49.

195 46 15
                                    

Helaan berat terdengar bersamaan dari lobang hidung dua orang yang berbaring di atap rumah pukul 8 malam. Mengamati kerlip bintang seperti kebiasaan mereka akhir-akhir ini di atap rumah Dewo yang memang memiliki loteng.

Dinar menoleh. Tangannya yang berada di atas perut, lalu terangkat menyentuh puncak hidung Dewo. Cowok itu memejam di samping kiri Dinar. Kebiasaannya setiap diajak menonton bintang, Dewo pasti menutup mata. Katanya, bintang yang ditonton Dewo dengan mata terpejam lebih terang dibanding bintang di langit secara nyata.

"Jangan tidur," rengek Dinar membuat Dewo membuka mata.

Cowok itu menoleh. Tersenyum tipis dan mengangguk.

"Tangan gue pegas."

"Kepala gue kan ringan."

Dewo mendengkus. Bergumam kecil lalu kembali memejam.

"Din, bintangnya terang."

"Mata lo ketutup, Wo."

Lagi-lagi Dewo tersenyum tipis. "Gue masih bisa liat bintang."

Dinar merubah ke posisi miring menghadap Dewo. Berbantalkan lengan kanan cowok itu, Dinar kembali pada hobi barunya yang suka memandangi Dewo saat mata cowok itu memejam damai.

"Yang lo liat bintang apa?"

"Leonis."

"Bukan lagi bintangnya Idang?"

Dewo menggeleng singkat. "Mama lahir sebelas Agustus."

"Senyum nggak bintangnya?"

"Hem."

"Titip salam dong, Wo. Dari calon istri lo kalo jodoh."

Mata Dewo mebuka, melirik Dinar singkat sebelum kembali menutup. Ia mengangguk kecil dengan senyum tipis menghiasi wajah.

Pemandangan itu adem di hati Dinar. Kematian Idang sempat menjadikan Dewo lebih sering menutup diri dari kebanyakan orang. Hanya bisa berinteraksi normal dengan sahabat-sahabat dekatnya saja. Dewo juga sering tiba-tiba dilanda kesedihan ketika nongkrong dengan Andre dan Marvin. Sampai sahabat-sahabatnya bingung, bahkan Dinar juga sulit memahami mood swing Dewo. Namun, sering diajak bicara dan mengingat kembali kenangan-kenangan indahnya bersama orang berharga, membuat Dewo mulai kembali jadi diri sendiri. Tidak ada lagi mood swing. Berusaha keras untuk berinteraksi dengan teman-teman baru dikenalnya atau dari beda kelas di SMA mereka dulu, meski kadang satu hal ini masih harus dibantu Dinar atau sahabatnya yang lain.

Dewo trauma. Hatinya terluka parah dengan cara paling buruk ketika kehilangan orang-orang terkasih.

"Ngomong-ngomong, Papa lo jadi pindah besok, Wo?"

"Jadi."

"Faisal gimana?"

"Ikut gue." Dewo membuka mata. Jakunnya bergerak ketika menelan saliva. "Dia masuk Dharma dan pilih tinggal bareng gue daripada Papa."

"Masalah lo sama Papa ... selesai kan, Wo?"

Dewo menggeleng, lalu menghela singkat. "Gue berusaha lupa sama semua perlakuan buruk Papa dulu."

Dinar manggut-manggut.

"Salma ajarin gue ikhlas, Din," cerita Dewo membuat Dinar mulai serius.

Setelah kejadian menelpon Salma waktu di pengajian lima hari Idang, Dinar masih belum paham bagaimana alur Dewo bisa berkomunikasi baik dengan Salma lagi. Dinar penasaran, tapi sama sekali tidak berani menagih cerita ke Dewo yang mungkin bisa membuat cowok itu tidak nyaman.

"Waktu itu Salma dateng ke kantor polisi sama Raka. Dia bilang gue harus ikhlas tentang kepergian Sena sama Idang."

"Dan lo berhasil sekarang."

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang