Chapter 22 : Forgiveness

72 10 2
                                    

Ruang Istirahat Ibu Suri, Istana Matahari, Shina, Orient

Matahari bersinar cerah seperti biasanya siang itu di Shina. Udara sejuk beraroma bunga meniup tirai-tirai putih dalam ruangan itu, menyibak pemandangan berisi kemewahan Istana Matahari. Ibu Suri Reina yang tampak tak pernah menua sedang menikmati waktu istirahatnya ditemani para pria muda pilihannya yang berasal dari berbagai negara.

Tak ada yang berani mengganggunya, tapi Yi-Zhuo adalah satu-satunya pengecualian.

Gadis bermata merah delima itu menerobos masuk ke dalam ruang istirahat sang Ibu Suri sambil menarik rantai yang dikalungkan ke leher seorang wanita berambut cokelat dan berkulit pucat. Wanita itu menangis, memohon agar Yi-Zhuo melepaskannya dengan bahasa Nordhalbinsel. Tapi Yi-Zhuo mengabaikannya dan bahkan menarik rantai itu lebih kencang dengan sengaja, bukan karena dia tak mengerti bahasanya, melainkan karena dia senang membuat orang lain memohon padanya.

Ibu Suri menyuruh semua kekasihnya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Dia merapikan kimononya sebelum mulai mengamati tamunya. Sebelah alisnya dinaikkan, bibir merahnya membentuk senyum menghina. Yi-Zhuo berlutut di hadapannya dan menjatuhkan tawanannya agar bersujud pada Sang Ibu Suri.

"Jadi... dia?" Tanya Reina. Dia duduk di atas kursinya dengan kaki disilangkan. Roknya tersibak separuh memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus. Sebelah alisnya terangkat, pandangannya penuh penilaian. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk pegangan kursi, membentuk irama mendebarkan.

Yi-Zhuo bangkit berdiri, namun belum benar-benar berani menatap Sang Ibu Suri. "Benar, Baginda. Orang ini adalah seorang penyihir yang sempat ditemui oleh Naga Angin sebelum dia menghilang."

Reina segera meninggalkan kursinya dan berjalan menuju Si Penyihir yang masih bersujud di hadapannya.

Si Penyihir mendongak menatap Reina saat kaki Sang Ibu Suri sudah menyentuh kepalanya. Dia menatapnya dengan penuh kebencian. Reina menyeringai senang saat melihat tatapan itu. Dia mencengkeram dagu Si Penyihir dengan satu tangan, membenamkan kuku-kukunya yang panjang dan terawat ke wajah Si Penyihir hingga berdarah. Si Penyihir hanya bisa meringis menahan sakit. Air matanya mengalir, bercampur dengan darah di wajahnya.

"Kenapa Naga Angin menemuimu?" Tanya Reina dengan bahasa Nordhalbinsel yang sempurna. Nada suaranya begitu lembut seperti seorang ibu pada anaknya.

Tapi Si Penyihir tidak berniat menjawabnya. Dia sudah berjanji untuk tidak membongkar rahasia Sang Naga Angin. Semua penyihir menghargai perjanjian mereka.

Yi-Zhuo menarik rantai di lehernya sehingga Si Penyihir merasa tercekik, "Apa kau bisu? Jawab pertanyaan Ibu Suri!"

Si Penyihir meronta dan menangis, merasa tak berdaya, "Ampuni saya... Ampuni—"

Kata-kata itu terhenti begitu Reina melayangkan tamparan ke wajah Si Penyihir. Tamparan itu begitu keras hingga wajah si penyihir terluka.

"Kenapa Naga Angin menemuimu?" tanyanya lagi. "Pada pertanyaan ketiga, kau akan kehilangan suami dan anak-anakmu. Aku tahu... Kau menikah dengan seorang pria dari suku Ilbon, benar? Dan kau memiliki dua orang anak, seorang putra yang sangat mirip denganmu dan seorang putri yang mirip dengan ayahnya. Keluarga bahagia yang sempurna." Reina tersenyum saat melihat ekspresi takut di wajah Si Penyihir.

Penyihir itu tidak memiliki pilihan lain. Nyawa keluarganya dipertaruhkan. Jika dia tak membongkar rahasia Sang Naga Angin, dia akan kehilangan keluarganya.

"Beliau meminta saya untuk memindahkan jantungnya ke dalam sebuah jepit dengan hiasan permata yang beliau miliki." Kata Si Penyihir.

"Jepit rambut Naga Angin?" Yi-Zhuo tampak termenung, "Saya memang sudah lama tak melihat Kaze mengenakan jepit rambut itu padahal itu adalah jepit rambut kebanggaan Naga Angin. Kalau tidak salah itu adalah pemberian Kaisar terdahulu." katanya pada Sang Ibu Suri dengan bahasa Orient.

The Flower of EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang