46.

132 43 13
                                    

Kepala itu membenturkan diri beberapa kali ke tembok usang penuh coret-coret tangan jahil. Lantai yang dingin tanpa alas jadi satu-satunya gambaran perasaan Dewo saat itu. Tawuran kemarin siang membuatnya harus mendekam di sel lebih lama daripada sahabat-sahabatnya yang lain.

Andre, mendapat perlindungan dari ayahnya. Marvin, mendapat kesempatan bebas karena saat itu ditemukan polisi tanpa melakukan hal lain selain menopang kepala Idang di tengah kerumunan tawuran. Begitu pun teman Dewo yang lain. Mereka bebas begitu saja setelah dijemput oleh orangtua masing-masing. Menyisakan Dewo yang tidak memiliki seseorang untuk menjemputnya bahkan ayahnya sekalipun. Dia tidak menyalahkan Faisal, toh, adik tirinya itu tidak tahu kondisi yang dialami Dewo saat ini.

Kehampaan itu terasa membunuhnya. Apalagi, setengah pikiran Dewo terbang ke kondisi Idang ssat ini yang bahkan belum diketahui Dewo. Dia memejam erat. Menahan napas mengingat seperti apa Idang menatapnya takut kemarin. Di atas pangkuan, mata itu basah seakan berteriak tentang rasa sakit yang dirasakan Idang pada perutnya.

"Saudara Andaru Sadewo," panggil salah satu petugas membuat Dewo membuka mata, lalu menoleh.

Mata Dewo berat. Memar di pipi kanan-kiri dan beberapa luka terbuka sudah diberi perawatan pertama semalam, tapi dibuat bergerak sedikit saja badannya begitu sakit.

"Ada telpon dari saudara Andre." Petugas tersebut membuka sel. "Mana orangtuamu? Kita masih tunggu orangtua atau saudaramu bisa datang ke sini."

Dewo diam. Dibantu petugas tadi, Dewo berdiri dan berjalan keluar sel menuju ruangan BAP.

"Besok lagi jangan main tawuran kalau ujung-ujungnya masuk sel. Tawuran sekalian, terus masuk sidang. Biar nggak nanggung," ucap petugas tadi kemudian tersenyum ke petugas lainnya.

"Ujungnya nyesel di belakang," jawab petugas tersebut dengan gelengan kepala.

Mental Dewo sudah down. Kalimat-kalimat tersebut sudah bisa diterimanya tanpa perlu marah-marah. Dewo kemudian mengangkat telpon kantor di meja petugas. Mulutnya terbuka sedikit dan napasnya perlahan memberat.

Hal pertama yang didengar Dewo saat itu bukan lah suara Andre. Di seberang sana ramai. Decit ranjang beroda begitu tak asing di telinga Dewo. Lalu, suara tangisan samar-samar juga terdengar. Tubuh Dewo menegang di tempat. Matanya mulai berair dan dia kesulitan hanya sekadar membasahi tenggorokan keringnya.

"Wo," sapa Andre melecutkan satu air mata ke pipi Dewo.

Dewo berusaha tegar di tempat duduknya, yang justru menyita perhatian dua petugas di ruangan itu. Mereka menguping.

"Gimana Idang?"

Hening. Dewo melirik seorang petugas lain yang barusaja datang membawa berkas dan menyerahkannya ke petugas yang tadi membantu Dewo berdiri. Mereka bicara sebentar kemudian melirik Dewo.

"Bimo koma. Kesalahan lo berat—"

"Gue butuh kabar Idang," potong Dewo tak bertenaga. Apalagi, suara tangis di belakang Andre makin membuat mental Dewo turun drastis.

Di seberang Andre menghela. "Idang dimakamkan siang ini, Wo. Jam 2. Gue minta tolong Ayah ngurus lo—"

Dewo kehabisan respon. Tenaganya terkuras hingga tangannya tak lagi kuat menahan gagang telepon di samping telinga. Dia menutup sambungan lalu membungkuk. Perlahan mengusap wajah frustasi menatap kedua petugas di depannya, kemudian menangkup wajah dengan kedua tangan sebelum menangis hebat.

"Gue yang paling ngerti tentang lo."

"Ya elah, kita bareng dari SMP!"

"Wo, temenin gue blind date!"

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang