Chapter 20 : Anger

82 12 0
                                    

Hari Kelahiran Putri Xavierra...

Istana Utama, Noord, Nordhalbinsel, Imperial Schiereiland

"Aku ingat sekarang." Kata Anna.

Anna baru saja selesai menyusui putrinya dan memberikan Xavierra pada Irene untuk dibawa ke kamar sang putri. Irene meminta Leon untuk masuk dan menemaninya sementara Irene membawa Xavierra. Dan kini Anna sedang duduk di ranjangnya sambil membaca kembali isi buku hariannya. Mengingat-ingat kembali semuanya yang sempat dia lupakan.

"Dia benar-benar sudah meninggal ya?"

Leon mengangguk. Tak bisa mengatakan apa pun. Matanya mengawasi perubahan ekspresi di wajah Anna. Mencari tahu apakah Anna sudah dapat menerima kematian Xavier atau akan menyangkalnya lagi.

"Aku sudah mengingat semuanya, Leon." Kata Anna lagi, seolah memberinya jawaban. Namun matanya tampak menerawang. "Saat Constanza dan Ludwig datang berkunjung ke Eze, aku meminta Ludwig untuk mendatangkan salah satu murid sihirnya yang kukenal. Namanya Feyna. Penyihir itu memiliki bakat sihir yang langka yaitu menghapuskan ingatan secara permanen."

"Kau tidak—"

Anna mengangguk. "Benar." Katanya. "Aku meminta Feyna menghapuskan ingatanku tentang kejadian di Wilayah Utara. Kejadian saat Xavier terbunuh di depanku. Karena aku terus mengingatnya dan ingatan itu terus menerus muncul setiap kali aku memejamkan mata." Anna menoleh ke arah Leon, matanya perih karena menahan air mata. "Ingatan itu menyiksaku, Leon."

"Jadi kau benar-benar lupa?"

"Tapi sekarang aku sudah ingat semuanya. Sejelas ingatanku saat hari kejadian itu."

Leon juga mengingatnya, sejelas ingatannya pada hari itu. Bedanya, Leon takkan bisa menghilangkan ingatan itu. Bukan tidak bisa, lebih tepatnya dia tidak mau. Karena dia memang tak mau melupakan hari itu. Seolah dengan begitu, dengan membiarkan dirinya sendiri tersiksa oleh ingatan itu, membuat rasa bersalahnya terhadap Anna akan berkurang sedikit. Rasa bersalah karena membuat Anna harus kehilangan Xavier. Rasa bersalah karena membuat Anna bersedih.

Leon tak mengatakan apa pun. Dia tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur hati Anna karena dia tahu tak ada kata-kata yang berguna. Leon akan membiarkan Anna berduka, paling tidak kini Anna sudah menemukan alasan hidup lagi setelah kematian Xavier. Putrinya akan menjadi alasan hidup yang baru untuknya. Dan itu saja sudah membuat Leon merasa lega.

"Aku... Aku tidak gila, Leon." Kata Anna setelah lama mereka berdua saling bungkam.

"Aku tak pernah menganggapmu seperti itu." Kata Leon langsung.

"Tapi aku benar-benar mendengar suaranya. Dia benar-benar bicara padaku."

Leon mengangguk. "Kadang aku juga mendengarnya." katanya, "Di malam saat aku menggagalkan upaya bunuh dirimu, Xavier yang memberitahuku untuk tidak membiarkanmu sendirian. Aku tidak sedang mabuk saat itu. Aku benar-benar mendengarnya. Tapi dia sudah meninggal, Yang Mulia."

"Aku tahu..." Anna tak bisa menahan air matanya. "Itu salahku."

"Bukan."

"Itu salahku!" Tangisnya. "Dia mati karena menyelamatkanku. Itu salahku. Harusnya aku yang mati. Bukan dia."

"Kalau kau butuh seseorang untuk disalahkan atas kematiannya, itu adalah aku. Eleanor ingin membunuhku hari itu. Harusnya aku yang mati hari itu. Bukan Xavier. Bukan kau. Aku yang harusnya mati. Apa kau sedih dan menyesal sekarang bahwa bukan aku yang mati?"

Anna menggeleng. Matanya melebar tak percaya. Rasa terluka saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Leon terpancar dari sorot matanya.

Dia bingung kenapa Leon sampai berkata seperti itu. Selama ini Anna berpikir semua orang mungkin menyalahkannya atas kematian Xavier. Jika saja Anna menuruti perkataan Xavier dan mempercayakan urusan di wilayah utara pada Xavier dan Leon, Xavier mungkin masih ada sekarang. Putrinya harus kehilangan ayahnya, dan Irene harus kehilangan putranya, dia merasa Leon berhak menyalahkannya karena telah membuat ibunya bersedih.

The Flower of EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang