42.

121 34 3
                                    

"Dari kemaren gue liatin lo kebanyakan ngalamun, Din. Kenapa, sih?"

Dinar mengerjap. Menghela pelan sebelum mengangkat kedua alis, bertanya ke Ibet tanpa kalimat.

"Nggak denger kan lo gue ngomong apaan tadi?"

Dinar menggeleng. Cengiran kuda dibuat sebagai tanda bersalahnya. "Lagi capek, makanya apa-apa nggak fokus."

"Yakin? Bukan karna jam terbang Dipta yang tiba-tiba surut?" sindir Indri telak.

"Nggak. Gue sama sekali nggak mikirin Dipta."

"Tau. Jalan lo sama Dewo makin mulus soalnya."

Mau tak mau Dinar mengangguk mengakui. Dia dan kedua sahabatnya masih berjalan pelan menyusuri koridor sepi menuju perpustakaan di belakang gedung. Ada satu mata pelajaran yang mengharuskan mereka mencari buku di perpustakaan sekolah. Namun, fokus Dinar tidak benar-benar ada di tempat. Masih terbagi ke kejadian di toilet cowok kemarin. Perkelahian antara Idang dengan Raka. Seperti mengganjal di hati Dinar. Ditambah, melihat perubahan Raka yang kini tidak lagi berdandan cupu, bahkan terkesan mirip bergundal lainnya yang kebanyakan tidak rapih dalam berseragam. Aneh, bukan? Baru sehari kejadian itu terlewat, tapi perubahan Raka yang tadi dilihat Dinar saat berpapasan di depan kelas, sukses menyita banyak perhatian.

"Lo pada kenal Raka nggak?" tanya Dinar memancing.

"Raka si kacamata?" tebak Indri.

"Raka si cupu, 'kan?" tebak Ibet.

Seketika langkah Dinar berhenti. Sesaat terpaku dengan dua sahabatnya. "Kok lo pada kenal??"

"Ya, kenal-kenal aja sih. Anak baru awal semester. Lumayan ganteng tuh. Gue liat tadi pagi udah nggak cupu deh, kira-kira kesambet apaan, ya?" balas Ibet lalu merangkul Dinar untuk melanjutkan langkah.

"Tapi seriusan, Din. Lo putus sama Dipta?" tanya Ibet pelan.

Rangkulan Ibet segera dilepas Dinar secara kesal. "Udah gue bilang jutaan kali, gue bukan ceweknya Dipta, jadi kita nggak jadian! Nggak ada juga kata putus!"

"Buset! Nyemprot ludah lo!"

"Lo sih ngeselin jadi temen!"

"Ya, kalo nggak ada hubungan ngapain nge-gas, Din? Santai dong ...," ucap Indri dengan segala bakat sindirannya.

Dinar makin malas. Memilih jalan lebih dulu meninggalkan dua sahabatnya di belakang.

Jam terbang Dipta memang sudah lama kandas. Dinar juga tidak paham benang merah apa yang membuat Dipta kini bersikap dingin kepadanya. Jarang mengobrol, mulai berhenti saling kirim SMS. Sempat terlintas di pikiran Dinar kalau Dipta sebenarnya tahu kedekatannya dengan Dewo akhir-akhir ini. Dipta dulu pernah bilang cemburu, tapi cemburu yang bagaimana? Toh, baik Dinar dan Dipta sama sekali tak punya hubungan dekat apapun selain sebagai teman. Jadi, kalau membicaarakan cemburu, Dipta jelas belum memiliki hak.

"Din, udahan ngambeknya!"

"Buodo amat," desis Dinar lirih. Masih terus jalan mendahului.

"Nanti ilang, Din!"

"Peduli set—eh!!"

Hampir terjungkal, Dinar melirik siapa yang barusan menariknya memasuki gudang olahraga. Satu-satunya gudang paling bersih di SMA Dharma.

"Wo?? Ngapain, sih!" bisik Dinar melihat Dewo memberi isyarat diam dengan telunjuknya yang ditempel depan bibir.

Dinar kalut. Menoleh belakang, pintu gudang itu sudah tertutup rapat. Ditambah seruan Ibet dan Indri yang mengetuk pintu gudang seperti meneriaki maling.

Between Us [ complete story ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang