35.

154 44 8
                                    

Pandangan Dewo mengeliling setelah menyimpan HP ke saku belakang celana jeans-nya. Suasana ramai balap liar dengan perlindungan beberapa oknum yang sudah dibayar oleh pemilik acara, membuat Dewo sedikit nervous dibanding acara balap liar biasanya. Bukan karena malam ini lebih ramai, tapi alasan kenapa penonton balap liar malam ini hampir tiga kali lipat dibanding balap liar yang biasa Dewo ikuti adalah salah satu lawan balapan Dewo nanti.

Kaos tangan khusus itu dikenakan Dewo lengkap dengan pelindung siku kanan kirinya. Dewo berusaha tenang. Di gerombolan seberang sana, Dewo bisa melihat jelas Bimo tengah bercanda ria dengan beberapa temannya. Seumur Dewo berkecimpung dengan hobi balap liar, belum pernah dirinya berhadapan dengan Bimo dalam sebuah acara seperti sekarang. Mereka biasa bertemu dalam tawuran, tidak ada aturan untuk bergerak atau memukul, bebas berkata kasar atau sampai membunuh. Kini, ada beberapa hal yang boleh dilakukan Dewo dan tidak boleh dilakukannya selama melawan Bimo dalam balapan, dan itu jadi titik kekhawatiran Dewo malam ini.

Bimo bukan lawan sembarangan. Cowok tinggi tegap itu punya banyak keluarga yang bisa dihubungi secepat cowok itu mau demi melindungi diri dalam berbagai hal. Seperti kematian Sena dua tahun lalu. Sulit tersentuh hukum meski membunuh di depan mata banyak orang.

Dulu, Dewo sendiri tidak ingat persis apa yang membuatnya bisa bermusuhan dengan Bimo. Hanya ada sejarah tawuran antara sekolahnya dengan sekolah Bimo yang tidak pernah habis. Seperti turun-temurun. Dewo jadi pentolan paling berbahaya di sekolahnya dan Bimo juga begitu. Hanya saja, Dewo ingat seperti apa bekas luka pedang berkarat di tubuh Sena waktu itu. Satu-satunya hal yang membuat Dewo tidak lagi hanya ikut-ikutan dalam tawuran, tapi juga membalas perbuatan Bimo hingga punya niat membuat cowok sialan itu menyesal setiap kali ada kesempatan bertemu.

"Mata lo dijaga, Wo. Kita nggak lagi tawuran. Ada segudang aturan di sini dan gue harap lo bisa tahan sama hasrat membunuh lo," desis Idang yang tiba-tiba merangkul Dewo.

Senyum miring Dewo terlihat. Dia selesai memasang semua pelindung tubuhnya yang perlu dikenakan. Kini Dewo mengambil helm di atas motor sport milik Arman untuk dicek ulang.

"Hasrat membunuh?" tanya Dewo kemudian terkekeh.

"Gue liatnya gitu. Lo udah kayak mau makan Bimo pake tatapan jahanam lo itu."

Dewo geleng-geleng. Senyum menghiasi wajahnya yang berusaha menyembunyikan rasa gugup.

"Inget, Wo. Lo nggak harus berambisi menang. Musuh lo nggak main-main dan apapun aturan yang ada di sini, gue yakin si babi punya niat sabotase lo," ucap Idang melenyapkan senyum Dewo.

Helm AGV Pista kesayangan Dewo itu selesai dicek dan dibersihkan kacanya. Ada dua sudut lecet karena sempat jatuh dan hampir membuat Dewo menangis setahun lalu. Dewo mengenakan helm tersebut dan mengancingkan pengaitnya secara benar. Dengan sejumput jari dia membuka visor helm penuh hati-hati.

"Kalo ada apa-apa-"

"Ssstt!!" potong Idang dengan wajah serius. Telunjuknya menempel ke bagian bawah helm Dewo.

"Helm gue kotor, bangsat!" desis Dewo sambil menepis telunjuk Idang, dia tersenyum di balik helm fullface. Matanya menyipit indah.

Idang ikut terkikik lucu. "Ini jalan udah lo kuasai berkali-kali. Nggak perlu lo ambis, gue yakin lo pemenangnya."

"Tapi kalo gue sampe jatuh-"

"Hemmmm ... gue nggak denger??"

"Dengerin gue."

Idang tertawa lebar, lalu mengangguk. "Oke, oke. Apa?"

"Kalo gue sampe jatuh, lo tolongin helm gue."

"Babi!"

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang