Saintess dapat menyelamatkannya.

The Flower of EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang