Mata itu jelalatan. Mengabsen beberapa merek botol yang berjajar rapi di pendingin supermarket. Dinar ingat bentuk botol, warna dan merek dari bir yang pernah diminumnya beberapa hari lalu saat diajak nongkrong dengan Dewo dan lainnya.
Rasanya manis. Sesuatu yang Dinar pikir memabukkan, tapi ketika Dinar bahkan menghabiskan hampir 100 ml gelasnya, dia tidak merasakan halusinasi lain. Kini Dinar penasaran. Ingin membelinya lagi mumpung sore itu dia dan dua sahabatnya tengah jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, bagian supermarket di lantai bawah.
"Nyari apaan, Din?"
Dinar tersenyum, menoleh ke Ibet yang sudah membawa keranjang belanjaan berisi susu kotak besar kesukaannya dan berbagai mi instan.
"Bir."
"Hah??"
"Sejak kapan lo doyan nge-bir?" tanya Indri ikut nimbrung. Cewek itu barusan menaruh bedak bayi ke dalam keranjang.
Sebelum Dinar menjawab, Indri sudah menyerobot ke arah pendingin. Ia mengambil salah satu bir yang diketahuinya. Memperlihatkan itu ke Dinar.
"Nih kalo mau!"
Ibet merebut bir kalengan itu. "Green Sands. Enak emang, Din? Minum susu aja deh kayak gue daripada mabok-mabokan!"
Bir itu dikembalikan Ibet ke tempatnya. Ia cemberut. Sementara Dinar hanya garuk-garuk pelipis karena apa yang dicari tidak ada di lemari pendingin.
Dinar menggeleng, membawa dua sahabatnya menjauhi pendingin berisi minuman-minuman kaleng. Dipikir-pikir, untuk apa juga Dinar mencari si Abita yang kemungkinan tidak dijual di supermarket. Hanya karena rasanya yang unik, baru untuk lidahnya, Dinar jadi sepenasaran itu.
"Kebanyakan gaul sama Dewo-Dipta jangan sampe buat lo hilang arah ya, Din. Lama-lama gue jadi nggak suka sama tuh begundal-begundal," gumam Indri membuat Dinar meliriknya.
Mereka jalan bertiga ke kasir.
"Gue bisa jaga diri kok. Janji!"
"Awas ya, Din! Sampe gue denger Mama lo ada keluh kesah tentang perubahan jelek lo ...." Ibet mendelik, menggerakkan tangannya ke leher seperti ingin menggorok hewan. "... Abis lo!!"
"Iya, iya! Tenang. Dinar sahabat tercantik lo ini pinter pilih-pilih temen," bela Dinar untuk diri sendiri.
"Pinter? Kalo pinter mah nggak gaul sama begundal!"
"Mulut lo, Bet!" desis Indri kesal. "Inget ya, Bet, Dinar udah jadi ceweknya Dipta, ati-ati kalo ngomong!"
"Mulut lo tuh yang ati-ati kalo ngomong! Mana ada gue jadi cewek Dipta?!" Dinar berkacak pinggang.
Kesal karena sejak gosip "Dinar cewek Dipta" yang tiba-tiba merebak ke seantero SMA Dharma-entah dari mulut siapa-Dinar jadi bulan-bulanan dua sahabatnya. Dia cemberut. Menghentakkan kaki ke lantai supermarket tersebut seperti bayi besar sedang merajuk. Sampai-sampai, beberapa pengunjung melirik heran ke Dinar.
Indri hanya terkikik. Cewek itu menarik Ibet mengantre kasir, lalu berbalik menatap Dinar lagi. "Lagian, lo tiap malem jalan sama Dipta, apa kalo bukan pacar?"
"Nggak! Cuma temen!"
"Temen tapi mesra!" ejek Ibet sambil menjulurkan lidah.
Dinar geram, ingin menjambak wajah menjengkelkan Ibet, tapi dihalangi Indri.
"Ngelak mulu. Songong ya lu jadi cewek yang dikejar-kejar Dipta, segala nggak ngakuin. Cantik banget emang?" Indri mengibas rambutnya sombong.
Hal sama dilakukan Dinar. Ekspresi cewek itu mengikuti Indri, sombong. "Kalo nggak cantik, ngapain juga gue punya jam terbang? Dua lagi, Dewo sama Dipta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us [ complete story ]
Teen FictionDipublish 31 Juli 2022 • ddr • tamat 2 Maret 2023 Terjebak dalam sebuah tawuran antar pelajar, belum pernah terbayangkan di hidup Dinar yang setahun lagi lulus SMA. Pengalaman buruk yang membawanya berurusan dengan dua cowok populer-yang bahkan sebi...