Queer Heart (closing)

1.6K 156 14
                                    

Salma melepas cincin perak yang lima tahun lalu dibeli saat liburan. Otaknya penuh dengan bayangan Erik yang malam itu berlutut, menggenggam sekotak cincin berlian, dan Salma bisa memastikan harganya mahal.

Helaan napas kesekian lagi-lagi terdengar. Salma berdeham. Mencoba memberatkan suara dan menegakkan tubuh. Bertingkah seakan ia adalah Erik, lalu melakukan drama pemasangan cincin perak tadi di jari manis kirinya.

"Salma, mau menikah denganku?"

Perlahan cincin itu menelusuri jari manis Salma. Berpura-pura berdebar, Salma menarik senyum spontan sebelum menutup wajah erat.

Malam itu Erik mau melamarnya. Me-la-mar-nya! Dari sekian mimpi yang Salma bangun selama berkencan dengan Erik, dilamar oleh lelaki itu adalah satu-satunya yang tidak berani Salma bayangkan sesering mungkin. Bukan karena tidak percaya, hanya takut tidak kesampaian.

Namun, nyatanya Erik sudah melamar Salma pun, lamaran itu ditolaknya. Memang penyesalan selalu datang di akhir. Harusnya tinggal mengangguk mengiyakan, bukannya menutup kotak cincinnya, dan berakhir seperti sekarang.

Memangnya enak??

"Kenapa, Sal?"

Terkejut, pasti. Salma memakai cincin peraknya—bukan cincin dari Erik—dengan benar dan cepat, lalu menoleh ke Mario. Sejak siang tadi Salma memang mengunjungi kafe kopi Mario, menunggui Erik pulang kantor sesuai yang dijanjikan lelaki itu.

"Galau?" Mario duduk di kursi lain meja Salma.

"Nggak. Lagi suntuk aja nungguin Erik keluar kantor."

"Terus kenapa sama cincinnya?" Mario menunjuk si cincin dengan dagu.

Seketika Salma menyembunyikan tangan di bawah meja. Ada sedikit rasa kesal pada diri sendiri karena empat hari lalu sudah bersikap bodoh, menolak lamaran Erik hanya karena masalah sepele. Jadi, bukan salah Mario juga kalau sampai lelaki itu bertanya. Sikap Salma sejak di kafe memang aneh. Mengulang-ulang drama pemasangan cincin perak yang berpikir kalau cincin tersebut dari Erik, dipasangkan oleh Erik, dan jadi tanda pengikat hubungannya bersama Erik.

Sempurna ... seharusnya.

"Berani taruhan kalau itu bukan cincin dari Erik. Aku pernah liat cincin itu jauh sebelumnya."

Salma mengernyit. "Kamu teliti banget, Rio."

"Sedikit. Aku pinter kalau disuruh ingat hal detil. By the way, Erik lembur? Udah mau jam 3."

"Kayaknya ada kerjaan lebih."

Salma meneliti lawan bicaranya. Mario itu lelaki dengan bentuk tubuh mirip Erik, pemilik mata lebar, suara sedikit berat, dan kumis tipis yang sempat bumim di kalangan remaja. Kenapa Salma baru sadar kalau Mario masuk ke kategori lelaki tampan? Sementara, hanya sekilas Salma menatap Erik saat di awal-awal mereka berinteraksi, Salma sudah melabeli Erik sebagai lelaki paling tampan dan manis yang pernah ditemuinya.

Atau mungkin, itu tanda kalau hanya Erik yang mampu mengalihkan perhatian Salma? Sampai-sampai, lelaki setampan Mario pun, yang mana tidak punya sikap feminim, tidak terlihat di mata Salma.

"Ngapain, Sal, ngeliatin terus?"

Salma mengerjap. Merona malu karena ketahuan. Memang hal paling bodoh sudah menolak lamaran Erik secara cuma-cuma hanya karena tidak romantis. Klasik!

***

"Hari ini kita free," celetuk Sandro begitu membanting beberapa dokumen ke atas meja.

Di ruangan sang direktur utama tersebut, Erik awalnya menanti pekerjaan segudang dari Sandro tentang perkembangan proyek atau lainnya. Justru, tidak menyangka kalau Sandro memilih membebaskannya dari segudang beban pikiran itu. Erik bebas, yang artinya dia bisa menghabiskan waktu memutar otak lagi untuk membujuk Salma mau menerima lamarannya.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang