48.

129 42 4
                                    

Blitz itu menerpa wajah Dinar berkali-kali sampai kepalanya mendadak pusing. Senyum mengembang. Giginya terasa kering sampai Dinar harus menarik air liurnya sendiri ketika fotografer di depannya memulai hitungan mundur. Sekali lagi, Dinar mengerjap menerima cahaya kilat dari kamera besar di depannya.

"Hhhh, gigi gue garing kebanyakan foto," gerutu Dinar membuat Indri yang barusan membenahi kebayanya, melirik sinis.

"Bilang aja lo nggak betah bareng kita, gelagat lo emang nggak kecium apa kalo pengen cepet-cepet sama Dewo?" sindir Indri membuat Ibet menutup kedua telinga.

"Sekolah ribut, ujian ribut, sampe foto wisuda juga masih ribut ...."

"Indri nih," tuduh Dinar membela diri.

"Ya, elo! Dewo mulu dipikirin. Lupa lo tiga tahun SMA keluh-kesahnya sama kita?"

"Apa sih, Ndri .... Ngegas mulu perasaan," kesal Dinar yang terus dituduh lebih memprioritaskan Dewo dibanding kedua sahabatnya. "Gigi gue emang garing. Lagian kita foto udah berapa menit, sih? Niat banget ngasih tip lebih ke tukang fotonya sampe bikin antrean panjang gitu!"

Ibet membungkuk ketika pandangannya terhalang tubuh Indri. Melirik antrean panjang di luar kelas 10 IPA 1 yang berada dekat dengan lapangan sekolah.

"Ih, astaga iya! Panjang bener!"

"Lo sih!" kesal Dinar lalu mengangguk tak enak hati pada barisan siswi lain yang menggerutu di luar kelas. "Yuk ah, kita keluar! Fotonya udah banyak!"

"Sekali lagi kek, Din. Gue gendutan, nih!" protes Indri masih tak rela.

Dinar melotot. Menarik lengan kedua sahabatnya untuk beranjak dari studio dsdakan tersebut.

"Nanti deh kita ke studio foto!"

"Maaf, ya, maaf ... Hehe, maaf ya, jadi antri." Ibet mengangguk beberapa kali ketika mendapat tatapan sinis siswi lain.

"Kabur, Din, cepet!" bisik Ibet lalu mereka bertiga pergi dari kelas tersebut.

Musik mengalun energik dengan dua paket sounds system yang dipasang di sisi kanan-kiri panggung. Acara wisuda dihelat dengan lancar. Tak terasa, waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Mengenakan kebaya kutu baru dan jarik serasi, Dinar berjalan lebih anggun dari biasanya karena heels lima sentimeter yang dia kenakan.

Mengajak Ibet dan Indri pergi ke kantin. Mereka jadi pusat perhatian para adik kelas karena terlihat bak bidadari dengan riasan natural dan sanggul sederhana yang membuat pangling banyak mata.

Dinar menghela. Gerah menyerangnya karena kebaya ketat yang dia pakai. Sebenarnya tidak begitu ketat. Kebaya warna hijau toska tersebut begitu pas di badan Dinar, dan tidak terbiasa menggunakannya di sehari-hari membuat Dinar gerah bukan main.

"Pengen es teh," keluh Dinar mencari-cari keberadaan beberapa cowok yang mungkin dia kenal.

"Vin!"

"Eh, ayang?" Perhatian Ibet teralih karena panggilan keras Dinar.

"Lebay!" amuk Indri ke Ibet yang seketika cemberut.

"Wow, wow, wow." Marvin melempar ekspresi menggoda. "Bisa cantik juga lo, Din?"

"Marvin ...," geram Ibet membuat Marvin tiba-tiba berdeham takut.

"Maksud gue, pangling liat Dinar. Kamu yang cantik," kilah Marvin cepat, melempar love sign secara diam-diam supaya tidak ada yang tahu.

Dinar memutar bola mata. Sementara Indri memilih tak peduli.

"Kok dari tadi gue nggak liat Dewo, Vin?"

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang